Minggu, 06 Desember 2015

Bambangwetan 27 maret 2013

NASEHAT EMHA AINUN NAJIB

Beberapa Point yang disampaikan Cak Nun di Maiyah BangbangWetan (27 Maret 2013):

- Hidup kita dibangun oleh unsur2 yang tidak selalu kita ketahui, tapi akuilah bahwa itu ada.

- Orang itu tidak perlu pinter, asal setia dengan dirinya sendiri.

- Jangan tergesa-gesa membenci sesuatu yang kita tidak tahu, dan yang kita tidak bisa. Belajarlah berendah hati, pelajari dulu semuanya.

- Kita harus selalu berusaha melihat kebaikan orang tanpa melihat kejelekannya agar orang lain juga selalu melihat kebaikan kita & anak cucu kita.

- Yang lebih berperan adalah yang tersembunyi. Begitu juga Indonesia, yang berjasa adalah mereka yang tidka pernah tampil di media massa.

- Sesuatu yang tak terlihat jauh lebih penting dari yang terlihat .

- Kita tidak bisa yakin pada diri sendiri, tapi yakinlah kepada Allah. Yang bisa kita lakukan adalah ber-Husnudzon, bismillah, ikhtiar.

- Yang kita ketahui mengenai Muhammad SAW mayoritas hanya pada yang ditampakkan, sedangkan yang tidak ditampakkan pada diri Muhammad SAW jarang sekali orang yang mau menggalinya.

- Kalau kita membuat puisi lalu ada orang yang membacanya kita pasti senang. Maka jika ada yang baca Al-Quran Allah sebagai penciptanya pasti juga senang.

- Selama ini Qiro'ah dipahami sebagai hapalan terhadap paket nada yang diajarkan, padahal dalam hidup itu kita harus bisa eksplorasi.

- Alif lam mim adalah misteri yang sengaja diciptakan Allah agar kita bisa menyelami keindahan ayat yang tak kita ketahui makna lahirnya.

- Tak ada orang yang mampu berkomunikasi dengan Allah. Allah-lah yang memperkenankan kehadiran-Nya dirasakan oleh makhluk-Nya.

- Jangan sedih kalau perjuanganmu tidak pernah dianggap. Jangan seperti orang modern yang sibuk image building, selalu ingin menonjolkan diri.

- Ketidaknyamanan akan membuat manusia lebih berkembang. Kesedihan memampukan manusia untuk lebih berpikir.

- Ilmu itu tak terbatas sampai sarjana. ilmu iku gak onok enteke.

- 'Ihdinasshirotol mustaqim' diucapkan krn hidup kita belum pasti lurus, itu berlaku bagi siapa saja, entah itu orang alim, kiai, ustad, sufi dsb.

- Kebebasan bukan tujuan tapi jalan untuk menemukan batasan-batasan.

- Sejarah adalah milik para pemenang. Semua yang kamu baca adalah sejarah versi orang yang menang.

- Bersyukurlah atas keterbasan yang diberikan oleh Allah, karena keterbatasan membuat kita menemukan rahasia kehidupan.

- Kunci kesehatan adalah berpikir dengan benar.

- Begitu engkau menjadi manusia, maka engkau mempunyai kewajiban untuk mencintai sesama manusia, siapapun dia.

- Banyak manusia setelah kenal agama malah kehilangan kemanusiaannya padahal manusia adalah makhluk Allah yang tertinggi (ahsani taqwim) krn menjadi khalifah-Nya.

- Jangan melakukan apapun tanpa mengetahui kuncinya.

- Dari setiap serpihan pengetahuan temukanlah induk atau hulunya.

- Pertemuan Anda dengan Al-Qur'an bukan hanya pertemuan keindahan, tapi juga pertemuan ilmu dan kesadaran.

&&&&&&&&&&&&&&
Sumber: Buletin Mocopat Syafaat

Selasa, 14 Juli 2015

Jewish n islam

Jewish is Old Islam and Islam is New Jewish

Oleh PRAYOGI R. SAPUTRA •  28 Juni 2015

Dipublikasikan dengan tag Esai
Share: Facebook Twitter Google+
Foto: Prayogi R. Saputra

Demikianlah salah satu poin akhir yang disampaikan Rav. Menachem Ali, MA. pada Kajian Sejarah Islam bertema “Menelusuri Jejak Agama-agama Ibrahim” yang diselenggarakan Jamaah Maiyah Malang bersama dengan Rumah Inspirasi, Resist dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah. Selain Rav. Menachem Ali, kajian tersebut juga ditemani oleh Pradana Boy ZTF, PhD. dosen jurusan Syariah Universitas Muhammadiyah Malang.
Sebagai filolog, Rav Ali yang mengajar di Fakultas Humaniora UNAIR mengawali paparannya dengan menyandingkan teks Al Quran dengan terjemahan Al Quran yang berbahasa Ibrani. Rav Ali menyampaikan temuan-temuan arkeologi bahwa Ibrahim dan Ismail bukanlah nama dari bahasa Arab, melainkan nama dari Bahasa Akkadia/Aram kuno yang dituturkan di Mesopotamia, tempat tinggal Ibrahim.
Saat itu, bahasa Akkadia menjadi bahasa perdagangan Internasional (lingua franca) yang dibuktikan dengan surat-surat dagang yang ditemukan di Palestina dan Mesir yang berbahasa Akkadia. Bahasa Akkadia menggunakan huruf paku (cuniform). Jadi, Ibrahim bukan penutur bahasa Ibrani, apalagi bahasa Arab. Maka, ketika Ibrahim menyeberang ke Mesir, Ibrahim bisa berbicara dengan Firaun (Raja) Mesir zaman itu dengan bahasa Akkadia. Ibrahim pun dinikahkan dengan Hajar. Hajar bukan budak, sebab salah satu teks kuno yang dikemukakan Rashi — seorang Rabi — menyebut Hajar adalah putri Raja Mesir zaman itu (Hagar bath Par’o hayetah). Dari Hajar inilah kemudian lahir Ismail. Sementara dari Sarah — istri pertama Ibrahim — lahir Ishaq. Ishaq memiliki anak Yaqub yang oleh Allh dipanggil Israel. Anak turun Yaqub inilah yang kelak disebut sebagai Bani Israel.

Menelusuri Jejak Agama-agama Ibrahim

Gen Ismail kelak akan menurunkan Muhammad bin Abdulllah. Sedangkan gen Ishaq kelak menurunkan Musa dan Isa. Musa adalah pembawa risalah Torah (Taurat) yang agamanya disebut Yahudi. Isa membawa risalah Injil yang agamanya disebut Nasrani. Sedangkan Muhammad sebagai Nabi akhir zaman membawa risalah al Quran yang agamanya disebut Islam. Sehingga baik Musa, Isa maupun Muhammad bukan hanya penerus Ibrahim secara teologis, tapi juga secara genetis.

Titik Temu dan Titik Tengkar

Dalam 3 agama yang berinduk pada monotheis Ibrahim tersebut, ditemukan titik temu dan titik tengkar. Apalagi dengan masuknya kepentingan-kepentingan politik serta iklim politik global, maka titik tengkar diperluas dan diperbesar sedemikian rupa. Sedangkan titik temu dikubur dalam-dalam. Seperti dikemukakan oleh Rav. Ali, titik-titik temu itu dalam aplikasi di masyarakat bisa ditemukan dengan mudah. Misalnya di Eropa, jika seorang Yahudi membutuhkan daging halal atau makanan yang halal, maka dia akan  pergi ke toko muslim. Demikian juga sebaliknya. “Dalam al Quran juga disebutkan, sembelihan orang Yahudi juga halal untuk muslim, demikian pula sebaliknya,” begitu Rav. Ali. Bahkan, saat ini di Eropa banyak orang Yahudi yang masuk Islam. Mereka pun menerjemahkan al Quran ke dalam bahasa Ibrani. Contoh Quran dengan terjemah Ibrani ditampilkan oleh Rav. Ali sebagai data primer.
Selain itu, ada lagi ajaran-ajaran Yahudi yang tidak berbeda dengan ajaran Islam, misalnya soal mandi junub. Atau soal larangan minum khamr. Banyak hal dari agama Yahudi yang persis seperti apa yang diajarkan oleh Islam. Meskipun dalam beberapa hal ada titik-titik yang menjadikan orang Yahudi dan Islam bertengkar. Namun, sejatinya orang Yahudi merasa lebih memiliki jarak terhadap orang nasrani dibandingkan dengan Islam. Salah satu indikasinya adalah orang Yahudi menyebut orang Nasrani sebagai penyembah berhala. Bahkan di Hebron, ada satu bangunan yang bangunan itu berfungsi sekaligus sebagai Masjid dan Synagog.
Hal yang perlu diperjelas juga adalah batasan-batasan dan pemilahan yang tegas antara Yahudi sebagai agama, Israel sebagai kaum/bangsa dan Negara Israel sebagai proyek Zionisme. Menurut Rav. Ali, orang-orang Yahudi Ortodoks sangat tidak suka dengan Zionis Israel. Orang Yahudi yang hidup di Negara Israel adalah migran yang memiliki luka di Eropa dan pindah ke Israel. Sedangkan Yahudi yang tidak dari Eropa, mereka justru tidak mendapat tempat di Israel sendiri. “Bagaimana Yahudi Ortodoks akan menyukai Negara Israel jika disana homoseksual legal, khamr legal.” Bukankah itu bertentangan dengan ajaran Yahudi sendiri.

Islam dan Jawa

Dalam isu Islam dan Jawa, Rav. Ali menunjukkan satu buku terjemah Qoeran Djawen Al Juz al-Sadis yang dijawakan oleh Moehammad Amin bin Ngabdoel Moeslim, seorang Guru agama di Sekolah Mambangoel Ngoeloem Surakarta.

Buku tersebut diterbitkan tahun 1933 oleh Bhoekhandel Ab. Siti Sjamsijah Solo. Sebuah penerbitan Muhammadiyah. Terjemah tersebut menggunakan bahasa dengan aksara Carakan, bukan aksara latin. Hal ini menunjukkan bagaimana Muhammadiyah sangat “jawa” sekali dalam dakwah Islam.
Menelusuri Jejak Agama-agama Ibrahim
Rav. Ali juga menunjukkan sebuah buku Sekar Macapat Terjemahanipun Juz Amma: Sekar Sari Kidung Rahayu karya Achmad Djuwahir Anomwidjaja yang diberi kata pengantar oleh KH. AR. Fachruddin. Buku tersebut tergolong baru karena diterbitkan pada tahun 2003 oleh Bentang Budaya dan Masyarakat Poetika Indonesia Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Bahkan menurut Rav. Ali, Muhammadiyah lebih terbuka terhadap Jawa dibanding NU. Sebab, karya-karya yang diproduksi NU umumnya menggunakan huruf pegon meskipun berbahasa Jawa. Sebagai contoh adalah karya KH. Bisri Musthafa Al Ibris li Ma’rifati Tafsir al Quran al Aziz bi al Lughah al Jawiyyah .
Dengan berbagai variasinya, Al Quran telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa bahkan dengan huruf lokal. Kemudian mengapa melantunkan ayat-ayat Al Quran dengan ritme Jawa menjadi perdebatan sengit? Orang menjadi tertutup atau menutup diri sebelum benar-benar memahami apa yang ditolak. “Di Maroko,” kata Rav. Ali, “yang saya pernah tinggal di sana dan di Afrika Utara, membaca al Quran ya dengan langgam lokal. Tidak dengan langgam Arab.”
Satu lagi fakta yang dibuka oleh Rav. Ali. Apakah al Quran kita menggunakan angka Arab dalam penulisan halaman? Ternyata tidak. Angka yang menunjukkan halaman dalam Al Quran adalah angka Hindi. Sementara kita mengenal angka latin yang sejatinya adalah angka Arab. Di Maroko dan Afrika minimal bagian Utara, kata Rav. Ali, halaman-halaman Al Quran ditulis dengan angka Arab atau kita mengenalnya sebagai angka latin.
Ternyata banyak hal yang kita yakini sebagai kebenaran merupakan kepercayaan-kepercayaan yang belum terkonfirmasi secara ilmiah. Dan malangnya, kita meyakininya sebagai satu-satunya kebenaran yang harus dipegang teguh hingga menitikkan darah. Peradaban selalu saling pengaruh mempengaruhi. Tidak ada peradaban yang jatuh dari langit. Kalau ummat Islam menjadi tertutup dan curiga terhadap pihak diluar Islam — apalagi diluar madzhab yang dia peluk — padahal tanpa disadari dia menggunakan produk-produk peradaban diluar Islam sejak lama.

Tetangga

Persaingan Dengan Tetangga

19 Feb 2014 06:20 pm |
Muhammad Ainun Nadjib
 


Aku beli sepeda, tetanggaku beli sepeda lebih bagus. Aku beli motor, tetanggaku beli motor lebih mahal. Aku beli kulkas, tetanggaku beli kulkas lebih besar. Aku beli radio, tetanggaku beli teve. Aku beli mobil rongsokan, tetanggaku beli mobil baru.

Lama-lama aku sadar bahwa aku disaingi. Dia pikir dia bisa lebih hebat dari aku. Pasti dia belum tahu siapa aku, sehingga berani-beraninya menantang kompetisi melawan aku.

Esok paginya aku beli cat hitam banyak-banyak. Semua tembok luar, termasuk pintu dan jendela, aku cat hitam legam.

Tetanggaku tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menyaingiku. Besoknya lagi kujual sepedaku, kugadaikan teveku — tetanggaku semakin kalah bersaing melawanku!

The post Persaingan Dengan Tetanggaappeared first on CakNun.com.

Tradisi ihram

Tradisi “Ihram” Untuk Menggali Hawa Murni

Oleh EMHA AINUN NADJIB •  30 Mei 2015

Dipublikasikan dengan tag Esai, Maiyah ,
Padhangmbulan
Maiyah PadhangmBulan edisi Juni 2015

Share: Facebook Twitter Google+

Pengajian Padhang mBulan sedang berlangsung keempat kalinya malam ini, dan semakin kukuh dan jernih nuansanya bahwa ia tidak memiliki pamrih apapun kecuali penyembahan yang lugu sekumpulan makhluk hidup kepada Penciptanya.

Kalau Tuhan memperkenankan sesuatu atas ketulusan hati orang-orang yang berkumpul ini, bisa saja forum pengajian ini kelak memiliki makna sejarah. Tapi ia bukanlah gerakan kebudayaan, apalagi gerakan politik. Ia mungkin suatu gerak, tapi bukan gerakan — sebab ‘gerakan’ berarti suatu pretensi pengaitan diri dengan perubahan-perubahan dalam sejarah, yang dengan gampang bisa diassosiasikan dengan pola-pola baku sistem sosial yang berlaku.

‘Gerakan’ cenderung identik dengan suatu enerji sejarah yang memerlukan organisasi, ideologi dan target-target.

Bukan.

Pengajian Padhang mBulan hanyalah semangat dan kekhusyukan yang innosen (polos, lugu) dari hati dan akal sejumlah manusia yang berkumpul untuk menyapa Tuhan agar disapa Tuhan.

Ia juga bukan semacam pengajian atau pesantren sebagaimana yang selama ini ada dan dipahami dalam masyarakat kita. Sebab di forum ini tidak ada Kiainya . Fuad Effendy hanya dipanggil Cak Fuad dan Ehma Ainun Nadjib hanya dipanggil Cak Nun.

Hal sepele ini sesungguhnya sangat penting karena dengan panggilan itu tercermin bahwa dalam forum ini
tidak ada hirarki-hirarki sebagaimana yang dikenal dalam tradisi pesantren atau tarikat.

Ini juga bukan perguruan , karena memang tidak ada murid dalam forum ini.

Satu-satunya term, nama, istilah atau kategori yang bisa dipakai untuk mendekati dan memahami forum pengajian barangkali adalah ihram: semua orang disini menanggalkan seluruh pakaaian sosialnya, jabatannya, gelarnya, posisi kulturalnya, gengsi pribadinya, serta seluruh kompleks-kompleks keduniawiannya — untuk bersama-sama mengenakan kain putih untuk bertemu batin dan akal kepada Allah swt .

‘Ihram’ itulah yang barangkali sedang kita tradisikan bersama-sama. ‘Ihram’ untuk menggali hawa murni, melatih telinga kita agar bersama-sama diperkenankan Tuhan sanggup mendengarkan kebenaran, melatih mata kita agar mampu menatap Al-Haq, melatih seluruh jiwa raga kita untuk tidak ditinggalkan oleh Allah swt, yang amat kita cintai dan kita butuhkan.

Catatan:

Tulisan ini merupakan pengantar Maiyah Padhang mBulan edisi keempat yang ditulis oleh Cak Nun, sekitar 21 tahun yang lalu.

Minggu, 12 Juli 2015

Ranjang 65jt

Ranjang 65 Juta Rupiah

Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 12 September 2012

Dipublikasikan dengan tag Cermin
Share: Facebook Twitter Google+

Kita bisa dan boleh membeli ranjang dan kasur tidur
seharga 65 juta rupiah. Tapi kita pilih yang harganya satu juta rupiah saja. Atau yang harganya seratus ribu rupiah saja. Bahkan ada teman kita yang memilih jauh lebih murah dari itu.

Kenapa?
Salah satu jawabannya adalah: karena ia dewasa.

Ranjang 65 juta rupiah itu bisa dipakai untuk menggaji
2000 guru sekolah dasar, atau untuk makan minum sebulan 1000 keluarga rakyat kecil, atau bisa juga dipakai untuk memodali 130 organisasi koperasi wong cilik.

Sabtu, 21 Februari 2015

Lapar

Perkara Lapar

Oleh TOTO RAHARDJO

• 27 Maret 2013

Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+

Kalau LAPAR itu pasti akibat tidak atau belum makan. Perkaranya adalah kenapa tidak atau belum makan?

Kalau tidak makan disebabkan karena puasa atau diet itu karena unsur niat, disengaja.

Ada pula tidak atau belum makan dikarenakan lupa, sangking asyieknya sedang melakukan aktifitas tertentu sehingga pada waktunya makan tidak dilakukannya — hal semacam ini juga tak bisa menyalahkan pihak lain, tidak makan karena kealpaan yang terjadi pada dirinya sendiri itu pasti merupakan
kesalahan dirinya sendiri, bisa saja menyalahkan orang-orang disekitarnya, kenapa tidak mengingatkan untuk makan karena sudah waktunya makan?

Yang justru wajib dipersoalkan apabila ada orang kelaparan disebabkan karena memang tidak ada pangan yang harus dimakannya.

Ini belum mempersoalkan apa makanan yang dimakan; bagaimana kandungan gizi, nutrisi, higienis — sehat apa tidak?

Darimana asal-usul makanannya?

Itu makanan pabrikan apa makanan lokal?

Makanan import yang penuh dengan bahan pengawet?

Atau makanan yang berasal dari bahan-bahan hasil rekayasa genetika yang tidak pernah jelas status keamanannya?

Bagi golongan yang anti babi apakah yakin bahwa apa yang dimakan sama sekali tak ada unsur babinya?

Karena ada banyak tanaman hasil rekayasa yang
menggunakan gen babi.

Hal lain lagi, apakah sudah jelas apa yang kita makan sungguh-sungguh berasal dari bahan makanan yang
bukan hasil dari penyelundupan?

Apakah apa yang kita makan yakin bukan dari hasil colongan (mencuri) bahkan dari hasil korupsi?

Masih bisa dideretkan lagi beribu-ribu pertanyaan….
Kembali pada pertanyaan; “Mengapa ada orang atau pihak yang tengah kelaparan, karena tidak ada yang dimakan?”

Ternyata untuk menjawab pertanyaan itu ada dua golongan yang berbeda menjawabnya.

Golongan pertama menanggapi bahwa kenapa itu terjadi karena orang-orang yang tengah kelaparan itu memang pada dasarnya tingkat pendidikan rendah, maka dari itu mereka miskin ditambah lagi motivasi kerja rendah (boleh dikata malas kerja).

Golongan kedua berkeyakinan, mengapa ada orang-orang yang kelaparan itu disebabkan karena ada pihak-pihak yang sangat rakus makan, maka ada pihak lain yang tidak kebagian jatahnya.

Hal di atas sebetulnya bukan hanya melulu soal pangan, coba seandainya “kelaparan” diganti dengan “kemiskinan”, pasti tidak jauh berbeda, karena ini sangat terkait dengan cara berfikir. Padahal cara berfikir yang akan menjadi pemandu tindakan (boleh dikata ini ilmu pasti).

Cara berfikir golongan pertama sangat jelas bahwa yang dipersalahkan malah orang yang sedang mengalami kelaparan — sudah jadi korban dipersalahkan pula (blaming the victim), boleh dibilang golongan pertama, sejak dari pikirannya saja sudah menyalahkan korban. Kira-kira cara berfikir semacam ini akan memandu pilihan tindakan seperti apa?

Yang pasti apapun pilihan tindakan (tema, metode,
strategi), sasaran objeknya adalah si korban.

Anggapan bahwa sikorban itu yang bermasalah.
Seandainya si korban adalah mobil pasti sudah
dibawa ke bengkel untuk diperbaiki.

Paling-paling akan ada sekian program untuk orang-
orang yang sedang kelaparan itu, misalnya;
program training motivasi, dakwah, bantuan makanan, tambahan makanan gizi sesaat dan tindakan karitatif lainnya.

Coba Anda bayangkan seandainya yang memiliki cara pandang demikian adalah orang atau pihak yang memiliki kekuasaan?

Bagi golongan kedua, jelas cara pandangnya terbalik dari cara pandang golongan pertama.

Golongan kedua sama sekali tidak berani menyalahkan mereka yang tengah kelaparan, atau kaum miskin pada umumnya. Namun melihat dengan seksama;

“apa yang keliru, kenapa ada seseorang yang tidak kebagian jatahnya?”,

“apakah ada aturan main yang mempermudah pihak-pihak dengan leluasa mengambil jatah orang lain?”

Mengambil jatah orang lain dalam ukuran besar
bisa disebut menguasai, mencuri, korupsi.

Menguasai sumber daya alam, mengkorup anggaran untuk kesejahteraan rakyat, menimbun barang-barang kebutuhan masyarakat.

Golongan ini tidak melihat bahwa kelaparan atau
kemiskinan pada umumnya terkait dengan pendidikan rendah, dengan rendahnya motivasi.

Yang mendasar bahwa ada sistem yang tidak adil yang mempermudah para pencuri sehingga melahirkan kelaparan dan kemiskinan masyarakat berkepanjangan.

Maka bagi aliran ini;
kelaparan ataupun kemiskinan adalah akibat dari ketidakadilan, akibat dari sistem yang mempersilahkan orang-orang atau pihak-pihak leluasa untuk mengumbar hasrat keserakahannya, membiarkan akhlak “perilaku makan” kanibalisme — makan tidak sederhana sekadar mengisi perut karena lapar.

Namun kepentingan makan ternyata dipengaruhi oleh
nafsu kerakusan untuk menguasai kehidupan manusia.

Kembali Urusan Pangan “Sangat jelas bahwa persoalan kelaparan bukan disebabkan karena kekurangan bahan pangan, namun lebih pada ketiadaan akses atas bahan pangan, terutama bagi kalangan penduduk miskin”.

Statemen yang dilontarkan pada tahun 1982 oleh Institute for Food & Development Policy yang berbasis di Oakland, California lalu diterbitkan dalam buku karya Frances Moor Lappe, Peter Rosset dan Joseph Collins dengan judul: World Hunger: Twelve Myths (Kelaparan
Dunia: Dua Belas Mitos).

Masalah pangan menjadi topik penting dalam agenda kebijakan ekonomi dan politik dunia, sesuatu yang sebelumnya dianggap sebagai urusan “teknis pertanian” belaka.

Singkat kata, persoalan pangan dan kekurangan pangan — serta kelaparan, kekurangan gizi, kematian yang diakibatkannya — adalah persoalan politik-
ekonomi yang lebih banyak ditentukan di belakang meja para politisi dan pembuat kebijakan, ketimbang di laboratorium atau di ladang-ladang percobaan para pakar pertanian.

Di belakang mereka semua adalah para pemilik modal raksasa, penguasa industri pangan dan kimia pertanian yang membiayai mereka, termasuk dalam rangka mengembangkan tentang mitos kelangkaan bahan pangan.

Menanam kebaikan

Kebaikan Menanam Kebaikan

oleh REDAKSI MANEGES QUDROH REPORTASE MANEGES QUDROH EDISI FEBRUARI 2015

HUJAN DERAS YANG mengguyur kota Muntilan sejak
sore hari 7 Februari 2015 masih menyisakan gerimis dan udara dingin yang menusuk tulang.

Namun demi mencari dan menggali ilmu, dulur-dulur Maiyah Maneges Qudroh tetap bersemangat mempersiapkan acara sarasehan yang telah direncanakan malam itu.

Bertempat di Pendopo Kecamatan Muntilan, pukul 20.30 WIB acara dimulai dengan nderes Quran oleh Mas Adi. Jamaah pun mulai berdatangan. Karena suasana sudah cukup menghangat, Eko Mulyono segera membuka acara dengan mengajak hadirin bersholawat.

Selanjutnya sebagai moderator, Pak Dadik membuka
forum dengan menghantarkan cerita tentang pohon
yang menjadi teman intim seorang anak kecil saat
bermain hingga si anak kecil menjadi dewasa, sang
pohon tetap memberi manfaatnya berupa buah, batang
kayu hingga akarnya kepada anak di kelak kemudian
harinya, meskipun pohon tersebut sudah semakin
diabaikan seiring dewasanya si anak. Pohon tidak egois.

Demikian pengantar Pak Dadik yang kemudian langsung melemparkan tema kepada narasumber dari dinas pertanian, Bapak Eko Widhi.

Bapak Eko mengawali dengan sudut pandang beliau
sebagai praktisi tanam-menanam dengan mengambil
contoh pohon bambu. Tanaman bambu yang banyak di
sekitar kita adalah cara alam memberi pembelajaran
kepada manusia. Tak dapat dipungkiri bahwa tanaman
bambu sudah lazim digunakan untuk berbagai macam
bahan baku kerajinan tangan, seperti mebel, keranjang,
bahkan berbagai macam alat musik. Hal itu merupakan
bukti bahwa bambu sangat lekat dengan kehidupan
masyarakat nusantara. Namun sayangnya hari ini tidak
banyak dari kita yang berinisiatif menanamnya.

Beliau juga menyuplik cerita tentang pohon mahoni di
sebuah desa yang nampak gagah menjulang, sementara tak jauh dari sana tumbuh serumpun kecil pohon bambu. Keduanya saling berbincang setiap hari. Pohon mahoni selalu menyombongkan dirinya yang besar dan gagah. Akan tetapi pohon bambu hanya selalu memberi pujian setulus hati.

Hingga suatu malam hujan deras disertai angin kencang membuat pohon mahoni bertahan sekuat tenaga namun akhirnya tumbang. Berbeda dengan bambu yang mengikuti arah tiupan angin hingga hujan reda. Si bambu tetap berdiri di atas tanah.

Artinya, dalam pencapaian sukses, manusia selalu
dihadapkan oleh realitas masalah yang selalu datang
silih berganti. Untuk itu kita harus menghadapinya
dengan fleksibel sebagaimana bambu. Sebab jika kita
bersikap kaku, merasa diri paling hebat dan kuat,
niscaya kita akan tumbang seperti mahoni.

Menambahi yang disampaikan Pak Eko, Mas Anang
mengutip pepetah-pepatah orang dulu.

Jika ingin hidup 1 tahun tanamlah buah-buahan.
Jika ingin hidup 10 tahun tanamlah pepohonan
Jika ingin hidup selamanya tanamlah kebaikan

Sebagaimana Rasulullah dulu hanya berbuat kebaikan
saja secara terus menerus, maka kita saksikan sekarang beliau tetap ‘hidup’. Namanya abadi. Maka di Maiyah, kita seyogyanya berbuat baiklah saja terus menerus.

Mas Joko dari Pekalongan ikut merespon.

Sekarang ini untuk melakukan kebaikan saja kita sudah tidak punya parameter yang jelas.

Contohnya saja di daerah asal Mas Joko, ada sekelompok Gento yang membuat gebrakan berupa kebaikan sering masih dianggap sebelah mata oleh orang-orang sesepuh atau tokoh agama di sekitarnya.

Misalnya saja, pameo ‘ bocah wingi sore’ kadang masih disematkan pada sekelompok orang yang dianggap kurang pas terhadap apa yang dilakukannya.

Esensinya, bahwa ketika kita berbuat kebajikan itu
adalah investasi nilai. Tidak usah berpikir memetik
hasilnya.

Kalau Maneges Qudroh terus membuat kebaikan demi kebaikan pasti tidak akan sia-sia. Kita ini dilatih berpuasa. Hasilnya biar anak cucu kita yang menikmati.

Malam itu diskusi cukup hangat. Dan apa yang
didiskusikan semakin mengerucut. Setelah sedikit
session tanya jawab, Pak Ida yang datang membawa
gitar, melakukan perform secara spontan membawakan lagu tentang alam.

Setidaknya malam itu membuahkan catatan penting,
bahwa berbuat kebaikan (tentu indah dan juga benar -
red) cukuplah dilakukan dengan terus menerus dengan
penuh keteguhan hati tapi tidak kaku sebagaimana
pohon bambu.

Niscaya semua itu tidak sia-sia.

Acara ditutup dengan pemotongan tumpeng ulang tahunMQ ke-4 oleh Mas Anang. Semoga MQ ke depan tetap
istiqamah meski segala kekurangan senantiasa
menyertai.

Senada dengan kata-kata Simbah,
“Temukan kebahagiaan menanam sebagaimana kebahagiaan saat memetik”.∎

[TEKS: WAHYU ESBE]

Presiden malioboro

Untuk Umbu Presiden Malioboro

Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB

• 17 Desember 2012

Dipublikasikan dengan tag Esai , Puisi
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Malioboro

Syukur kepada Tuhan yang memperkenankan saya berjumpa dengan Umbu Landu Paranggi. Satu-satunya orang yang pernah digelari sebagai Presiden Malioboro oleh media massa, kalangan intelektual, aktivis kebudayaan 42 tahun yang lalu.

Di zaman ketika orang masih mengerti bagaimana menghormati keindahan. Di kurun waktu tatkala manusia masih punya perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung kebaikan dan masih percaya kepada kebenaran.

Kemudian sebagai “jebolan Universitas Malioboro”,
hampir setengah abad saya lalui jalan sesat, dan kini
saya terjebak di kurungan peradaban di mana manusia mengimani kehebatan, bertengkar memperebutkan
kekuasaan, mentuhankan harta benda, bersimpuh kepada kemenangan, serta memompa-mompa diri untuk mencapai suatu keadaan yang mereka sangka keunggulan.

Secara teknis saya mengenal Umbu sebagai pemegang rubrik puisi dan sastra di Mingguan “Pelopor Yogya” yang berkantor di ujung utara Jl Malioboro Yogyakarta. Bersama ratusan teman- teman yang belajar nulis puisi dan karya sastra, kami bergabung dalam “Persada Studi Klub”.

Puluhan tahun kemudian saya menyadari bahwa saya tidak berbakat menjadi penyair, dan ternyata yang saya pelajari dari Umbu bukanlah penulisan puisi, melainkan “Kehidupan Puisi” – demikian menurut idiom Umbu sendiri.

Antara Tugu hingga Kraton, terdapat empat (4) jalan. Pertama, Margoutomo. Terusannya, sesudah rel KA, bernama Malioboro .  Jalan lanjutannya adalah Margomulyo.  Kemudian dari Kantor Pos hingga Kraton adalah Jalan Pangurakan . Sekarang jalan itu bernama Jl. Mangkubumi dan Jl. Jendral Ahmad Yani:

wacananya, filosofinya, kesadaran sejarahnya, sudah mengalami perubahan dan penyempitan, dari falsafah karakter manusia ke catatan romantisme sejarah.

Hari ini bahkan Malioboro adalah pariwisata, kapitalisme dan hedonism pop .

Wali Pengembara

Ketika berdiri, kepemimpinan kesultanan Yogya
meyakini bahwa setiap manusia sebaiknya memastikan dirinya menempuh “jalan utama”.

Tafsir atas “jalan utama” sangat banyak.
Bisa pengutamaan akal dan budi, bukan menomersatukan pencapaian kekuasaan,
kesejahteraan ekonomi atau eksistensialisme “ngelmu katon” alias kemasyhuran yang pop dan industrial.

Bisa juga jalan utama adalah
“berbadan sehat, berbudi tinggi, berpengetahuan
luas, berpikiran bebas”, atau apapun yang intinya memaksimalkan peran kemanusiaan untuk fungsi “rahmat bagi seluruh alam semesta”.

Untuk menguji diri dalam pilihan jalan utama, maka “ Malio-boro ”. “Malio” artinya “jadilah Wali”, mengelola posisi kekhalifahan, menjadi wakil Tuhan untuk memperindah dunia, “ mamayu hayuning bawana ”.

Malioboro artinya
jadilah Wali yang mengembara (“ boro ”):
mengeksplorasi potensi-potensi kemanusiaan,
penjelajahan intelektual, eksperimentasi kreatif,
berkelana di langit ruhani. Nanti akan tiba di jalan kemuliaan (Margo-mulyo).

Dalam idiom Islam, yang diperoleh bukan hanya ilham
(inspirasi) dari Tuhan, tapi juga fadhilah (kelebihan), ma’unah (keistimewaan) dan karomah (kemuliaan).

Di ujung jalan Margomulyo, orang menapaki Pangurakan. Jiwanya sudah “urakan” (ingat Perkemahan Kaum Urakan-nya Rendra di awal 1970an?):
sudah berani mentalak kepentingan dunia dari hatinya, “ ya dunya ghurri ghoiri, laqat thalaqtuka tsalatsatan ”: wahai dunia, rayulah yang selain aku saja, sebab kamu sudah kutalak- tiga. Bahkan “diri sendiri” sudah ditalak, karena “diri sejati” adalah kesediaannya untuk berbagi,
kerelaannya untuk menomersatukan orang banyak.

Parameter manusia bukanlah “siapa dia”, melainkan “seberapa pengabdiannya kepada sesama”.

Memilih Presiden 2014 sangat mudah:

pandangi wajahnya dan pelajari perilaku hidupnya,
apakah penempuh jalan Margoutomo, Malioboro dan Margomulyo.

Raja-raja sejati nenek moyang kita mengakhiri hidupnya dengan merohanikan diri, menjadi Begawan, Pandita, Panembahan.

Raja yang sibuk mengatur agar penguasa berikutnya adalah sanak familinya, tidak punya kwalitas memasuki jiwa Pangurakan, karena memang tidak pernah memilih jalan utama, mewali-pengembara sehinga lolos masuk jalan mulia.

Kekasih Umbu Ah, tetapi itu terlalu muluk. Untuk Presiden Malioboro ini saya kembali saja ke sesuatu yang kecil dan sepele.

Menjelang tengah malam, di tahun 1973, Umbu datang ke kamar kost saya dan mengajak pergi. Sebagaimana biasa saya langsung tancap, berjalan cepat mengejar langkah Umbu yang panjang-panjang. Hampir tiap malam kami jalan kaki menempuh sekitar 15 sd 20 km di jalanan Yogya.

Sebulan dua bulan sekali kami mengukur jarak Yogya ke Magelang, ke Klaten, ke Wates, ke Parangtritis, dengan jalan kaki. Atau duduk saja di trotoar sesudah toko-toko tutup hingga pagi para pelajar berangkat sekolah.

Umbu mengajak saya “ mlaku”, bukan “ mlaku-mlaku” .

“Jalan”, bukan “jalan-jalan”.

Ada beda sangat besar antara “ngepit” dengan “pit-pitan”, antara naik sepeda dengan bareng-bareng
bersepeda gembira.

Sangat beda antara bekerja dengan hiburan,
antara berjuang dengan iseng- iseng,
antara makan beneran dengan mencicipi,
antara jalan kaki sunggugan dengan jalan-jalan.

Kalau pakai konsep waktu:
yang satu menghayati, lainnya melompat.
Yang satu mendalami, lainnya menerobos.
Yang satu merenungi, lainnya memenggal.

Harian lokal Yogya pernah memuat foto sangat besar almarhum Prof. Dr. Umar Kayam di halaman depan sedang naik sepeda, menempuh jarak 150 meter dari Bulaksumur B-12 ke kantornya di E-12.

Pak Bon kantor menyongsong juragannya, menyodorkan koran itu dan nyeletuk:
“Bapak ampuh tenan. Baru mulai kemarin naik sepeda ke kantor sudah keluar di koran. Kok saya sudah 30 tahun lebih naik sepeda 30-an km tiap hari pulang pergi dari Gunung Kidul ke kantor, kok ndak masuk koran
ya Pak..”

Maklumlah Pak Bon tidak mengerti apa-apa tentang jurnalisme. Sambil jalan kaki dengan Umbu saya tersenyum-senyum sendiri kalau ingat protesnya Pak Bon.

Malam itu Umbu menerobos Keraton Yogya bagian tengah dari arah barat, menempuh sekitar 3 km, Umbu mengajak berhenti di warung kecil seberang THR. Duduk. Pesan teh nasgithel, berjam-jam tidak bicara sepatah katapun, ah-uh-ah-uh sendiri-sendiri, hingga
pukul empat fajar hari.

Beberapa kali dengan dua jari Umbu mengambil batangan rokok di kedalaman sakunya tanpa menoleh ke saya — jangankan mengeluarkan bungkusnya dan
menawarkan agar saya juga menikmatinya.

Ketika jam empat tiba, Umbu bergumam lirih, “Coba lihat keluar, Em….”.
Saya bertanya, “Lihat apa, Mas?”,
dia menjawab, “Perhatikan nanti ada Bis Malam dari Malang masuk Yogya….”.

Saya melompat keluar, berdiri, berjaga-jaga di tepi
jalan. Sebab saya mengerti, “Bus” nya tidak penting, tapi “kota Malang” itu sakral baginya. Ia berkait erat dengan kekasih hatinya.

Umbu sedang sangat jatuh cinta kepada seorang
pelukis mahasiswi ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) asal Malang, gadis hitam manis, kurus, bergigi gingsul. Umbu mengambil saya sebagai tenaga outsourcing gratisan untuk mengerjakan program-program cintanya.

Jobdescription saya mengamati rumah tempat ia
kost, posisi kamarnya, arah pintunya, route kegiatannya, dan yang terpenting meneliti apakah si gadis pernah memakai rok. Sebab rata-rata pelukis wanita berpakaian lelaki. Kalau sempat melihatnya pakai rok, harus didata apakah maksi, midi ataukah mini.

Ketika pada suatu malam Minggu saya diperintahkan untuk bertamu ke rumah gadis itu sebagai “Duta Cinta”,
jauh malam sesudahnya saya diinterogasi:

“Apakah dia nemuin Emha pakai rok?
Bagaimana bentuk kakinya?”

Ketika mendadak Bis Malam “AA” meluncur dari arah selatan, saya kaget. Langsung saya teriak dan berlari memberitahu Umbu. Tapi dia tidak menunjukkan perilaku seperti lelaki yang jatuh cinta dan rela berjam-jam menunggu kekasihnya tiba. Di dalam warung Umbu tetap menundukkan wajah, mengisap rokok, tidak bereaksi kepada teriakan saya. Justru ketika suara bis menderu, wajahnya makin menunduk.

Semula saya pikir si kekasih akan turun di depan THR karena kencan dengan Umbu. Ternyata kemudian saya ketahui bahwa si kekasih bukan sedang naik bis dari Malang ke Yogya. Umbu hanya menikmati nuansa bahwa jalur Malang-Yogya itu paralel dengan jalur cinta yang sedang dialaminya. Ia cukup mendengar suara bus itu lewat, cukup baginya untuk menghadirkan kekhusyukan cintanya. Begitu bus sudah lewat, Umbu mengajak saya pulang, dia ke ujung
Malioboro utara, saya balik ke barat Keraton.

Beberapa hari kemudian Umbu memerintahkan agar saya beli tiket bus malam Yogya-Malang pp. Saya mengantarkannya sampai bus berangkat. Dia melaju. Subuh tiba di Malang, Umbu turun sebelum Tugu masuk pusat kota Malang. Jalan kaki masuk ke wilayah timur. Melintasi Jl Diponegoro, di situ rumah sang kekasih.

Berjalan cepat, menundukan wajah, tidak sesekonpun
berani menoleh ke rumah si gadis pujaan.

Kemudian berputar balik ke jalan besar, mencegat bis menuju Surabaya, terus ke Yogya.

Sorenya sudah datang lagi ke tempat kost saya:
duduk, ah-uh-ah-uh, mengambil batang demi batang rokok dari sakunya dengan jepitan dua jari-jarinya. Tak ada kata tak ada huruf hingga pagi.

“Kehidupan Puisi”

Beberapa tahun kemudian Umbu pindah tinggal di Bali. Demikian juga si kekasih rohaninya, diperistri oleh seorang tokoh di Bali, kelak Tuhan memanggilnya ketika bermain surfing di pantai, sebagaimana Umbu sepanjang hidupnya “ surfing ” di atas gelombang demi gelombang, tanpa pernah mungkin bertempat tinggal di atas gemuruh lautan.

Siapapun pasti menyebut percintaan Umbu itu “platonik”, pengkhayal, hidup tidak di dunia nyata. Dunia yang gegap gempita ini memang tidak nyata bagi Umbu. Maka ia tidak pernah memburu wanita itu untuk disentuh dan diperistrikannya.

Sampai hari ini Umbu mengayomi anak-anak muda belajar menulis puisi, tapi Umbu sendiri menjauhi eksistensi sebagai penyair.

Di tahun 1973 puluhan puisinya akan dimuat oleh Majalah “Horizon” elite media sastra di era 1970an: Umbu diam-diam masuk ke percetakan di mana majalah itu dicetak, mencuri puisi-puisinya sendiri, dan menyembunyikannya sampai hari ini. Umbu sangat curiga kepada kemasyhuran dan popularitas.

Sejak 50 tahun silam meninggalkan harta kekayaan dan kekuasaannya sebagai “Pangeran” di Sumba. Di pinggiran Denpasar ia menempati rumah tepi hutan karena ia menghormati temannya yang membikinkan rumah itu.

Umbu tiap saat berjalan kaki menjauh dari segala
sesuatu yang semua orang di muka bumi mengejarnya. Ia menyebut seluruh keputusannya itu dengan idiom “kehidupan puisi”. Saya mengenalinya sebagai “zuhud”: berpuasa dari kemewahan dan gegap gempita dunia. Ia
meninggalkan harta, kekuasaan, wanita, kemasyhuran dan menyimpan uang dalam bungkusan plastik dipendam di tanah.

Saya bukan siapa-siapa di dunia, tetapi kapan ada yang tanya siapa Guru saya, baru nama Umbu yang pernah saya sebut.

Puluhan tahun saya berkeliling berjumpa dengan jutaan orang. Rata-rata mereka adalah orang memperlakukan saya sebagai keranjang sampah untuk
mengeluhkan dunia, membuang kesedihan dan
frustrasi, menumpahkan kebingungan dan rasa
tertekan oleh keadaan-keadaan dunia yang menindas mereka.

Kecuali Umbu:
ia bahagia dan khusyu dalam kesunyian dan “ketiadaan”nya.

Di mana-mana sajapun orang riuh rendah mengejar dunia, tetapi di mana-manapun saja orang ribut curhat tentang dunia.

Ke manapun saya pergi, ke delapan penjuru angin, dari
bawah sampai atas, pada segmen dan level sosial
yang manapun, yang terutama saya dengar dan
disampaikan kepada saya adalah keluhan-keluhan tentang dunia:
kemiskinan, kesulitan mencari nafkah, susahnya dapat kerjaan, seretnya usaha.

Terkadang saya balik tanya, dengan terminologi Agama:

“Lha kamu hidup ini mencari dunia atau akhirat?”.

Kalau ia menjawab “mencari dunia”, saya tuding “salahmu sendiri dunia kok dijadikan tujuan”.

Kalau jawabannya “mencari akhirat”, saya katakan “kalau kamu mencari akhirat kenapa mengeluhkan dunia”. Kan sudah jelas sejak dahulu kala bahwa “urip ming mampir ngombe” , hidup hanya mampir minum. Namanya juga mampir, singgah sejenak, bukan bertempat tinggal.

Sudah jelas dunia hanya tempat persinggahan sementara di tengah perjalanan, kok disangka kampung halaman.

Sayangnya Tuhan menyatakan – dan mungkin
memang sengaja menskenario demikian —
“kebanyakan manusia tidak mau berpikir”, atau
minimal “banyak di antara manusia yang tidak
menggunakan akal”.

Karena kemalasan mengolah logika dan sistem ratio, orang menyangka “dunia” dan “akhirat” itu dua hal
yang berpolarisasi, berjarak dan bahkan bertentangan.

Orang ketakutan menyikapi dunia kritis karena mengira kalau mencari akhirat maka tak mendapatkan dunia.

Orang mengira kalau tidak habis-habisan kejar uang maka ia tidak memperoleh uang.

Mengejar uang adalah pekerjaan dunia, pekerjaan paling rendah.

Bekerja keras adalah pekerjaan akhirat, di mana dunia adalah salah satu tahap persinggahannya untuk diolah.
Orang yang fokusnya bekerja keras memperoleh lebih
banyak uang dibanding orang yang fokusnya
adalah mengejar uang.

Orang yang yang mencari dunia, mungkin mendapatkan dunia, mungkin tidak.

Orang yang mengerjakan akhirat, ia pasti dapat akhirat dan pasti memperoleh dunia.

Begitu kumuh dan joroknya situasi ummat manusia berebut dunia. Dan begitu indah dan bercahayanya “kehidupan puisi” Umbu.

Suatu hari saya mohon izin untuk membuktikan bahwa
keindahan sesungguhnya adalah puncak kebenaran dan kebaikan.

Peradaban manusia sampai hari ini menjalankan salah sangka yang luar biasa terhadap keindahan.