Sabtu, 29 November 2014

Garam kok asin

Garam Kok Asin
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 12 November 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Seorang tokoh senirupa mengemukakan
kepadaku bahwa pesawat televisi adalah benda
magis. Sebutan kotak ajaib baginya bukan main-
main, sebab bagaimana mungkin dari kaca itu
muncul gambar.
Aku gemar pada getaran
dan selalu terangsang oleh
segala sesuatu yang
mungkin bisa membuatku
tergetar. Hal televisi itu
memang benar merupakan
suatu pengalaman magis
bagi sang senirupawan
(dunia subjektif), tapi
(dunia obyektif) ia bisa dibongkar oleh
penjelasan ‘ilmu pengetahuan biasa’ yang
membuktikan kepadanya bahwa televisi itu
bukan peristiwa magis.
Demikian juga ketika seorang tokoh sastrawan
merasa takjub menyaksikan sepeda motor dislah
lantas berbunyi menderu-deru sambil
mengeluarkan asap. Ia mengemukakan bahwa itu
mistis. Penjelasan ‘ilmu pengetahuan biasa’ akan
menggugurkannya.
Seorang piawi lain memberitahukan bahwa
contoh peristiwa magis misalnya ialah tenung
dan santet. Bagaimana mungkin engkau
memasukkan keranjang ke dalam perut saingan
dagangmu, menyusupkan sekeping emas ke pipi
agar orang jatuh cinta, atau membentengi
gawang dengan tembok magis agar tak terlalu
banyak kemasukan gol.
Hal-hal semacam itu memang bisa
menggetarkan, sampai pada seseorang
menggengam pengertian bahwa itu bukan magis
karena bisa diurai juga oleh ‘ilmu pengetahuan
bisa’, meskipun belum pernah diartikulir oleh
wilayah keilmuan kita. Seperti juga kemenyan
dipilih untuk mengundang ‘rekan-rekan dari
dunia lain’. Seperti juga ada ramuan daun dan
akar-akaran tertentu yang letak kodratnya
bersentuhan dengan dimensi jin. Sifat kodrati
dedaunan dan anggota alam lain ini yang
membikin seorang Shaman Indian mengalami
proses dan penggunaan alat yang berbeda
dibanding seorang dukun dayak ketika
melangsungkan hubungan diplomatik dengan
‘masyarakat luar dimensi manusia’.
Aku tidak tahu itu semua. Aku tidak mampu
menjelaskan rangka teknologis pesawat televisi,
seperti aku juga nggak becus menerangkan kata
orang hantu-hantu menyukai pohon-pohon
tertentu untuk domilisinya, atau kenapa kata
orang binatang lebih peka terhadap adanya
hantu dibanding manusia.
Aku tidak tahu itu semua, dan aku tidak tergetar
oleh itu semua. Sampai akhirnya seorang yang
lain menanyakan kenapa gula itu manis dan
kenapa garam itu asin.
Ini menggetarkan bukan karena pertanyaan ini
tergolong sebagai pertanyaan filosofis,
melainkan karena ia merangsangku untuk
membongkar kembali sikap, kesadaran dan
imanku ketika sarapan, mengunyah tahu tempe,
serta ketika memeras keringat bagaimana
memperoleh dua tiga potong tahu tempe di
tengah kehidupan yang sudah begini megah dan
pintar.
Dalam perjalanan pembongkaran itu aku
bertemu tidak saja dengan ide penciptaan
makanan tahu, dengan para tukang bikin tahu
yang menginjak-injak bnatalan kristal kedelai,
tentang petani garam yang tersingkir di Madura,
tentang tebu tanam paksa jauh sesudah jajahan
Belanda — tapi juga dengan prototanisme dan
kapitalisme, dengan marxisme kuno maupun
marxisme mode baru, yang semuanya memang
tidak pernah sempat bertanya kenapa gula itu
manis dan kenapa garam itu asin.
Pertemuan dengan hal-hal besar itu juga tidak
menggetarkan, sebab ‘nafsu’ku kemudian – yang
menggetarkan – hanyalah bagaimana
memperbanyak orang gila yang bersedia
menanyakan kepada dirinya sendiri kenapa gula
manis kenapa garam asin.
Kata dosen filsafat, itu immanent. Kata Ustadz
itu termasuk qadla dan qadar. Kalau engkau
bertanya kepada pelawak ludruk ia akan
menjawab – “Lha kalau yang manis hanya
keringat di ketiakmu, siapa mau minum teh
manis?” Persis seperti ketika mereka menjawab
kenapa Tuhan meletakkan hidung di bawah mata
dan di atas mulut – “Sebab kalau ditaruh di
bawah pinggang sebelah belakang, ‘kan…..”
Adapun, kata sahibul hikayat, tak hanya gula
yang manis, tapi gula pasti manis. Tak hanya
garam yang asin, tapi garam pasti asin.
Dan sastrawan kita itu menarik napas dalam-
dalam – “Itu mistis” katanya, “Gula itu kok
manis, ya mbok sekali-sekali gula itu asin, atau
garam yang manis…”
Bisa saja, Mas. Kita bikin konvensi baru manis
kita sebut asin, asin kita sebut manis. Atau gula
kita sebut garam, garam kita sebut gula. Itu kan
cuma soal nomenklatuur . Kata seni bisa kita ganti
daki , kata intelek kita ganti panu.
Tapi yang ini tetap terasa begini, dan yang itu
tetap terasa begitu. Adakah ini awal dari sejarah
alam semesta? Atau kah ada sesuatu yang lebih
konkret, lebih wenang, di belakangnya?
Sebelumnya?
Ilmu pengetahuan mandeg di situ. Karena ilmu
pengetahuan hanya menyelidiki. Menyelidiki,
dengan jarak. Menyelidiki garam, menyelidiki
asin. Ilmu pengetahuan tidak mengalami. Ilmu
pengetahuan tidak menyatukan diri dengan yang
di belakang garam dan di belakang asin.
Asin tidak bisa di- report, diinformasikan,
diartikulir, diterjemahkan. Engkau tidak bisa
memberitahukan kepada seseorang yang
lidahnya hampa dari radar rasa bagaimana rasa
asin. Ia harus mengalaminya sendiri.
Demikian pun Allah. Demikian pun Allah
Seorang Pendeta menodongku dengan
mengemukakan – “Kita terus terang saja, bahwa
dalam agama apa pun wahyu itu tidak ada.
Qur’an itu karangan Muhammad, meskipun aku
memaklumimu bahwa untuk konteks
penggembalaan umat engkau mengatakan yang
berbeda”.
Tentu saja aku tidak bersedia menyeret diri
untuk memperdebatkan dengannya pembuktian-
pembuktian sejarah wahyu, dengan kecanggihan
ilmiah yang paling mutakhir pun Aku tidak
bersedia membuang waktu memperdebatkan
rasa asin dengan seseorang yang tidak
mengalami asin di lidahnya

Demokrasi dan egomania

Demokrasi dan ‘Egomania’
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 12 Juli 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Saya menduga keras bahwa secara ilmu bahasa,
istilah ‘egomania’ tampaknya tak bisa
dibenarkan. Tetapi saya tidak sanggup
menjumpai idiom lain untuk mewakili apa yang
hendak saya jelaskan.
Ialah suatu kondisi
mentalitas di mana ‘kosmos
kepribadian’ seseorang
hampir seluruhnya diisi
oleh hanya dirinya sendiri.
‘Dirinya sendiri’ itu
mungkin lebih gamblang
kalau saya sebut ego-
pribadi, atau bahasa umum
menyebutnya ‘interest pribadi’. Idiom yang saya
gunakan itu memakai kata ‘mania’ untuk
menerangkan kadar kepenuhan interest pribadi
itu di setiap sepak terjang seseorang. ‘Stadium
tinggi’ egoisme itu membuat orang tersebut tidak
memiliki aktivitas sosial, karena setiap perilaku
‘sosial’nya sesungguhnya merupakan aktivitas
pribadi. Dengan kata lain, seluruh dunia ini,
orang lain, lingkungan, fasilitas-fasilitas
kehidupan, hanyalah ‘bagian’ dari egonya.
Anda boleh membayangkan jika —misalnya—
negara, partai politik, lembaga-lembaga sosial,
rakyat, tanah, hasil bumi, atau lebih eksplisit:
institusi Ikadin atau AAI umpamanya hanyalah
bagian dari egoisme atau interest pribadi-
pribadi.
Sesungguhnya Anda boleh percaya bahwa hal
demikian sudah merupakan pemandangan
‘lumrah’ di sekitar kita. ‘Pancasila’, ‘Islam’,
‘Kesatuan dan Persatuan’, ‘Manusia Indonesia
Seutuhnya’, ‘Konstitusi’, atau apapun, amat
sering diucapkan tidak sebagai kebenaran diri
idiom-idiom itu sendiri, melainkan sebagai alat
dari proyek interest-interest pribadi. Pancasila
seringkali hanyalah berfungsi instrumental,
sedang yang substansial adalah ‘egomania’.
Sesungguhnya pula, jika Anda memasuki hakekat
realitas dunia perpolitikan — dalam konteks
sempitnya maupun konteks luasnya —
pandangan mata Anda insyaallah akan
bergelimangan egomania. Lantas Anda akan juga
merasa tergetar apabila menyaksikan betapa
batu cadas egomania itu dikonstruksikan dengan
pilar-pilar kekuasaan politik, fundamental-
fundamental beton persenjataan, serta dinding-
dinding tebal kulturalisme dan ‘birokratisme’.
Jika sebuah komunitas, atau setidaknya sebuah
organisasi, mengalami keretakan: Anda silahkan
bersangka baik bahwa itulah mekanisme
demokrasi. Itulah potret pluralitas di mana
perbedaan pendapat dan kehendak boleh
dipergunakan.
Akan tetapi jika kemudian Anda menjumpai
bahwa itu bukanlah perbedaan pendapat tentang
kebenaran, melainkan benturan kepentingan-
kepentingan ‘egomania’, persilahkanlah hati
nurani Anda menitikkan air mata.
Apalagi jika cara untuk berbeda yang dipakai
oleh kaum intelektual, priyayi modern,
pengemban prinsip hukum, serta teladan bagi
jutaan rakyat yang selalu dituduh ‘buta hukum’
— persis dengan cara para korak atau gali
membenturkan perbedaan.
Kita adalah manusia modern yang tak tahu diri.
[]
Pernah dimuat di Rubrik Wall Pass, Yogya Post,
Jumat Pon, 3 Agustus 1990
Dokumentasi Progress

Dari bedug sampai anjing

Hal Tajdid: Dari Bedug sampai
Anjing
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 27 Januari 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Seorang Muballigh muda Muhammadiyah pernah
datang ke desaku untuk tampil secara
mengagumkan dan mempesona dalam suatu
pengajian. Dengan nada keras, penuh semangat
dan kefasihan, ia menyodorkan kejutan-kejutan.
Diuraikan tentang
keharusan membawa
kembali Islam seperti
aslinya ajaran Muhammad
Shallallahu’alaihi
wasallam. Khurafat,
tahayul, bid’ah, musti
dibuang jauh-jauh. Dan
lagi, memeluk agama itu
mustilah dengan menggunakan akal, tak asal
taqlid membabi buta saja, sebab akallah yang
membedakan kita dari segenap binatang.
Pasal pertama yang dibenahi ialah arah
menghadap ketika salat. Bikinlah garis shaf
dalam masjid kira-kira 24 derajat condong ke
utara, agar kita salat menghadap ke Ka’bah,
bukan ke negeri Somalia. Kemudian soal bedug:
untuk apa itu? “Sekarang ini setiap hidung
punya jam”, katanya. Lantas, soal puji-pujian
musikal antara adzan dan iqomah. Lantas soal
koor wirid sehabis salat jamaah. Kemudian
sekian hal lagi yang menyangkut perilaku
keagamaan sehari-hari.
Terkejutlah sekalian penduduk desa, dan merasa
begitu kotor karena ternyata selama ini
melakukan hal-hal yang mungkin tak diridhai
Allah. Memang, tajdid pasal pertama Muballigh
kita ini, tidak ilmiah; ia tak bawa kompas,
sehingga tak tahu bahwa posisi desaku memang
sudah persis terarah agak miring ke utara, jadi
persis menghadap Ka’bah, juga masjidnya. Ini
tentulah kekhilafan kecil: Muballigh kita terlalu
bergantung pada common-sense, lupa pada
keperluan “formal-survey” yang ilmiah.
Namun percayalah, bahwa kata-kata “ilmiah”
atau “rasional” merupakan “bayang-bayang
baur” di benak orang-orang desaku, sehingga
kegagalan pasal pertama itu tak berarti gagalnya
usaha tajdid yang ia lakukan. Sejak itu, perlahan-
lahan bedug dicopot, dipakai kayu bakar dan
kulitnya dimasak. Puji-pujian stop dan koor
wirid lenyap. Orang-orang tua berwirid sendiri-
sendiri, sementara anak-anak muda dan anak-
anak kecil menyelenggarakan tradisi lamcing :
habis salam, plencing pergi.
Tak Bisa Berpicing Mata
Sayang sekali Muballigh kita itu cukup sekali saja
datang ke desa untuk membawa “SK Tajdid” dari
Pusat itu. Hampir tak ada proses internalisasi
lebih lanjut yang melibatkan para penduduk
perihal pemurnian Islam, menggasak bid’ah,
khurafat, tahayul dan seterusnya, dalam arti
suatu internalisasi di mana mereka diajak untuk
aktif rasional.
Apa yang kemudian terjadi, adalah situasi
“yaskhor qoumun min qoumin” dalam suatu iklim
yang “politis”. Pertarungan bendera antara
Muhammadiyah dengan NU berlangsung dengan
lucu, naif, jumud dan memalukan, sehingga
biarlah terkubur di gundukan-gundukan tanah
masa silam. Yang mungkin agak kurang
menyedihkan untuk dikisahkan ialah terjadinya
“reuni” sekian tahun kemudian. Karena sakit
oleh berbagai kebodohan bersama, tak krasan
oleh banyak retak-sosial yang begitu kampungan
dan menyangkut hal-hal amat sepele, maka
bendera-bendera itu pun diturunkan. Sampai
kini, penduduk desaku hidup dalam Islam yang
tanpa embel-embel lain: meskipun tetap selalu
ada beda faham di sana-sini, tapi tak sampai
terjebak oleh formalisme-formalisme aliran,
yang bukannya salah, tetapi penduduk desaku
belum siap meng-hadapi “keorganisasian
madzhab” yang ketika sampai di desa telah
tinggal kerangka.
Kabarnya, hantu kerangka itu muncul; karena
mekanisme tajdid yang dibawa oleh organisasi-
organisasi pembaharu itu kurang diterapkan
dengan mempertimbangkan faktor-faktor
sosiologis-kultural masyarakat yang berbeda-
beda. Faktor itu yang menunjukkan kepada kita
bagaimana persuasi yang diperlukan untuk
mereduksi sesuatu hal dari lingkaran tradisi
suatu komunitas; bahkan seberapa benar sesuatu
itu perlu direduksi atau tidak. Sebab, untuk
menilai terjadi tidaknya bid’ah atau tahayul
umpamanya, kita tak bisa menilainya dengan
berpicing mata. Apalagi kita tahu persis bahwa
proses internalisasi keagamaan dalam
masyarakat tradisional seperti di desaku,
mengandung susunan-susunan saling berkait
antara berbagai unsur kompleks dalam hidup
mereka. Kita harus menatapnya dengan jeli, agar
tak terjebak oleh term berpikir yang sering kita
anggap ilmiah: membedakan sisi kehidupan
agama dari kehidupan sosial, ekonomi, budaya
dan lain-lain. Padahal, agama bukanlah sektor,
melainkan pedoman nilai dari Allah yang
memberi watak, sifat dan arah tujuan semua
kegiatan hidup kita, ya politik, ya ekonomi, ya
sosial budaya.
Kerangka di atas juga muncul, disebabkan
karena dalam tubuh suatu organisasi, biasanya
ada berlaku hukum pelunturan nilai. Artinya ada
distorsi kualitatif yang terjadi antara pucuk
dengan lapisan atau sendi-sendi di bawahnya.
Hal ini merupakan akibat yang khas dari
aksentuasi sikap kita untuk menjadi “tabi’iin”
atau “taabi’it-taabi’iin” belaka dan kurang
mengaktivisir keharusan-keharusan lain,
umpamanya untuk biasa berpikir sendiri,
menimbang-nimbang sendiri dan seterusnya
dalam menginternalisasi Islam. Ada begitu
banyak afalaa ta’qiluun, afalaa fatadabbaruun,
afalaa tatafakkaruun, namun ma’rifat kita belum
terbuka benar. Bukan terutama karena Allah
belum berkenan membukanya, tapi kita
umumnya memang kurang berminat sungguh-
sungguh untuk membuka mata. Walaqad
yassarnal Qur’ana lidz-dzkri fa hal min-
muddakir…. — Oleh sebab itu, kita tak boleh
terkejut apabila menjumpai tak sedikit “agents of
innovation” dari suatu organisasi pembaharu
ternyata juga hanya penganut-penganut, yang
meskipun tak buta betul, tapi setidaknya tiga
perempat buta. Kalau kita mau jujur dan rendah
hati: dalam kondisi seperti itu tak mustahil di
tengah percaturan pemikiran tajdid, kita
terjebak oleh suatu isyarat Allah yang secara
verbal sesungguhnya dimaksudkan untuk orang-
orang kafir: innalladzina yujaadiluuna fii
aayaatillaahi bighairi sulfhaanin ataahum in fii
shuduurihim illaa kibrun maa humbibaalighiihi….
Sebab, kita mafhum ayat Allah bukan hanya
yang tertera verbal dalam AI-Qur’an —
“sanuriyahum aayaatina fil aafaaqi wa fii
anfusihim….” — benarkah tak mungkin kita
termasuk dalam golongan orang yang dimaksud
oleh Allah itu? Misalnya, karena tanpa kita
sadari, bahwa kita telah terlibat dalam suatu
kufuran intelektual, tertentu? Yang jelas, kita
mesti siap untuk suatu hari menyaksikan
kenyataan bahwa yang perlu ditajdid itulah yang
jadid, dan ternyata yang mujaddid itulah justru
perlu ditajdid.
Semoga, hal ini tidak terjadi, namun, baiklah kita
berwaspada, sebab segala sesuatu bisa masuk ke
dalam diri kita, juga setan dan pengaruh-
pengaruh apa pun.
Di desaku pun sangat mungkin terjadi hal
semacam itu. Atau barangkali kita sekaligus
mengandung kedua-duanya: yakni hal yang
perlu ditajdid serta hal yang mendorong kita
untuk melakukan tajdid. Jadi agaknya
masyarakat pertama yang mesti ditajdid ialah
diri kita sendiri, sementara semangat tajdid juga
pertama-tama mesti diri kita sendiri yang
memiliki.
Kiai Beli Anjing
Ada satu tajdid yang lucu di desaku, yang
menyadarkanku bahwa ternyata kekentalan
hubunganku dengan penduduk desa masih amat
kurang . Tersebutlah seorang Kiai yang haus
akan tajdid, sehingga selalu sibuklah ia
mengembarai berbagai lapangan faham Islam.
Sayang sekali, landasan kehausan tajdidnya
bukan suatu sikap mandiri yang mementingkan
penggunaan akal sehat dan kebersihan hati serta
keluasan wawasan. Dalam pengembaraanya itu,
ia selalu hanya terseret-seret belaka oleh satu
faham ke faham lain. Begitu terjadi berulang-
ulang, dan hasil pengembaraannya itu biasanya
langsung diungkapkan lewat khutbah-khutbah
Jumat atau pada kuliah subuh — kesempatan
satu-satunya ia bersedia bertatap muka dengan
khalayak.
Pertama menjadi bingunglah para jamaah
karena diombang-ambingkan. Tapi lama
kelamaan hal itu menjadi komedi. Orang jadi
“hapal” lagak lagu sang Kiai dan tak begitu
gampang terpengaruh. Menjelang salat Jumat,
bahkan orang-orang saling bercengkerama dan
meramal apa kira-kira yang akan diomongkan
oleh sang Kiai. Hal yang digasak adalah hal yang
biasanya kemarin didukung. Apa yang hari ini di
gembar-gemborkan, bulan depan mungkin akan
digasaknya kembali. Dari satu sudut: itulah
potret dari semangat pembaharuan yang
dinamik, penuh gelombang dan kontinyu. Tapi
dari sisi lain, itulah gambaran dari sebuah
pribadi yang mengembara di atas udara, tanpa
pijakan, tanpa akar dan tanpa aktivitas akal
sehat dan kematangan kejiwaan.
Memang jamaah tak begitu terpengaruh, tapi
untuk hal-hal yang menyangkut “gengsi
modern”, orang desa amat gampang terseret.
Merangsang mereka untuk mengkonsumsi
“identitas-identitas kemodernan”, semudah
makan kacang bakar. Jadi ketika berkat suatu
usaha tajdid, sang Kiai membeli dan memelihara
anjing, maka segera inovasi ini diikuti oleh
puluhan orang. Hari ini di satu jalur jalan saja
ada kira-kira 40 anjing. Memelihara anjing itu
betul-betul kenikmatan baru: “Kayak yang di tv!”
Ini suatu ironi besar, karena dulu penduduk desa
adalah pembenci, bahkan pembunuh anjing. Ada
seekor saja nongol di desa, mampuslah ia.
Aku sendiri belum memberi tanggapan cukup
jauh terhadap hal ini, karena harus ditemukan
persuasi yang tepat untuk membereskan sesuatu
di desa. Aku tidak anti anjing, tapi ada konteks
yang tak beres dengan tajdid peternakan anjing
itu.
Suatu hari, aku mengobrol saja dengan salah
seorang penduduk. Hakim paling kuat untuk
Muslim desaku ini ialah ukuran halal-haram.
“Kata Pak Kiai memelihara anjing itu tidak
haram,” ungkapnya. Jadi itulah sumbernya.
Kucoba kemukakan kepadanya: memelihara
anak yatim itu bukan hanya tak haram, bahkan
penuh pahala dan keluhuran. Padahal biayanya
tak lebih mahal dari memelihara seekor anjing,
sementara seorang anak yatim bisa memberi kita
manfaat dan kekayaan spiritual yang tak bisa
kita peroleh dari buih mulut anjing. Memelihara
anjing memang boleh-boleh saja, seperti juga kita
boleh siang hari bolong merangkak dari gardu
sini sampai ke depan rumah Pak Lurah di ujung
sana. Tapi, agama bukan sekedar soal boleh dan
tak boleh. Halal-haram itu garis batas, yang tidak
kita injak atau harus kita hindari. Seperti main
sepakbola, ada garis pinggir, ada garis untuk
penalty dan offside, juga tangan kita termasuk
“daerah haram” untuk bola.
Tapi, masalah sepakbola yang paling utama ialah
bagaimana bermain bola secara baik, bukan
bagaimana tak memegang bola atau berlari
menginjak garis pinggir. Garis batas itu menjadi
wilayah permainan kita, namun yang penting
ialah bagaimana mengolah suatu permainan
yang baik. Engkau tidak diharamkan main sepak
bola sambil pakai peci atau sambil makan ketela,
tetapi kita punya akal yang mengukur manfaat
dan mudharat. Untuk itu, maka kita bermain
pakai celana pendek dan bukan sarung.
Memahami mana garis batas dan liku-liku
peraturan main bola tidak sukar, dan yang
terutama kita usahakan bagaimana mentalitas
bermain, bagaimana teknik dribbling pribadi
serta metode kerjasama sosial, bagaimana
menemukan “taqarrub” terhadap gawang secara
baik sehingga kita menang dan gol kita ciptakan
dengan menggetarkan jaring-jaring surga. Itulah
sepakbola hidup.
la kemudian mengemukakan anjing itu nanti
bisa dijual kembali dengan harga yang lebih
mahal. Jadi pertimbangan ekonomi. Maka
kuingatkan bahwa kita dulu punya tradisi ternak
kambing — kerbau — sapi. Sekarang ini,
kambing atau sapi lebih menguntungkan
dibanding anjing. Dan lagi, apakah penduduk
desa kita ini akan menjadi pendorong
pertumbuhan manusia-manusia pemakan
anjing? Baiklah teruskan dan kelak orang di sana
berkata: Di mana cari anjing untuk pesta kita? O,
di Mentoro pusatnya!
Tapi ia kemudian mengemukakan soal segi
keamanan. Anjing cepat memberitahu kita kalau
ada pencuri. Apakah engkau melatihnya untuk
itu? Tidak. Dan orang-orang lain? Tidak juga.
Kukemukakan kepadanya bahwa seorang Muslim
yang Islamnya baik Insya Allah terhindar dari
bahaya seperti itu. Setiap saat, nafas dan detak
darah kita bisa kita biasakan memohon kepada
Allah, “ Bismillahi laa yadhurru ma asmihii syaiun
fil-ardhi walaa fissamaa-i wahuwassamii
‘ul-‘aliim.” Tirulah Ayyub yang berkata, “Innii
masanidha-dhurru wa-anta arhamur-roohimiin”.
Semoga Allah pun berkehendak fastajabnaa
lahuu, fakasyafnaa maa bihii mindhurrin . Atau,
kenapa tak kita lingkari lingkungan hidup kita
dengan ayat Kursi atau banyak sekali ayat
lainnya? Kita sudah baca shalawat untuk Nabi
tiap hari, bukan? Nah, kita perbanyak jumlahnya
dan kita perdalam kekhusyukannya. Semoga
Nabi pun mengirim salam kepada kita karena
beliau adalah “….rasuulunmin-anfusikum aziizun
‘alaihi ‘anittum hariitsun ‘alaikum bilmu’miniina
ra’uufur-rahiim….” Atau dengan begitu banyak
lainnya Ayatullah yang maha sakti, yang apabila
ia dibacakan maka “….suyyiratbihil-jibaalu au
quthi’atbihil-ardhu au kullima bihilmautaa….”
Tidak percayakah Saudaraku akan kesaktian
mukjizat AI-Our’an? la tidak hanya sakti segi
kesastraannya saja, tapi juga sakti dan maha
benar segala dimensinya. la adalah karya Allah,
sehingga segala yang difirmankanNya laa raiba
fiihi . Bahkan api tak membakar Ibrahim, bahkan
hujan diperkenankan turun oleh Istisqa’ kita
bersama. Tak ada yang mustahil bagi-Nya. Kalau
ia mau: “….maa amarnaa illaa waah idafun
kalahmin bil-bashor….”
Cuma, kita bukan makhluk manja. Kita bukan
pengemis yang tak punya otak atau rasa malu.
Untuk urusan kacang goreng atau masalah —
masalah rasional kecil lainnya tentulah kita
bereskan sendiri secara manusia.
Kita tidak lantas meminta agar segala urusan
kita Allah yang mengurusnya. Kita bukan anak
sekolah yang kurang belajar maksimal dan
hanya mengandalkan doa dan sesudah terkabul
lantas lupa bersyukur.
Dan lagi, segala sesuatu ada syaratnya. Kita tidak
bisa hanya mentamengi diri dengan mukjizat AI-
Qur’an apabila secara keseluruhan AI-Qur’an tak
kita laksanakan nilainya. Tanpa mematuhi AI-
Qur’an berarti AI-Qur’an “enggan” menyatu
dengan kita, atau kita tak cukup bersih untuk
menyatukan diri dengan AI-Qur’an, dan dengan
demikian kita juga tak bisa menghayati kesaktian
ijaznya. Kesaktian magis puncak ayat AI-Qur’an
itu ibarat genteng yang melindungi seisi rumah
kita dari hujan. Artinya, kita tahu bahwa genteng
tak bisa kita taruh di udara. Mesti kita bangun
fundamen, dinding, kayu penyangga genteng itu,
serta tiang pusat. Nah, kukemukakan kepada
Saudaraku di desa itu bahwa umumnya kita di
desa ini sudah cukup membangun fundamen,
tiang pun sudah cukup berdiri, tinggal kita
sempurnakan kekuatannya semua, sehingga bisa
kita taruh genteng untuk melindungi kita dari
hujan. Jika demikian, maka Insya Allah kita
bukan saja terhindar dari pencuri ayam, tapi
juga segala pencuri yang lebih bermutu, bahkan
dari sihir dan fitnah. Kenapa tidak? Allah Maha
Benar bahwa Dia Maha Melindungi. Cuma
barangkali saja di dalam diri kita ayat-ayat Allah
itu masih berupa tumpukan genteng yang
mubazir, karena kita tak menggunakan
hikmahnya.
Saudaraku itu termangu-mangu. Ketika itu Ashar
segera tiba dan kami beranjak sama-sama ke
surau.
Dok: Progress. Pernah dimuat di Panji
Masyarakat No. 415 Tahun 1983

Hancurkan kebinatanganku

Hancurkan Kebinatanganku
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 3 Februari 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Pada setiap raka’at sembahyang yang tanpa
duduk tahiyat, Anda memerlukan tahap transisi
ruku’ dari qiyam menuju posisi sujud. Tapi
kemudian dari posisi sujud ke qiyam, Anda
melakukannya langsung tanpa ruku’ .
Ini acuan pertama.
Acuan kedua adalah
pertemuan Anda dalam
shalat dengan beberapa
karakter atau sifat Allah
Swt. Ini berdasarkan
kalimat-kalimat yang Anda
ucapkan selama melakukan shalat.
Pertama, tentu saja Allah yang Akbar . Lantas ia
sebagai Rabbun . Selanjutnya, Rahman dan
Rahim . Kemudian hakekat kedudukannya
sebagai Malik . Dan akhirnya Allah yang ‘Adhim
dan A’la .
Kedudukan Allah sebagai Akbar atau Yang Maha
Lebih Besar (Ia senantiasa terasa lebih besar,
dinamis, tak terhingga, seiring dengan pemuaian
kesadaran dan penemuan kita) — kita ucapkan
untuk mengawali shalat serta untuk menandai
pergantian tahap ke tahap berikutnya dalam
shalat.
Artinya, setiap langkah kesadaran dan laku kita
letakkan di dalam penghayatan tentang
ketidakterhinggaan kebesaran-Nya.
Si Maha Lebih Besar yang dahsyat itu bukannya
mengancam dengan kebesaran-Nya, melainkan
mengasuh kita melalui fungsi-Nya sebagai
Robbun .
Sebagai Yang Maha Mengasuh, Ia bersifat penuh
kasih dan penuh sayang. Rahman dan Rahim .
Penuh cinta dalam konteks hubungan individual
Ia dengan Anda, maupun dalam konteks
hubungan yang lebih ‘heterogen’ antara Ia
dengan komprehensi kebersamaan kemanusiaan
dan alam semesta.
Tapi jangan lupa Ia adalah Raja Diraja. Ia Malik ,
hakim agung di hari perhitungan. Ia sekaligus
Maha Legislatif, Maha Eksekutif dan Maha
Yudikatif.
Dan memang hanya Ia yang berhak penuh
merangkum seluruh kedudukan itu hanya
dengan diri-Nya yang Sendiri, tanpa kita
khawatirkan terjadi ketidakadilan dan
ketidakjujuran — yang pada budaya kekuasaan
antarmanusia dua faktor itu membuat mereka
menciptakan perimbangan sistem trias politica.
Kemudian karakter dan kedudukan-Nya sebagai
‘Adhim dan A’la . Yang Mahabesar (horizontal)
dan Mahatinggi (vertikal).
Yang ingin saya kemukakan kepada Anda adalah
bahwa kita menyadari-Nya sebagai A’la , Yang
Mahatinggi itu, tatkala dalam shalat kita
berposisi dan bersikap sebagai binatang.
Artinya, kalau kita menyadari kebinatangan kita,
yakni dalam keadaan bersujud: badan kita
menelungkup bak binatang berkaki empat.
Ketika kita beroperasi setengah binatang, waktu
ruku’ bagaikan monyet yang seolah berdiri
penuh seperti manusia namun tangannya
berposisi sekaligus sebagai kaki — yang kita
sadari adalah Allah sebagai ‘Adhim .
Dan ketika kita berdiri (qiyam ), Allah yang kita
hadapi adalah Allah Rahman , Rahim , dan Malik .
Binatang yang ‘ruku’ dan ‘sujud’ tidak memiliki
tradisi intelek dan kesadaran ontologis, sehingga
tidak terlibat dalam urusan dengan Maliki
Yaumiddin. Raja Hakim hari perhitungan. Kadal
dan monyet, termasuk juga virus HIV, tidak
diadili, tidak masuk sorga atau neraka.
Ketika kita ‘menjadi’ binatang atau menyadari
potensi kebinatangan diri saat sujud dan ruku’,
kedudukan subyek kita waktu itu adalah aku.
Maka kita ucapkan subhana robiiya …. bukan
subhana robbina .
Subyek ‘aku’, dengan aksentuasi egoisme,
individualisme, egosentrisme, dst lebih dekat ke
kebinatangan, dan itu yang harus kita sujudkan
ke hadapan Allah Swt.
Adapun ketika kita berdiri, ‘qiyam’, kita menjadi
manusia kembali. Dan subyek kita ketika itu
bukan lagi ‘aku’ melainkan ‘kami’. Artinya,
tanda-tanda eksistensi kemanusiaan adalah pada
kadar sosialitasnya, kebersamaannya, integritas
kanan-kirinya. Kalau binatang, secara naluriah
ia bermasyarakat, tapi oleh Allah mereka tidak
dituntut atau ditagih tanggung jawab
kemasyarakatannya. Tuntutan dan tagihan itulah
yang membedakan antara binatang dan
manusia. Itu pulalah yang menghinakan
manusia, atau justru memuliakannya.
Mungkin itulah sebabnya maka sesudah kita ber-
takbiratul ihram dan berdiri ‘sebagai manusia’,
Allah menyuruh kita untuk berlebih dahulu
menyadari kebinatangan kita dalam sujud,
melalui transisi ruku’. Nanti sesudah sujudnya
penuh, silakan langsung berdiri kembali sebagai
manusia.
Nanti menjelang Pemilu, pesta demokrasi yang
urusannya bergelimang kekuatan dan kekuasaan
di antara sesama manusia — ada baiknya semua
pihak memperbanyak sujud. Agar supaya
kebinatangan diminimalisir.
Dan semoga jangan banyak-banyak yang
bersikap sebagaimana iblis, yang menolak sujud,
karena merasa lebih tinggi, lebih benar, dan
takabbur.
Ah, nanti panjang sekali kalau saya teruskan…. []
Dimuat di Harian Republika, 31 Maret 1996, dan
terhimpun dalam buku “Keranjang
Sampah” (Emha Ainun Nadjib, Zaituna, 1998).

Mbok nggak usah ada neraka

Mbok Nggak Usah Ada Neraka
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 15 Februari 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Setiap calon santri di padepokan Sang Sunan, di
test dulu bagaimana ia membaca kalimat
syahadat. Dan Saridin memiliki lafal dan
caranya sendiri dalam bersyahadat. Suatu cara
yang Gus Dur saja pasti tidak berani
melakukannya, minimal karena badan Gus Dur
terlalu subur — sementara Saridin adalah lelaki
yang atletis dan seorang pendekar silat yang
mumpuni.
Tapi sebelum hal itu
diceritakan, karena Saridin
khawatir Anda kaget lantas
darah tinggi Anda kambuh,
maka harus diterangkan
dulu beberapa hal
mendasar yang
menyangkut hubungan
antara Tuhan dengan
humor.
Sejak mulai akil balig, Saridin secara naluriah
maupun perlahan-lahan secara rasional
memutuskan untuk melihat dan memperlakukan
kehidupan ini sebagai sesuatu yang sangat
bersungguh-sungguh — namun ia menjalaninya
dengan urat saraf yang santai dan dengan
kesiapan humor yang setinggi-tingginya.
Soalnya, diam-diam, jauh di dalam lubuk
hatinya, Saridin yakin bahwa Tuhan sendiri
sesungguhnya adalah Maha Dzat yang penuh
humor….
Memang belum tentu benar, belum tentu baik
dan arif, untuk menyebut bahwa Tuhan itu Maha
(Peng- atau Pe-) Humor. Di antara 99 asma dan
watakNya, tidak terdapat nama Maha Humor.
Tapi kalau misalnya di satu pihak Tuhan itu
Maha Penyayang dan di lain pihak Ia Maha
Penyiksa, atau di satu sisi Ia Maha Pengasih dan
di sisi lain Ia Maha Penghukum, atau di satu
dimensi Ia Maha Penabur Rejeki tapi sekaligus
pada dimensi lain Ia Maha Penahan Rejeki —
terpaksa kadang-kadang kita menganggap itu
suatu jenis humor. Paling tidak supaya kepala
kita tidak pusing.
Ada sih penjelasan kontekstualnya. Tuhan
mengasihi atau menyiksa hamba-hambaNya
menurut konteks dan posisi nilai yang memang
relevan untuk itu. Tuhan mungkin mengasihi
siapa saja meskipun mereka mbalelo kepadaNya:
Tuhan tetap memelihara napas para maling,
Tuhan tidak menyembunyikan matahari dari
para perampok, Tuhan tidak menghapus ilmu
dari otak para koruptor.
Tapi tidak mungkin Tuhan menyiksa orang yang
patuh kepadaNya. Tuhan tidak mungkin
menghukum orang yang tak punya kesalahan
kepadaNya. Kalau Tuhan menahan rejeki orang
yang taat kepadaNya, maka penahanan rejeki itu
mungkin merupakan suatu jenis rejeki tertentu
yang merupakan metoda agar orang tersebut
menghayatinya dan memperoleh nilai yang lebih
tinggi. Atau kalau seseorang yang baik kepada
Tuhan tapi lantas diberi kemiskinan atau
penderitaan, tentu yang terjadi adalah satu di
antara tiga kemungkinan.
Pertama, itu teguran. Alhamdulillah dong kalau
Tuhan berkenan mengkritik kita. Itu artinya kita
punya kans untuk menjadi lebih baik. Kedua, itu
ujian. Juga alhamdulillah, karena hanya orang
yang disediakan kenaikan pangkat saja yang
boleh ikut ujian. Dan ketiga, itu hukuman. Ini
lebih alhamdulillah lagi, karena manusia selalu
membutuhkan pembersihan diri, memerlukan
proses pensucian dan kelahiran kembali.
Jadi menurut Saridin jelas, bahwa bagi mata
pandang manusia, ide-ide penciptaan yang Ia
paparkan pada alam semesta dan kehidupan,
banyak sekali mengandung hal-hal yang kita
rasakan sebagai “humor”.
Bukan hanya ketika kita melihat perilaku
monyet, umpamanya — yang membuat Saridin
berpikir: “Ah, ini yang bikin tentu Dzat yang
maha pencipta humor, atau sekurang-kurangnya
pencipta monyet adalah Entertainer Agung bagi
jiwa dahaga manusia….”
Soalnya kelakuan monyet ‘kan mirip-mirip
Anda….
Juga Anda mengalami sendiri betapa banyaknya
hal-hal yang lucu di muka bumi ini, bahkan juga
mungkin di luar bumi. Saridin sendiri amat
sering tertawa riang atau tertawa kecut kalau
melihat atau mengalami kehendak-kehendak
Tuhan tertentu. Umpamanya tatkala Adam
tinggal di sorga, Tuhan sengaja bikin pohon
Khuldi, tapi dilarangnya Adam menyentuh. Tapi
pada saat yang sama, Ia ciptakan Iblis untuk
menggoda agar Adam melanggar larangan itu —
dan akhirnya terjadi benar.
Sehingga beliau beserta istri terlempar ke muka
bumi, dan kita semua terpaksa menjumpai diri
kita juga tidak lagi di sorga, melainkan di bumi.
Itupun bumi yang sudah dikapling-kapling oleh
konsep adanya negara. Oleh adanya organisasi
pemerintahan yang kerjanya memerintah dan
melarang seperti Tuhan. Kalau Tuhan sih
memang berhak seratus persen memerintah dan
melarang karena memang Ia yang menciptakan
kita dan semua alam ini, serta yang
menyediakan hamparan rejeki dan menjamin
hidup manusia.
Tapi pemerintah ‘kan nyuruh kita cari makan
sendiri-sendiri. Kalau kita kelaparan atau
dikubur hutang, kita tidak bisa mengeluh kepada
pemerintah.
Hubungan kita dengan pemerintah hanya bahwa
kita sebuah berada di bawah kekuasaannya
tanpa ada jaminan bahwa kalau kita mati
kelaparan lantas mereka akan menangisi kita
dan menyesali kematian itu. Semakin banyak di
antara kita yang mati, secara tidak langsung
program KB akan semakin sukses.
Soal ini memang tergolong paling lucu di dunia.
Kalau di negara sosialis dulu, rakyat dijamin
kesejahteraannya meskipun minimal, namun
sama rata sama rasa — dengan catatan tidak
boleh mbacot , tidak boleh membantah, alias tidak
ada demokrasi. Kalau di negeri kapitalis, setiap
orang memiliki hak bicara, hak ngumpul dan
berserikat — tapi dengan syarat harus cari
makan sendiri-sendiri, harus mandiri dan berani
bersaing, berani jadi gelandangan kalau kalah.
Lha Anda adalah rakyat yang hidup di negeri
yang mengharmonisasikan dua keistimewaan
dari negeri sosialis dan negeri kapitalis. Anda
tidak usah banyak bicara, tak usah membantah,
tak perlu protes-protes, karena toh makan dan
kesejahteraan hidup Anda harus Anda jamin
sendiri….
Departemen Sosial, Polsek, Babinsa, Koramil,
Majelis Ulama, ICMI, PCPP, YKPK, PNI-Baru
maupun Neo-Masyumi, tidak menjamin bahwa
Anda beserta keluarga akan tidak sampai
kelaparan.
Bahkan pada saat-saat kita tidak paham pada
takdirnya yang menimpa kita, dan itu mungkin
menyedihkan, demi supaya kita tetap survive
secara psikologis — seringkali kita anggap saja
itu semua adalah Humor dari yang Maha Kuasa.
Misalnya saja soal Pak Adam di sorga itu. Kalau
kita boleh bermanja kepada Tuhan, mbok ya
biarkan saja beliau menghuni sorga. Mbok ya
Tuhan ndak usah menciptakan Setan, Iblis dan
sebangsanya itu. Mbok ya langsung saja manusia
yang merupakan hasil ciptaan terbaik ini
ditakdirkan saja untuk menghuni sorga, sehingga
Tuhan tak usah juga bikin neraka.
Soalnya gara-gara Iblis menang dan sukses
dalam menggoda Adam, lantas di dalam
perkembangan dunia maupun pembangunan
kebudayaan nasional — Setan dan Iblis malah
mendapatkan peluang yang besar untuk menjadi
idola.
Dalam praktek-praktek kehidpan politik, dalam
mekanisme perekonomian dan dunia bisnis,
dalam soal-soal pembebasan tanah, soal
kebebasan asasi manusia dan lain sebagainya —
Setan banyak menjadi wacana utama. Para
penguasa tertentu dan pemegang modal besar
tertentu, banyak memperlakukan Iblis sebagai
mitra-kerja, dengan alasan: “ Alah , wong Pak
Adam saja juga kalah waktu digoda oleh blis
kok….”
Itulah sebabnya Saridin, ketika diperintah oleh
Sunan Kudus untuk bersyahadat, memutuskan
untuk menempuh suatu cara yang membuktikan
bahwa ia bukan saja tidak takut melawan Iblis
dan Setan — Saridin bahkan membuktikan
bahwa ia tidak takut mati. Saridin membuktikan
bahwa Saridin lebih besar dibanding kematian….
Demokrasi Tolol versi Saridin (Penerbit Zaituna,
1997)

Memilih presiden

Memilih Presiden
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 21 Maret 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Kalau kita makan, kita punya kekuasaan
terhadap yang kita makan. Kalau kita memilih
makan nasi uduk, itu kita perhitungkan kita
membelinya di suatu warung yang kita mampu
mengontrolnya. Kalau nasinya ada krikilnya kita
protes, dan kita punya pengetahuan apakah nasi
ini beracun atau tidak, basi atau tidak.
Setiap pilihan resikonya
adalah harus disertai
kesanggupan untuk
mengontrol sesuatu yang
kita pilih. Di situlah
kelemahan kita sebagai
bangsa Indonesia. Kita
harus memilih pemimpin
tanpa sedikit pun ada
kesanggupan untuk mengontrol pemimpin yang
kita pilih itu.
Bahkan lebih dari itu, bukan hanya tidak
sanggup mengontrol, kita bahkan tidak punya
pengetahuan yang mencukupi sama sekali
mengenai sesuatu yang kita pilih. Kita tidak tahu
sebenarnya caleg ini kualitasnya bagaimana,
hidupnya bagaimana, istrinya berapa, akhlaknya
bagaimana, kita tidak tahu sama sekali. Bahkan
tokoh-tokoh terkenal pun rakyat tidak tahu.
Bapak ini, Gus itu, orang nggak tahu sebenarnya.
Dan kalau pun mereka tahu, mereka tak punya
daya kontrol terhadap yang dipilihnya ini, tapi
mau tak mau harus memilih. Ini saya kira dilema
kita bersama se-Indonesia.
Jadi, sederhana saja sebenarnya. Kalau anakmu
naik kapal merantau ke luar pulau, maka selama
naik kapal akan ada kemungkinan ada badai,
ada kemungkinan dibunuh orang, ada
kemungkinan dia bertengkar dengan orang, ada
kemungkinan dia di ancam bahaya. Kepada
siapakah engkau menyerahkan anakmu yang
engkau tak bisa mengontrolnya di perjalanan,
kepada siapa? Kamu titipkan pak Camat? Kamu
titipkan nahkoda? Tidak ada jalan lain kecuali
engkau titipkan pada Allah SWT. Kalau yang kau
pilih di pemilu nanti kau tidak tahu siapa dia,
kamu tidak bisa mengontrol dia, kenapa tidak
kau serahkan pada Tuhan? Jadi serahkan pada
Tuhan.
Kalau dalam Islam sederhana. Kalau misal anda
tidak memilih, kalau nanti anda berdoa supaya
bangsa kita sejahtera, nanti Tuhan mengejek juga
“Lha kamu nggak milih aja kok minta bangsamu
sejahtera”. Tapi kalau memilih bingung juga mau
memilih yang mana, sedangkan kalau memilih
tidak bisa mengontrol juga. Ya kalau begitu
serahkan pada Tuhan.
Kalau dalam Islam caranya jelas. Jadi malamnya
shalat dulu kek , kalau nggak sempat ya dalam
hati saja berdoa, “Ya Tuhan, gimana mosok saya
nggak nyoblos, saya kan warga negara. Saya pilih
lah yang kira-kira paling bagus. Cuma kan saya
ndak bisa mengontrol dia, Tuhan. Jadi, tolong
dong, ini saya pilih satu. Setelah saya pilih dan
coblos, saya serahkan kepada-Mu. Kalau dia
pemimpin yang baik, panjangkan umurnya. Beri
dia kekuatan, dan bantulah urusan-urusannya.
Tapi kalau yang aku pilih ini ternyata
pengkhianat, penjilat, penindas rakyat dan sama
sekali tidak punya cinta kepada kami-kami yang
di bawah ini, mbok dilaknat dengan cepat, mbok
cepat-cepat diberi tindakan, Tuhan. Terlalu lama
lho kami rakyat Indonesia kayak gini terus
bingung nggak habis-habis. Terus kepada siapa
dong aku mengeluh? Kepada siapa dong rakyat
Indonesia mengeluh? Kepada DPR? Wong mereka
itu yang justru kami keluhkan kepada-Mu ya
Allah. Jadi tolong, Tuhan….”
Bisa juga ditambahi ayat-ayat. Sebelum masuk
kotak atau bilik bilang di dalam hati, begitu mau
mencoblos baca “Wa makaruu wa makarallah
wa-llahu khoirul maakirin” . Kalau mereka makar
pada nilai-nilai Allah dan nilai rakyat, maka
Allah akan makar pada mereka. Dan yang paling
jagoan untuk makar adalah Allah. Kalau mereka
khianat pada rakyat, berarti mereka khianat
pada Tuhan. Maka Tuhan juga akan makar pada
mereka. Wa-llahu khoirul maakirin . Jejak bumi
tiga kali, baru dicoblos. Nanti kalau dia khianat,
dia sakit kudis.
Dokumentasi Progress

Para kekasih iblis

Para Kekasih Iblis
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 13 Oktober 2012
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Semakin banyak orang tahu bahwa dunia ini
bergerak menuju “Indonesia harus terus hidup,
tapi jangan sampai besar dan kuat. Negara
Indonesia harus lemah, bangsa Indonesia harus
kerdil”.
Maka orasi seorang tokoh
tua di sebuah “rapat gelap”
ini mungkin justru
merupakan ungkapan cinta
yang mendalam dan
pembelaan kepada
Indonesia:
“Kita bangsa Indonesia jangan sampai
berhenti berjuang sebelum Indonesia
benar-benar total kehilangan
Indonesianya. UUD perlu kita
amandemen terus sampai berapa kalipun
sampai kelak nasionalisme dan
kedaulatan keIndonesiaan terkikis habis”.
“Setiap bikin undang-undang baru, peraturan-
peraturan baru, di lembaga kenegaraan sebelah
manapun, di tingkat paling atas sampai bawah,
sebaiknya dipastikan menuju proyek besar
sejarah de-nasionalisasi Indonesia hingga titik
paling nadir”.
“Demikian juga policy dan penanganan segala
bidang: perdagangan, pertanian, perpajakan,
pendidikan, kebudayaan, sampaipun cara
berpikir dan selera makan, hendaknya jangan
memanjakan ke-Indonesiaan. Bangsa Indonesia
adalah bangsa besar yang dengan
ketangguhannya siap ditimpa dan memikul
ujian-ujian sangat berat yang tak mungkin
dipanggul oleh bangsa-bangsa lain”.
“Pemimpin bangsa berikutnya haruslah lebih
buruk. Nasionalisme Indonesia harus dihajar
habis sampai tingkat kematian yang
memungkinkan ia lahir kembali. Kita
memerlukan tempo yang lebih tinggi untuk
menyelenggarakan kehancuran, kebobrokan dan
kebusukan — bangsa kita amat sangat tahan
derita, sanggup hidup nyaman dalam kebusukan,
bahkan mampu hidup sebagai kebusukan itu
sendiri”.
“Dialektika Penghancuran Nasional harus dipacu
habis. Kokohkan setiap pemerintahan sebagai
perusahaan yang memanipulasi dan
mengeksploitasi rakyatnya. Proyek penjualan
tanah air dengan segala kekayaannya harus
dijadikan ideologi utama”.
Pasti itu bukan pernyataan politik. Bukan
anjuran sejarah. Itu jeritan orang patah hati.
Kalau Negara rusak, pemerintahan penuh dusta,
sistem bobrok dan prinsip nilai jungkir-balik:
yang terutama menangis adalah “orang”. Adalah
“manusia”. Adapun Negara, pemerintah, ssstem,
nilai, tak bisa menangis, tak bisa bersedih. Juga
tak menanggung apa-apa. Yang menanggung
duka derita adalah manusia.
Jadi tulisan ini tak lebih hanyalah tegur sapa
dengan sesama manusia, dengan derita hatinya,
tangisnya, sepi dan bisunya.
Dan apa boleh buat, kalau menyapa manusia,
tidak mungkin dilakukan tanpa menyapa juga
pihak yang bikin manusia: Tuhan. Kemudian
juga IBlis, “hulu” derita ummat manusia.
Iblis berkata : “Tahukan engkau, Muhammad,
aku adalah asal usul dusta. Aku adalah makhluk
pertama yang berdusta. Para pendusta di bumi
adalah sahabatku. Dan mereka yang bersumpah
kemudian mendustakan sumpah itu, mereka
adalah kekasihku”.
Kurang jelaskah pemandangan wajah Indonesia
sekarang ini di kalimat Iblis itu? Kurang
tampakkah, sosok pemerintahan Indonesia,
tradisi mental banyak pejabatnya,
pengkhianatan terhadap amanat kerakyatannya,
juga manipulasi kebijakan yang sangat tidak
bijak — pada pernyataan Iblis itu?
Dan, pen “citra” an, apakah gerangan ia kalau
bukan dusta? Siapakah yang memamerkan
wajahnya, menyorong punggungnya,
menyodorkan dirinya untuk menjadi pemimpin,
selain sahabat dan kekasih Iblis?
Iblis tidak berjarak dengan diri kita, dengan
karakter budaya, politik dan pasar sejarah kita.
Malah Tuhan yang jaraknya cenderung semakin
menjauh dari kita, kecuali pas kita perlukan
untuk memperoleh keuntungan atau mentopengi
muka.
Akan tetapi dalam kehidupan kita Iblis bukan
fakta. Ia hanya simbol. Idiom. Icon. Hanya
abastraksi untuk menuding “kambing hitam”.
Atau Tuhan kita perlukan untuk kapitalisasi
karier, bisnis pendidikan, usaha dagang sedekah
dan industri zakat, kostum religi perbankan dan
bermacam-macam lagi dusta liberal
penyelenggaraan kapitalisme kita.
Tuhan juga makin jadi “dongeng”. Segera Ia akan
masuk daftar dongeng sesudah Malaikat dan dan
Iblis. Peta mitos. Khayalan tentang suatu
pemahaman yang disepakati istilahnya: Iblis,
Setan, Dajjal, sebagaimana abstraksi kata
Bajingan, Bangsat, Dancuk , Anjing. Sebab pada
makian “Anjing!” yang dimaksud bukan benar-
benar anjing. Anjing adalah binatang yang baik,
tidak pernah berdosa, tidak pernah berbuat jahat
dan tidak ada statemen Tuhan yang menyatakan
bahwa anjing masuk neraka. Bahkan dalam
faham pewayangan malah Puntadewa atau Prabu
Dharmakusuma yang hidupnya sangat ikhlas dan
sumeleh, tidak bisa naik ke langit yang lebih
tinggi sementara anjingnya melaju ke sana.
Iblis dipahami sebagai simbol, tidak sebagai
fakta. Itupun wilayah berlakunya simbolisasi
Iblis tidak dipetakan secara memadai. Iblis
diidentifikasi sebagai “idiom” untuk menyebut
segala jenis keburukan dan kejahatan manusia —
dan itu tidak sepenuhnya benar. Sedangkan
“arupadatu” di Borobudur pun fakta, tak hanya
“rupa datu” yang tampak oleh mata, yang
tergolong “Ilmu Katon”: pemahaman tentang
segala sesuatu yang bisa dilihat dengan mata.
Iblis sendiri tidak sepenuhnya tinggal di wilayah
“arupadatu”. Ia sangat faktual di “rupadatu”,
sebab ia berada pada syariat utama kehidupan
manusia, yakni darah yang mengalir di dalam
tubuhnya.
“Kamu Muhammad”, kata Iblis suatu hari, “tak
akan bisa berbahagia dengan ummatmu, karena
aku bisa memasuki darah mereka tanpa mereka
bisa menemukanku”. Iblis melanjutkan, “aku
minta kepada Allah agar menganugerahiku
kemampuan untuk mengalir di dalam darah
manusia, dan Allah menjawab Silahkan!”.
Sebentar. Yang menyuruh Iblis datang ke
Muhammad adalah Tuhan sendiri. Yang disuruh
itu lazimnya adalah anak buah. Dan kalau musuh
tidak pada tempatnya menyuruh musuh. Allah
menginstruksikan agar Iblis tidak berdusta
kepada Muhammad, menjawab pertanyaan
dengan jujur, serta membuka semua rahasia
tugasnya dari Allah di medan kehidupan
manusia.
Coba ingat kata-kata Iblis “Akulah makhluk
pertama yang berdusta”. Fakta dusta Iblis yang
pertama adalah ia tidak mau bersujud kepada
Adam. Penolakan untuk menghormati manusia
ini parallel dengan pernyataan semua Malaikat
kepada Tuhan: “Kenapa Engkau ciptakan
manusia, yang kerjanya merusak bumi dan
menumpahkan darah”. Andai di-kalimat-kan,
Iblis meneruskan: “Maka aku menolak bersujud
kepada Adam”.
Kemudian Allah mengizinkan Iblis yang meminta
“tangguh waktu” sampai hari Kiamat, untuk
kelak membuktikan bahwa setelah menjalani
sekian peradaban, manusia terbukti tidak punya
kelayakan untuk dihormati atau “disembah” oleh
Iblis dan para Malaikat. Dan Iblis hari ini
tersenyum-senyum: tak perlu nunggu sampai
Kiamat, datang saja ke Indonesia tanggal berapa
bulan apa saja untuk menemukan bahwa
penolakan bersujud oleh Iblis itu pada
hakekatnya bukan dusta.
Jadi, siapa yang lebih kompatibel dengan neraka:
kita atau Iblis? Ketika ada orang berbuat jahat,
kita maki “Dasar Iblis!”, secara idiomatik makian
itu tidak faktual. Ketika 70.000 anak-anak Iblis
berdebat, lantas salah satu dari mereka memaki
“Dasar manusia!”, itu bisa jadi itu malah benar
dan jujur.
Kayaknya salah satu kesalahan manusia yang
paling serius adalah memanipulasi Iblis. Padahal
seluruh keburukan yang kita ludahkan itu bukan
bikinan Iblis, melainkan produk keputusan kita
sendiri.
“Aku tidak diberi kemampuan oleh Allah untuk
menyesatkan manusia”, kata Iblis lagi kepada
Muhammad, “Aku hanya membisiki dan
menggoda. Kalau aku dikasih kuasa untuk
menyesatkan manusia, maka tak akan tersisa
satu orangpun yang menjadi pengikutmu.
Sebagaimana engkau Muhammad, tak ada
kemampuanmu untuk memberi hidayah kepada
manusia. Engkau hanya berhak dan mampu
menyampaikan, tetapi tak bisa mengubah hati
manusia. Sebab kalau kau dianugerahi
kesanggupan untuk memberi hidayah, tak akan
ada satu orangpun yang menjadi pengikutku”.
Begitu banyak — mengacu ke Borobudur — fakta
“rupadatu” pada kehidupan manusia yang mata
mereka tak melihatnya. Udara yang ia hirup,
suaranya sendiri, bahkan mata tidak mampu
melihat mata, paling jauh ia melihat
bayangannya di cermin, tapi bukan diri mata itu
sendiri. Jangankan lagi dengan semakin
canggihnya teknologi ultra-modern sekarang:
kita bingung siaran televisi itu berasal dari
“rupadatu”, diantarkan oleh “arupadatu”,
ditangkap dan diekspressikan secara “rupadatu”.
Belum lagi ke kerjaan frekwensi yang lain:
software di komputer, lalulalang Sms, Bbm,
unduh ini unggah itu. Dulu saya menyangka
telegram itu dikirim kertasnya meluncur nyantol
lewat kabel-kabel sepanjang jalan. Se-nyata dan
se-faktual itulah Iblis dalam kehidupan kita,
bahkan di dalam diri kita, bahkan ia mengalir di
dalam darah kita.
Maka sebagaimana formula “casting” Iblis, orasi
tokoh tua kita di atas tepatnya dipahami tidak
dengan logika linier. Ia suatu lipatan, mungkin
dialektika berpikir yang zigzag, mungkin spiral,
mungkin siklikal. Kalimat seniman kita
“Nasionalisme Indonesia harus dihajar habis
sampai tingkat kematian yang memungkinkan ia
lahir kembali” adalah sisipan cita-cita mulia di
tengah deretan pernyataan yang seolah-olah
mendorong kita ke kehancuran.
Muhammad bertanya, “Siapa temanmu?”
Iblis menjawab, “Para pemakan riba”. Sangat
jelas mappingnya di Indonesia.
“Siapa tamumu?”
“Para pencuri”. Sampai-sampai diperlukan KPK,
yang kita doakan segera bubar, yakni sesudah
Kepolisian Kejaksaan Kehakiman bisa dipercaya
untuk menangani perilaku tamu-tamu Iblis.
“Siapa utusanmu?”
“Tukang-tukang sihir”. Sihir pemikiran, cara
berpikir, peta manipulasi wacana berpikir, di
Sekolah, Kampus, semua media wadah
pemikiran.
“Siapa teman tidurmu?”
“Para pemabuk”. Mabuk idolatri, mabuk
tayangan-tayangan, mabuk artis-artisan, Ustadz-
ustadzan, Gus-Gusan, Kiai-Kiaian… yang terbuat
dari plastik… seperti mobil-mobilan untuk kanak-
kanak di pasar Kecamatan.
Iblis juga menyindir kita: “Gosip dan adu-domba
adalah hobiku”.
Ada baiknya kita undang Iblis menjadi
narasumber rembug nasional, dengan syarat:
“Aku mendatangi semua manusia, yang bodoh
maupun pintar, yang durjana atau yang salah,
yang bisa membaca atau buta huruf. Semuanya,
kecuali orang ikhlas”.
Yogya 25 September 2012
Dimuat di Kolom, Majalah Gatra No. 49 XVIII 11
Oktober – 17 Oktober 2012

Kemarahan global dan ngamuk lokal

Kemarahan Global dan Ngamuk
Lokal
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 6 Januari 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Seorang pakar mengemukakan pendapat dan
harapan yang dilandasi oleh budi lembut dan
kemuliaan sosial: “Kenaikan harga BBM jangan
membebani rakyat.” Inilah yang mengasyikkan
di negeri kita. Meskipun dari jaman purba,
sepanjang ilmu dan peradaban dunia hingga
kehidupan akherat kelak 4 x 4 pasti = 16, kita
masih optimistik dan berkata: “Kita berharap 4 x
4 tidak = 16.”
Kalimat berikutnya dari
pakar kita itu adalah,
“karena pada hakekatnya
kenaikan harga BBM akan
diikuti oleh harga barang-
barang yang lain.”
Dua kalimat itu terkait satu
sama lain, bersifat kausalitif, oleh kata ‘karena’
yang menyambungnya. Dua kalimat itu berada
dalam satu frame logika. Sehingga kita sangat
kagum kepada diri kita sendiri yang sanggup
mendamaikan dua fenomena yang dari A sampai
Z haqqul yaqin ‘ainul yaqin benar-benar
bertentangan.
Seandainya tak ada kata ‘karena’ kita mungkin
bersifat ‘berpikir lokal’. Pagi dan di sini berpikir
4 x 4 = 16. Sore nanti di sana kita berpikir: bisa
saja tidak = 16. Kita sangat percaya kepada
keajaiban, doa, tahayul.
Ketika di sekolah kita diberi logika dan
keyakinan bahwa kalau harga minyak naik,
maka rakyat tambah beban kesengsaraannya.
Sesudah tamat universitas kita memahami suatu
kosmos pasca logika bahwa belum tentu
kenaikan harga minyak akan membebani rakyat,
sehingga logis kalau kita berharap demikian.
Kondisi dan tradisi persepsi seperti ini yang
sering memenuhi kepala kita. Indonesia adalah
negeri surrealistik. Kita sangat mendamaikan
dan mempersatukan apa saja. Kebenaran dan
ketidakbenaran bisa berjalan seiring. Yang
berbuat tidak adil bisa mempidatokan keadilan.
Iblis dikerjasamakan dengan malaikat. Orang
punya hutang, karena tak bisa bayar, maka demi
mempertahankan hatinya sendiri ia menuduh
orang yang menghutangi itu yang terhutang.
Orang berbuat baik membantu orang lain, bisa
malah kehilangan uang sekaligus kehilangan
persaudaraan dengan orang yang dibantunya.
Bahkan juga kehilangan kehormatan di wilayah
tertentu karena orang beramal bisa tertuduh
pencuri, sementara pencuri bisa diumumkan
sebagai orang beramal. Dan kita jamin bahwa
kita tetap damai-damai saja dengan itu semua.
Itu adalah kasus keputusasaan.
Penduduk dua desa di Kabupaten Jepara kita
doakan jangan sampai jadi melaksanakan
‘perang suku’ sesudah tiga orang itu terbunuh.
Yang satu desa membela korban, yang lain desa
membela martabat kelompok penduduk desanya.
Kita sudah tiba kepada tingkat keputusasaan dan
kemarahan global yang sangat serius. Namun
kita tidak memiliki efektivitas untuk menyentuh
pihak yang sebenarnya berkewajiban atas
keputusasaan dan kemarahan kita. Energi
kemarahan dua desa itu berasal dari situasi-
situasi global yang tidak adil dan mengepung
mereka. Namun karena mereka tak mampu
berbuat apa-apa atas kekuatan global itu, maka
potensialitas psikologis kemarahannya itu
mengendap, menggumpal di bawah sadar—
kemudian sewaktu-waktu akan muncrat dan
yang ditimpa adalah sedulur-sedulurnya sendiri,
semua orang tertekan dan menderita.
Selama setahun belakangan ini telah kita alami
potensi dan kemarahan global, namun
diekspresikan dalam amukan-amukan lokal.
Tidak hanya kerusuhan di suatu kota, tapi juga
kengawuran-kengawuran dalam pergaulan,
perdagangan serta dalam menjalankan berbagai
tugas hidup lainnya. Kita juga tak bisa jamin
bahwa muncrat-muncratan lokal itu sudah usai.
Salah satu bentuk keputusan itu antara lain
menimpa saya: Tidak diizinkan berbicara di
Pekalongan dan Kudus karena ada asumsi bahwa
saya turut menyulut kerusuhan di tempat itu
beberapa waktu yang lalu.[]
Tulisan diambil dari buku Kyai Kocar Kacir
(Zaituna, Yogyakarta, 1999, hal. 104-106).

Peringatan dan amarah

Peringatan dan Amarah
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 9 Januari 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Guru saya di dunia ini banyak. Tak terbatas.
Bahkan tak terhingga. Jumlahnya bertambah
terus. Soalnya tidak ada “mantan-Guru”. Yang
ada adalah “yang sedang menjadi Guru” dan
“yang akan menjadi Guru”. Tak ada seseorang
atau sesuatu pun yang pernah mengajari saya
lantas tidak lagi menjadi Guru saya.
Tetapi di antara Guru-Guru
itu, yang tergolong
istimewa dan paling rajin
mengajar saya adalah
masyarakat dan atau
ummat. Setiap saat saya
berguru kepada mereka
dengan penuh semangat,
terutama karena mereka
sangat telaten untuk marah kepada saya.
Bukankah murid memang sebaiknya sering-
sering diperingatkan atau dimarahi oleh
Gurunya supaya tidak terlalu mblunat ?
Mungkin bisa saya sebut contoh-contohnya
sedikit, sebab tidak mungkin saya ceritakan
semua. Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi
peringatan keras, dikecam, dikritik, dihardik,
dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalah-pahami,
bahkan seringkali juga difitnah. Tapi karena
saya selalu berusaha menjadi murid yang baik,
semua itu senantiasa saya terima dengan rasa
syukur.
Ketika saya masuk pesantren, saya diperingatkan
supaya jangan masuk pesantren hanya karena
ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita
menamatkan pesantren, masuk ke Universitas Al-
Azhar, lantas berusaha menjadi menantu
seorang Kyai dan membantu pesantren beliau.
Tapi akhirnya saya diusir karena suatu perkara,
sehingga saya pindah sekolah. Tentulah saya
dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi
karena lantas saya coba-coba menjadi penulis
cerita pendek dan puisi. “Kamu mau jadi
penyair? Apa tidak baca surat As-Syu’ara yang
berkisah tentang penyair-penyair pengingkar
Allah?”
Saya lebih dihardik lagi karena dalam proses
kepenyairan itu hidup saya tidak berirama
seperti orang normal. Makan tidur tidak teratur
sampai sekarang. Saya dianggap sinting dan
tidak sinkron dengan peraturan mertua.
Beberapa tahun berikutnya saya dimarahi lagi:
“Kenapa kamu hanya sibuk dengan sastra dan
tidak memperhatikan syiar Agama? Tidak
bisakah kamu mengabdikan sastra kamu kepada
dakwah?”. Tetapi ketika kemudian saya
mengawinkan sastra saya dengan dimensi-
dimensi Islam, saya dimarahi lagi: “Jangan main-
main dengan Islam! Jangan campur adukkan
nilai sakral Agama dengan khayalan-khayalan
sastra!”.
Tema kemarahan itu berkembang lebih lanjut:
“Sastra Islami saja tidak cukup. Kamu harus
memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas.
Kamu tidak bisa membutakan mata terhadap
masalah-masalah penindasan politik,
kemelaratan ummat dan lain sebagainya!”.
Maka sayapun memperluas kegiatan saya.
Terkadang jadi tukang pijat. Jadi semacam bank.
Memandu keperluan tolong menolong antara
satu dengan lain orang. Menjadi tabib darurat.
Bikin semacam LSM. Menemani anak-anak muda
protes. Pokoknya memasuki segala macam
konteks di mana idealisme nilai kemanusiaan
dalam sastra dan idealisme nilai akidah dalam
Islam bisa saya terapkan.
Saya mendapat teguran lagi: “Jangan sok jadi
pahlawan! Semua sudah ada yang ngurus
sendiri-sendiri. Kalau sastrawan ya sastrawan
saja, jangan macam-macam!”.
Ketika saya membisu di sekitar Pemilu, saya
dimarahi: “Golput ya? Itu tidak
bertanggungjawab!”. Dan ketika besoknya saya
tampil membantu salah satu OPP, saya
diperingatkan: “Kamu kehilangan
independensi!”.
Tatkala saya acuh terhadap lahirnya ICMI, saya
dibentak: “Perjuangan itu memerlukan
organisasi! Tidak bisa individual!”. Tatkala saya
didaftar di pengurus pusat ICMI, saya ditatar:
“Itu bukan maqam kamu! Tidak setiap anggota
pasukan berada dalam barisan!”. Dan akhirnya
tatkala karena suatu bentrokan saya
mengundurkan diri dari ICMI, saya
dipersalahkan: “Rupanya kamu memang bukan
anggota pasukan!”.
Ketika saya mengungkapkan pemikiran dalam
bahasa universal, saya diingatkan: “Kenapa
kamu tidak mengacu pada Quran dan Hadits?
Apakah kamu budak ilmuwan barat?”. Dan
sesudah saya mengungkapkan segala tema – dari
sastra, politik, sepakbola, tinju, psikologi, atau
apapun saja – dengan acuan Quran dan Hadits,
saya dikecam habis-habisan: “Kamu ini mufassir
liar! Jangan seenaknya mengait-ngaitkan
masalah dengan Quran dan Hadits! Berbahaya!”.
Ketika saya menulis tentang sesuatu yang makro
dan suprastruktural, saya dijewer: “Kenapa
kamu tidak memperhatikan orang kecil?”. Dan
ketika saya mengusahakan segala sesuatu yang
menyangkut nasib rakyat kecil saya ditabok:
“Islam tidak mengajarkan mbalelo , Islam
menganjurkan silaturrahmi dan musyawarah!”.
Ketika saya tidak memusingkan soal honor, saya
disindir: “Kamu tidak rasional!”. Dan ketika saya
bicara soal honor saya ditonjok: “Kamu
komersial!”.
Ketika saya cuek kepada uang dan nafkah, saya
dilempar: “Kulu wasyrabuu! Makan dan
minumlah”. Ketika saya sesekali berpikir
mencari rejeki, saya ditonyo: “Kamu
menuhankan uang dan harta benda!”.
Ada beribu-ribu lagi. Tapi amarah yang terakhir,
tanggal 25 Juni yang lalu saya sungguh-sungguh
tidak paham: “Sungguh hebat perjuanganmu….
Sampai-sampai Al-Quran pun yang tanpa rupiah
untuk mendapatkannya….kau tak punya!”.
Kapan kapokmu, Nun! Ciker bungker Mbahmu ae
gak tahu kemendel ngomong ngunu!”. *****
(Dokumentasi Progress)

Saya vs anjing

Saya vs Anjing
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 13 Februari 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Pagi kemarin saya bermain bola dengan seekor
anjing besar berwarna hitam putih, di halaman
belakang rumah seorang teman, di pelosok,
sekitar 40 km dari kota Melbourne, Australia.
Hampir tiga jam, melebihi running time
pertandingan Piala Dunia. Satu lawan satu,
berbeda dengan 11 lawan 11. Tentu saja saya
ngosngosan , tetapi gejala flu meler saya menjadi
sembuh – maklumlah dibanding Sydney kemarin,
cuaca dan suhu udara di Melbourne relatif lebih
dingin. Tidak sedingin Canberra – kota yang
berpretasi membuat saya tidak mandi 4 hari –
tetapi Melbourne tidak stabil, sehingga terkadang
lebih menyegat dibanding ibukota Australia.
Bagaimana saya bisa
tersandera di sini,
sendirian di rumah,
bermain sama anjing yang
lincah bukan main –
mengingatkan ketika saya
masih muda bermain bola
dengan tujuan adu gares
atau slongketan kaki.
Pengalaman kesunyian saya kali ini sungguh
berbeda dengan tradisi sunyi hidup saya selama
ini.
Oh, anjing! I love you anjing! Tentu saja saya
bermain bola dengan pakai sepatu di kaki,
berusaha tidak menyentuhkan kulit saya dengan
bola yang digigit dikulum anjing terus menerus.
Saya tidak akan menyebut anjing makhluk yang
rendah. Ia adalah makhluk Tuhan yang sekedar
berbeda dengan saya. Sebagaimana kalau bikin
kopi jangan dicampur dengan garam atau apalagi
sambal. Bukan karena sambal lebih rendah
derajatnya dari kopi, tetapi estetika tidak
menghendaki mereka berdua diaduk jadi satu.
Sayapun tidak menyambal dan nguleg diri saya
dengan air liur anjing. Saya bermain,
bekerjasama, bermesraan dari suatu jarak yang
menjaga kehalalan.
Oh, anjing! Pendawa mengalami ribuan nasib
dengan seratus saudaranya Kurawa: saling
cemburu, mempertarungkan rasa hak milik,
kalah judi, menjadi gelandangan di hutan,
kemudian memasuki sampyuh Bharata Yudha –
perdebatan moral dan kebimbangan teologis
yang panjang, memasuki pemikiran-pemikiran
sangat mendalam terutama dalam dialog Kresna
dan Arjuna. Di puncak riwayatnya, mereka
berlima menang. Tetapi ketika lorolopo menuju
sorga, satu persatu dari lima bersaudara
Pandawa ini tak kuat tak tahan uji. Sampai
akhirnya hanya Puntadewa alias Prabu
Darmakusumah yang menapaki tanah di depan
pintu nirwana. Namun ia yang berdarah putih
ini pun gugur, dan tinggal anjingnya… memasuki
sorga.
Tak berani aku meremehkan anjing. Puncak
keberanianku hanyalah meremehkan diriku
sendiri. Bukankah orang di jalanan yang
menjumpai seekor anjing kehausan dan
memberinya minum – dijauhkan ia dari api
neraka? Bukankah tidak menolong tidak
memberi makan kepada anak anjing yang
kelaparan saja kita diancam dijilat api neraka?
Siapa tahu aku ini anjing. Jadi kalau ada orang
memakiku “Anjing!” aku tidak boleh marah. Atau
mungkin malah berterima kasih karena dengan
disebut anjing sesungguhnya aku dijunjung
kehormatanku – padahal aslinya aku tidak akan
pernah mampu sesetia dan sejujur anjing.
Saya bermain oper-operan bola dengan Penny si
betina yang besar, sambil Wolly yang cowok
menyaksikan di sisi pagar. Tak pernah saya
punya pengalaman apapun dengan anjing. Tak
punya habitat pergaulan dengan anjing. Tapi
Penny sepertinya jatuh cinta kepada saya. Ia
terus menerus mendatangi saya dengan
menyodorkan bola yang ia kulum-kulum dan ia
sodorkan ke tangan saya.
Saya coba berbicara kepadanya dan memintanya
untuk meletakkan bola di depan kaki saya.
Ternyata ia mau. Maka kami bermain-main –
bermesraan sesama makhluk Allah. Aku yang
menendang bola, ia menjadi kiper. Babak
pertama saya kalah, capek duluan dan terduduk
menggeh-menggeh . Ronde berikutnya saya balas
Penny yang ngos-ngosan , bersimpuh sambil
menjulur-julurkan lidahnya.
Jalaludin Rumi memberi makan kepada tiga ekor
anjing yang kelaparan. Orang yang lewat
bertanya kepadanya: “Siapa anjing yang kau beri
makan itu?” Rumi menjawab: “Itu adalah aku….”

Serambi mekah, serambi madinah

Serambi Mekkah, Serambi
Madinah (?)
Oleh AHMAD RIFAI • 16 Juni 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Selain Sarasehan Budaya dan acara puncak
Benawa Sekar, panitia dan perwakilan Jamaah
Maiyah se-Nusantara sempat mendapatkan
bonus acara tambahan berdialog langsung
dengan Cak Nun, yang tadinya sebenarnya tidak
ada dalam daftar rangkaian acara, sebagai
tindak lanjut dari Rembug JM se-Nusantara yang
berlangsung pada malam sebelumnya, di
Menturo, Jombang; yang di antaranya termasuk
untuk mengkonfimasi dan mendapatkan
klarifikasi terkait dengan kondisi terkini yang
berlangsung di negara kita.
Acara yang berlangsung di
aula Kafe Amanah,
Trowulan ini berlangsung
di tengah hujan lokal yang
tiba-tiba turun dengan
sangat lebat, yang insya
Allah menjadi pertanda
baik dari niat yang baik
dan tulus siapa pun yang
mendambakan kondisi negeri kita ke depan akan
menjadi lebih baik dan lebih bermartabat.
Pada intinya ada tiga hal yang disampaikan oleh
Cak Nun dan sepatutnya 3 poin ini menjadi
bahan pemikiran sekaligus PR bersama bangsa
ini, khususnya jamaah Maiyah.
Berikut adalah uraian penulis merujuk pada tiga
ide pokok yang disampaikan Cak Nun dalam
forum dialog itu. Tulisan ini sengaja tidak dalam
format reportase “murni”, agar penulis
mempunyai ruang untuk memberikan uraian
tambahan yang penulis anggap perlu terutama
hal-hal yang jika tidak sempat dijelaskan lebih
lanjut dan sangat bisa jadi hanya akan dipahami
secara parsial kecuali oleh audiens yang paham
konteks dan istilah “teknis”, yang terkait dengan
kondisi riil yang terjadi di negeri ini — selain
agar ada ruang fleksibilitas bagi penulis untuk
menggunakan gaya penulisan. Dan paling tidak,
mudah-mudahan ini adalah salah satu bentuk
pertanggungjawaban bahwa penulis tidak semata
mengutip dan menelan mentah-mentah apa yang
disampaikan Cak Nun dalam forum itu, tapi
karena penulis juga membaca sinyalemen yang
sama yang barangkali tidak sempat diungkapkan
semuanya secara detail karena keterbatasan
ruang dan waktu saat itu. Permohonan maaf,
penulis haturkan pada Ust. Nursamad Kamba,
karena penulis terlambat mengikuti forum dialog
yang sempat dikabarkan batal ini, sehingga tak
sempat menangkap poin-poin pembicaraan di
sesi yang berlangsung sebelumnya.
Muatan Dakwah Era Makkah dan Era
Madinah
Hal pertama yang ditekankan oleh Cak Nun,
adalah mengenai periodeisasi ajaran Islam, di
mana Cak Nun menerangkan bahwa ada dua
periode Islam sesuai dengan misi dan konteks
ruang dan waktu. Periode pertama adalah
periode Islam Makkah yang lebih banyak
menyangkut masalah aqidah, Islam dalam
kaitannya dengan konsep tauhid, atau pendek
kata terkait dengan Islam yang menyangkut
konsep ibadah mahdoh (rukun Islam yang lima
itu). Islam periode berikutnya adalah Islam
periode Madinah yaitu Islam yang aplikatif,
Islam dalam kaitannya dengan ibadah muamalah
seperti bagaimana hidup bermasyarakat yang
sehat, berdagang yang baik, pemerintahan yang
baik, bertani yang baik, dan seterusnya. Dan
konsep ibadah sosial yang akan terus
berkembang wujud dan manifestasinya
meskipun substansinya tetap dalam rangka
mencari ridho Allah; inilah semua implikasi dan
aplikasi dari periode Islam Madinah, yang
notabene lebih bermuatan ibadah-ibadah sosial.
Dan di sini kata kuncinya menurut hemat
penulis, karena terkait dengan interaksi sosial
dan apalagi ajaran moral Islam itu universal,
maka output-nya semestinya mengarah pada
sikap inklusif, toleran, dan bahkan bisa
merangkul semua pihak. Sebab Islam itu
rahmatan lil alamin, bahwa Islam menjadi
rahmat bagi semuanya. Tentu saja, dengan tetap
tanpa mencampuradukkan aqidah yang kita
yakni.
Cak Nun menekankan bahwa sebenarnya sudah
saatnya umat (khususnya Maiyah) berpikir
tentang Islam Madinah. Dengan kata lain, sudah
seharusnya ada kantong-kantong atau bahkan
daerah yang menjadi Serambi Madinah. Sebab di
Indonesia sudah ada Serambi Mekkah, yaitu
Aceh. Dan karena itu tidak pernah berkembang
secara Madiniah atau Madaniah. Untuk itu kita
(Maiyah) harus paham pedomannya apa itu
Makkiyah ? Dan apa itu Madiniyah ? Di mana
batasan dan aplikasi atau penerapannya.
Saat ini jika kita melihat fakta di masyarakat
baik skala lokal, nasional, regional, maupun
global. Umat Islam di Indonesia seakan digiring
untuk me-Makkah-kan diri lagi. Sehingga kita
bertengkar tentang masalah-masalah yang
sebenarnya sudah final, bertengkar masalah
sholat, bertengkar mengenai wudlu, bertengkar
mengenai (ukuran) celana, bertengkar mengenai
peci, tahiyat, jenggot dan sebagainya. Ini semua
urusan Mekkah, yang sebenarnya sudah selesai
dirumuskan sekian abad lalu.
Sistem Ekonomi Riba dalam Kapitalisme
Global
Hal kedua yang ditekankan oleh Cak Nun adalah
bahwa saat ini banyak umat Islam yang tidak
sadar bahwa dirinya sedang ditimpa tipudaya
konspirasi kapitalisme global (internasional),
kita “disuruh“ bertengkar soal-soal Makkiyah,
agar kita lupa dan makin terseret dalam ritme
ekonomi yang didiktekan mereka, sementara
mereka diam-diam saling bekerja sama di pasar
global yang serba kapitalis yang jelas-jelas
mengagungkan riba. Pasar yang mengajak hidup
lebih bermartabat model peradaban Madinahnya
tidak akan dikembangkan karena mereka
terancam kepentingannya.
Idiomnya, bahwa dulu sudah pernah ada pasar
yang melegalkan praktek riba di Madinah. Tapi
Rosulullah tidak mau ikut dalam pasar yang di
dalamnya ada riba (riba di sini tentunya tidak
hanya dalam arti bunga atau rente, tapi juga
proses yang mengandung ekspoitasi, parasitisme,
dan lain-lain) dan karena itu Rosulullah tidak
sejalan. Maka Rosulullah “membuat” pasar
sendiri yang lebih bermartabat. Sedemikian rupa
sehingga pasarnya berkembang. Dalam konteks
pasar yang bermartabat, dipahami bahwa rejeki
itu siklikal, tak linier atau tidak “flat”, tapi
berputar. Bahwa jual-beli itu prinsipnya harus
simbiosis mutualisme (saling berbagi atau
bertukar manfaat), tidak boleh tamak, bebas dari
praktek untuk memonopoli keuntungan, apalagi
menguasai dan mengekspoitasi sesama, dan
karena itu jual beli harus dilaksanakan dalam
suasana saling jujur dan ikhlas. Akhirnya
pedagang di Madinah lebih memilih konsep
pasar non riba yang dikenalkan oleh Muhammad
ini, sampai akhirnya pasar riba yang tadinya
ada bangkrut, dan lapak-lapak di pasar riba
yang milik orang Yahudi dijual kepada orang-
orang Islam, sehingga pasar yang tadinya Yahudi
menjadi bagian dari pasar Islam.
Memandang Indonesia juga bisa dilihat dari
sudut pandang Makkiyah atau cara pandang
Madinah. Dan umat Islam semestinya tidak
terjebak pada tipu daya dalam pasar riba (model
ekonomi internasional yang kapitalistik) yang
selama ini disutradarai oleh orang-orang Yahudi,
baik diperankan oleh korporasi swasta
internasional (multinasional company), maupun
yang disponsori oleh lembaga negara (AS, Eropa,
Israel, termasuk dananya dari negara-negara
Timur Tengah utamannya Saudi Arabia yang
kaya minyak), atau pun yang dikelola oleh
lembaga ekonomi dan keuangan dunia yang
menjadi perpanjangan tangan kepentingan
kapitalis global, seperti WTO, IMF, World Bank,
dan lain-lain.
Kita jangan ikut cara berfikir “mainstream” alias
cara berpikir arus umum atau orang kebanyakan.
Ketika sistemnya berlaku dan model
transaksinya ala Yahudi. Di sini kita harus
berani berpikir berbeda sebab landasan berpikir
tindakan kita berbeda, ideologi kita berbeda,
tujuan kita juga berbeda. Karena itu jangan
masuk sistem yang akidah dan aplikasinya
berbeda.
Kita harus sadar, bahwa bangsa kita terutama
umat Islam sepertinya sedang “disibukkan”
dengan urusan Mekkah (baca: masalah ritual
ibadah yang sebenarnya adalah ruang
penghayatan agama yang sifatnya pribadi antara
seorang hamba dengan Tuhannya), dan
dikondisikan untuk konflik jika berbeda,
sehingga tak sempat lagi memikirkan urusan
Madinah, yang justru menyangkut hajat hidup
umat.
Sistem Ketatanegaraan Kita Yang Rancu
Hal ketiga, yang kembali disinggung Cak Nun
adalah perihal tatakenegaraan kita, yang
sebenarnya juga sudah beberapa kali
disampaikan di berbagai forum dan kesempatan.
Bahwa ada yang perlu diperbaiki dari sistem
politik dan ketatanegaraan yang diadopsi bukan
dari akar budaya bangsa kita selama ini.
Di sini Cak Nun menekankan perlunya kita
belajar pada nenek moyang kita, kita harus
belajar pada Majapahit dan kerajaan-kerajaan
yang pernah ada di nusantara. Di era Majapahit,
jelas dibedakan antara posisi Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan. Hayam Wuruk itu
posisinya Raja atau Kepala Negara. Sementara
posisi Kepala Pemerintahan adalah Patihnya
yaitu Gajah Mada. Segala sesuatu yang berkaitan
dengan “policy” dan pengawasan harusnya di
bawah Kepala Negara. Segala sesuatu yang
terkait masalah eksekusi atau pelaksanaan di
bawah Kepala Pemerintahan. Seorang Patih bisa
melaksanakan eksekusi tapi tidak boleh membuat
“policy”. Seorang Raja boleh membuat “policy”
tetapi tidak boleh melakukan eksekusi. Sistem
yang baik harus ada pemisahan peran dan
fungsi. Seperti halnya antara bendahara dan
kasir, tidak boleh dijadikan satu. Seorang
bendahara tidak boleh memegang uang, dia
hanya membuat kebijakan. Seorang kasir boleh
memegang uang tapi tak boleh membuat
kebijakan. Jika bendahara dan kasir dijadikan
satu, bisa hancur sistem administrasi.
Sistem ketatanegaraan kita yang ada saat ini
tidak jelas, siapa Kepala Negara dan siapa Kepala
Pemerintahan. Dan sebagaimana sering
disinggung di berbagai forum Maiyah yang lain:
KPK, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan
lain-lain itu adalah Lembaga Legara, bukan
Lembaga Pemerintah. Jika Ketua KPK dilantik
oleh Presiden, sementara salah satu tugas KPK
adalah juga mengawasi sepak terjang Presiden
dan Menteri-Menterinya. Ini sudah mengandung
kerancuan. Bagaimana KPK akan berani
memeriksa anak Presiden, jika yang melantik
Ketua KPK adalah Presiden. PR (baca: kelucuan)
ini harus dipikirkan dan diselesaikan.
Kepala Negara itu yang mewakili hak dan
pemilik saham negara, yaitu rakyat, membayar
dirut NKRI atau yang disebut dengan Kepala
Pemerintahan untuk mengurusi rakyat dengan
batasan-batasan yang disepakati. Bahkan
ironinya, Lembaga Tertinggi Negara (MPR) pun
dengan amandemen UUD malah sekarang hanya
dijadikan Lembaga Tinggi Negara.
Penutup
Terakhir, Cak Nun menegaskan bahwa orang-
orang Maiyah mengingat selama ini selalu
terlibat dalam aneka dialektika dalam setiap
forum Maiyah, tentunya sudah mengerti apa
yang mereka bicarakan dan mengerti apa yang
mereka lakukan. Dan ini bekal yang luar biasa
(baca: tabungan masa depan). Pikirannya jernih,
kerjanya jelas, dan tujuan hidupnya jelas. Tetap
istiqomah dan berjiwa besar.
Harapannya, sepulang dari acara Banawa Sekar
membawa pola pikir yang lebih merangkul
semuanya. Mengerti realitas dan substansi dari
fenomena pasar Yahudi (riba), konsep pasar
Islam (yang bermartabat, tidak rakus,
memanusiakan dan tidak menghisap sesamanya),
beda antara konsep Makkah dan konsep
Madinah. Dan konsep hidup Madaniah yang
bermartabat tidak akan dihidupkan di Indonesia.
Sebab jika melihat konteks sampai saat ini para
pemimpin Indonesia adalah orang-orang yang
diharapkan bisa disetubuhi atau dimanfaatkan
oleh kepentingan pasar kapitalisme global yang
mengagungkan riba. Yang bersedia diperkosa,
yang jika disuruh menandatangani menurut.
Yang direstui harus oleh Amerika, Eropa, Israel,
dan yang uangnya dibiayai oleh Saudi. Dan
untuk kepentingan agenda ini rakyat akan
disibukkan oleh konflik-konflik mazhab, konflik-
konflik perbedaan pengahayatan dalam
beragama. Untuk itu orang Maiyah, jangan
sampai terkena oplosan atau ramuan politik
yang bisa bikin tidak sadar diri (mabuk).
Jika kita sistem ekonominya sudah riba, jangan
heran praktek kehidupan politiknya pun
akhirnya tergiring menjadi proses yang penuh
riba. Bagaimana tidak riba jika untuk meraih
kekuasaan pun modalnya pencitraan (baca: jauh
dari prinsip-prinsip kejujuran), bahkan
melakukan “black campaign“ dianggap hal yang
lumrah atau biasa, belum lagi praktek
manipulasi, “money politics“ dan lain-lain.
Praktek-praktek yang jauh dari bermartabat tapi
dianggap biasa.
Jika ekonominya riba, politiknya riba, filologinya
riba, epistomologinya riba. Maka jangan kaget,
jika kata amal yang sesungguhnya merupakan
kata kerja yang mengandung pengertian
dinamis, diterjemahkan menjadi sodaqoh yang
merupakan kata benda yang statis. Sehigga
ketika ada anjuran untuk melakukan amal, yang
dibayangkan umat bukan agar melakukan kerja
sungguh-sungguh, bekerja keras, jujur dan ikhlas,
tetapi asosiasinya merujuk pada kotak amal
(benda). Dari segi bahasa ini sudah masuk
kategori definisi riba. Jika semua sudah riba,
ayat pun akan di-“riba“-kan, maka sebuah bank
dengan sistem riba pun masuk Islam, diberi baju
menjadi riba syariah, sementara substansinya
tetap sistem riba! Padahal jika menyangkut
kebenaran, yang harus dirubah harus sistemnya.
Jika tidak sebenarnya yang terjadi hanyalah
fenomena perluasan sistem pasar riba yang
menipudaya konsumen dalam hal ini terutama
umat Islam.
Melihat fenomena kehidupuan seperti ini, cara
berpikirnya ada dua: Pertama, jangan lantas
menjadi puritan dan cara berpikirnya dengan
tidak mau masuk pasar sama sekali, sebab riba
atau tidak itu tergantung dari niat dan cara kita
dalam berdagang termasuk bertransaksi soal peri
kehidupan yang lain. Jika memang belum
memungkinkan jangan sama sekali tidak ikut
(sebab diperbolehkan masuk jika niatnya
sekedar taktik-strategi), untuk itu masuklah
pasar dengan menerapkan prinsip-prinsip
Maiyah. Persoalannya bukan ada larangan atau
tidak. Tapi kita harus mengerti prinsipnya di
mana riba-nya, agar tak terseret.
Terakhir, ketika semua aspek kehidupan sudah
menjadi riba. Yang disebut Maiyah adalah
detoksifikasi akan praktek-praktek riba itu.
Pengajian Maiyah adalah praktek yang tidak riba
dan mengenalkan nilai-nilai yang tidak riba. Iya
adalah iya, tidak adalah tidak. Oleh sebab itu
orang Maiyah percaya yang benar adalah benar
dan yang batil adalah batil. Dan orang Maiyah
yakin bahwa Allah akan senantiasa melindungi
umat-Nya dan menjamin dengan memberi
kejelasan-kejelasan, termasuk di dalamnya
kejernihan dalam berpikir dan bersikap.

The politics of kissing hands

The Politics of Kissing Hands
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 30 April 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Seorang pembaca harian ini dari Bogor, yang
tulus hatinya dan tegak pikirannya, yang
bersahaja hidupnya maupun sangat serius
hajinya — sejak beberapa bulan yang lalu
menuntut saya agar menuliskan lewat rubrik ini
suatu masalah yang ia sodorkan kepada saya
melalui surat. Masalah yang baginya amat sangat
penting, dan alhamdulillah bagi saya juga amat
sangat penting.
Lebih alhamdulillah lagi
karena Rasulullah
Muhammad saw, juga
sangat concern terhadap
soal ini, terbukti lewat
banyaknya sabda beliau
yang khusus
mempermasalahkannya.
Juga bagi Allah swt sendiri
— sepengetahuan saya — soal ini juga termasuk
tema primer dan prinsipil yang harus diurus
oleh hamba-hambaNya secara murni dan
konsekuen.
Mustahil kalau bagi Allah masalah ini tergolong
sekunder. Hal mengenai siapa yang dihormati
dan siapa yang menghormati, telah ia
informasikan acuan dasar akhlaq atau
moralitasnya. Allah tidak memerintahkan agar
seorang bapak atau ibu merunduk di depan
anak-anaknya, melainkan anak-anak yang
dengan prinsip birrul walidain wajib
menghormati bapak-ibu mereka.
Bukan karena iseng-iseng saja Allah menciptakan
adegan di mana ia memerintahkan para malaikat
agar bersujud kepada Adam. Episode ini tidak
bisa diubah misalnya dengan meletakkan iblis
sebagai aktor yang disembah sementara Adam
mensujudinya. Menurut salah satu logika tafsir,
begitu satu malaikat menolak menyembah
Adam, turun derajat atau kualitas malaikat itu —
dari “cahaya” menjadi “api”. Ilmu bahasa
Alquran kemudian juga berkembang mengacu
pada kasus ini, di mana nur (cahaya) selalu
dipakai untuk menggambarkan kemuliaan di
akhirat, sementara nar (api, neraka) digunakan
sebagai simbul dari kehinaan dan kesengsaraan.
Padahal nur dan nar berasal dari komposisi
huruf dan rumpun kosakata yang sama.
Iblis ogah menyembah Adam karena alasan
feodalisme dan alasan penolakan terhadap
regenerasi. Alasan feodalnya, atau bahasa
simbolisasi Qur’aniyahnya bernama takabur
(gemedhe , sok lebih hebat), karena Iblis merasa
dirinya terbuat dari material atau dzat yang
lebih tinggi, halus, kualitatif, dan lebih mulia
dibanding Adam yang hanya sedikit lebih tinggi
dibanding keramik yang sama-sama terbuat dari
tanah liat. Padahal Allah sudah menetapkan
bahwa Adam itu ahsanu taqwin (sebaik-baik
ciptaan), karena manusia dianugerahi
“cakrawala” (kemungkinan), sementara malaikat
atau iblis hanya memiliki “tembok
statis” (kepastian) untuk baik atau kepastian
untuk buruk. Manusia yang mengolah dirinya
dalam kebenaran akan berkualitas mengungguli
malaikat, sementara manusia yang
memperosokkan diri dalam kesesatan akan
berderajat lebih rendah dibanding iblis dan
setan.
Sedangkan alasan “penolakan terhadap sunnah
regenerasi” — maksudnya adalah ketidaksediaan
iblis untuk menerima kepemimpinan manusia
atas alam semesta. Bagi iblis manusia itu “anak
kemarin sore” kok mau sok memimpin.
Emangnya dia sudah pernah ikut penataran P-4
atau memiliki sertifikat Pekan Kepemimpinan
HMI atau PMII! Kok berani-beraninya menjadi
khalifah! Apakah manusia sudah punya
pengalaman dan jam kerja kepemimpinan,
sehingga berani sombong mencalonkan diri atau
tenang-tenang saja ketika diputuskan oleh Allah
untuk menjadi pemimpin?
Demikianlah, karena hakekat eksistensi manusia
adalah “pengembaraan ke cakrawala
kemungkinan” — maka ia bisa tiba pada ruang,
waktu dan posisi untuk berhak dihormati atau
justru wajib menghormati.
Para nabi, rasul, dan auliya’ sukses
memposisikan diri untuk dihormati oleh para
malaikat, ditemani oleh makhluk-mahkluk
rohaniah itu ke manapun mereka pergi.
Sementara banyak manusia lain, misalnya
Gendheng Pamungkas, sengaja atau tak sengaja
melakukan mengembaraan untuk memposisikan
diri agar justru menghormati iblis. Bahkan kita
semua ini sesungguhnya diam-diam memiliki
dimensi-dimensi nilai empirik yang membuat
kita layak menghormati iblis — berkat suksesnya
rekruitmen dan mobilisasi mereka atas kita-kita
yang hina ini.
Kaum ulama juga terdiri atas manusia-manusia
biasa yang menempuh cakrawala. Mereka bisa
tiba di suatu maqam tinggi, suatu istiqamah,
suatu tempat berdiri nilai — yang membuat
mereka dihormati oleh ummatnya, dihormati
oleh umara, didatangi oleh pejabat gubernur,
menteri, dan presiden. Namun bisa juga kaum
ulama tiba pada suatu derajat yang tidak
mengandung kualitas istiqamah apa-apa, tidak
memiliki cahaya kemuliaan sebagai golongan
yang ‘alim — sehingga justru mereka dalam
tatanan struktural keduniaan justru berderajat
untuk selalu sowan kepada umara.
Lebih mengasyikkan lagi kerena sangat banyak
ulama, keulamaan, dan kelembagaan ulama yang
legitimasinya berasal dari umara. Derajat mereka
sangat rendah, dan tak berkurang
kerendahannya meskipun ditutup-tutupi dengan
seribu retorika dunia modern mengenai
partnership antara ulama-umara atau dengan
dalih-dalih dan alibi-alibi apapun.
Ulama-ulama jenis ini keadaannya sangat
mengenaskan hati. Mereka selalu mengikatkan
tangannya pada borgol kekuasaan.
Membungkukkan punggungnya di hadapan
penguasa dunia, bahkan tidak berkeberatan
sama sekali untuk mencium punggung tangan
sang penguasa. Di zaman terang dahulu kala
terdapat banyak cerita mengenai ‘kesombongan’
ulama yang tak mau dipanggil penguasa, karena
derajat ulama bukanlah ditimbali atau
didhawuhi oleh penguasa, melainkan dihormati
dan dibutuhkan oleh penguasa. Di zaman
bebendhu sekarang ini, banyak ulama bukan
saja akan sangat senang kalau dipanggil
menghadap ke istana penguasa, tapi bahkan
selalu mencari jalan, lobi dan channel
bagaimana bisa menghadap penguasa.
Sowan ulama kepada umara adalah sebuah
mainstream bahasa kolaborasi terhadap
kekuasaan. Sowan adalah pernyataan kesetiaan
politik ulama kepada umara. Ulama yang
membungkuk dan mencium tangan penguasa
adalah simbolisasi dari tidak hidupnya etos
zuhud di kalangan ulama.
Sowan mencerminkan ketergantungan kaum
ulama kepada kekuasaan, keamanan politik
praktis, dan mungkin juga jatah-jatah ekonomi
— meskipun sekedar arisan naik haji atau
dibikinkan satu unit gedung pesantren.
Yang paling salah dari episode-episode sejarah
semacam ini adalah Anda-anda yang pusing
kepala gara-gara tetap saja meyakini bahwa
mereka adalah ulama.
Pernah dimuat di Keranjang Sampah Harian
Umum Republika.

Penumpang dari gang

Penumpang Dari Gang
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 23 November 2012
Dipublikasikan dengan tag Cermin
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Kita para sopir taksi
memiliki perhitungan
tentang wilayah-wilayah
tertentu pada jam-jam
tertentu yang kira-kira
banyak penumpang. Kita
memilih lahan mencari
nafkah berdasarkan
perhitungan peta pasar
penumpang.
Demikianlah akal kita membaca dunia dan
kehidupan.
Tapi pada suatu siang kita lewat di suatu jalan,
pada jam tertentu, menit tertentu dan detik
tertentu — muncullah seseorang dari dalam
sebuah gang, yang langsung melambaikan
tangan memanggil taksi kita.
Bisakah akal kita memperhitungkan atau
memperkirakan adegan itu? Bisakah kita
mengetahui bahwa pada detik itu seseorang akan
nongol dari gang dan memanggil kita? Kalau
tidak, siapakah yang mengatur pertemuan di
sebuah detik itu?
Kalau kita lebih cepat lima detik, maka taksi lain
yang akan dipanggil oleh calon penumpang dari
gang itu.
Apakah kalau kita lewat terlalu cepat maka kita
simpulkan bahwa memang itu bukan rejeki kita,
melainkan rejeki kawan sopir taksi di belakang
kita? Ataukah kita sedang dirancang untuk
mendapatkan rejeki berikutnya yang lebih besar
dari calon penumpang yang lain yang entah di
mana nanti akan mencegat kita?

U19, senja dan fajar

U19, Senja dan Fajar
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 12 Oktober 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Foto:
Adin
Kalau ada di antara Anda yang berusia setua
saya dan punya anak atau cucu umur 18-19
tahun, kalau sempat nanti tolong sempatkan diri
menatap wajahnya.
Sambil mengagumi gagah
tubuhnya, amati ekspressi
airmukanya, menyelamlah
ke dalam kandungan sorot
matanya. Jiwanya sedang
pancaroba: ia masih
membawa kesejatian batin
dari Tuhan penciptanya,
tapi juga sedang mulai
meng-akses dunia orang
dewasa, yang tingkat
komplikasi tata-nilainya
baru sangat sedikit mereka pahami.
Cak Nun bersama coach Indra Syafri
Persentuhan ‘asal usul’ dan ‘sangkan
paran’ (budaya manusia dewasa yang tidak bisa
mereka elakkan untuk secara dinamis
‘menggerus’ jiwa mereka) akan bisa berharmoni,
tapi mungkin juga akan bertubrukan,
bertentangan, dan akan ada yang terbunuh dari
bagian-bagian batin anak cucu kita 19 tahun itu.
Usia mereka adalah era persimpangan,
pertempuran orientasi, komplek nilai-nilai yang
mendera. Kita semua orang-orang tua harus
memberi perhatian khusus kepada kondisi
mereka, dan mengupayakan sekecil mungkin kita
lakukan kesalahan di dalam memperlakukan
mereka pada ranah nilai apapun yang berkaitan
dengan dinamika kejiwaan mereka.
Sholat Magrib berjamaah saat silaturahmi Timnas U19 ke
Rumah Maiyah Rubud EAN
Beberapa puluh di antara anak cucu kita itu,
yang sejumlah 23 pemuda di antara mereka
sedang berada di Myanmar hari-hari ini, yang di
pundak mereka kita letakkan beban yang sangat
berat, harapan, tuntutan, kewajiban, atau
apapun saja namanya yang intinya adalah
‘Indonesia menang’, dikasih jembatan yang
bernama ‘Ayo Indonesia Bisa’.
Tuntutan yang berskala nasional itu bisa jadi
tidak sekedar berkonteks sepakbola, tapi juga
merupakan keluaran dari kompleks kekalahan-
kekalahan nasional di segala bidang: frustrasi
politik, ketidakamanan beragama, kegamangan
demokrasi, disinformasi informasi,
ketidakjelasan bernegara, ketidak-berwajahan
kebudayaan, bahkan juga stress sehari-hari
setiap orang, dari PKL yang lari-lari tergusur
hingga orang parlemen yang sakit hati dan
pemenang yang pelantikannya terulur-ulur.
Ada yang mengatakan, “Sesungguhnya rakyat
Indonesia tidak memperlukan Pemerintah yang
baik. Pemerintah dan Negara ada atau tidak
sebenarnya juga relatif legitimasi kerakyatannya.
Kalau ada Pemerintah korupsi, nggak apa-apa
juga asal jangan terlalu berlebihan. Atau kalau
terpaksanya Pemerintah memang direstui Tuhan
pekerjaannya ngrepotin rakyat dan mentikusi
harta rakyat, mungkin tidak terlalu masalah juga
– asalkan timnas sepakbola kita menang….”
“Timnas menang” itu hari ini bak gunung di
punggung kesebelasan U19 kita, dan untuk anak
cucu kita usia 18-19 tahun gunung itu bisa saja
tak tersangga dengan cukup kuat, meskipun
sudah selalu ada refreshing agar mereka
“bermain tanpa beban saja”. Mereka turun ke
lapangan dicambuki oleh teriakan-teriakan
“Ayo! Indonesia Bisa!” — secara psikologis
kalimat itu lebih logis diucapkan oleh atmosfir
ketidak-bisaan nasional kita di banyak bidang.
Sebagai kakek saya mungkin ikut berteriak “Ayo,
kamu bisa!”, dan teriakan itu landasan faktanya
adalah karena saya sendiri selama ini nggak
bisa-bisa.
Cak Nun, Novia Kolopaking, KiaiKanjeng, Letto dan Timnas
U19
Dalam pertandingan melawan Uzbekistan saya
merasakan sendiri beratnya beban anak cucu 19
tahun itu. Mereka bermain tidak tanpa beban,
melakukan beberapa kesalahan sehingga gol di
gawang mereka. Padahal sebenarnya kelas
mereka sama sekali tidak di bawah Uzbekistan.
Tatkala pulang dari stadion naik bus dan ketika
makan bersama, saya pandangi wajah-wajah
mereka, dan sungguh tidak tega. Saya tidak bisa
tidur, sampai kemudian berbincang dengan
coach Indra Sjafri dan coach lainnya, juga
dengan Pak Djohar Arifin, baru saya ‘hidup’ lagi.
Ternyata saya pun hanya orang-kecil salah satu
penduduk Nusantara yang hati saya hari-hari ini
sangat tergantung kepada acak cucu saya sendiri.
Sedemikian lemahnya saya. Pak Djohar bilang ke
wartawan “Cak Nun ini aktif mengawal
pembinaan U19 di Yogya, beliau orang tuanya
anak-anak kita itu di sana….” — dan ternyata itu
tidak tepat amat. Sebab justru sayalah yang
sangat bergantung kepada kekaguman dan
kebanggaan saya kepada acak cucu 19 tahun itu.
Silaturrahmi Timnas U19 ketika Idul Adha di Kasihan Bantul
Saya tidak mengerti sepakbola, maka saya Tanya
kepada seorang teman dan ia berceramah
bahwa:
“Timnas Indonesia U19 itu pernah jaya di tahun
1961. Saat itu Juara di Asia ketika turnamen
berlangsung di Bangkok. Kondisi saat itu hampir
sama dengan sekarang, konflik di PSSI.
Kemudian U19 pernah lolos ke Piala Asia lagi
tahun 1978. Gagal total, tapi lolos ke piala dunia
karena dinilai pembinaan pemainnya bagus.
Saat itu yang boleh lolos ke Piala Dunia adalah
finalis, jadi 2 tim saja.
Indonesia saat itu hanya sampai semifinal.
Alasan FIFA saat itu hanya karena Indonesia
memiliki sistem pembinaan pemain yang bagus,
juga punya turnamen di kelompok usia yang
lengkap, jadi diloloskan ke Piala Dunia.
Harusnya yang lolos Irak, tapi ada dugaan
konflik di FIFA, maka Indonesia yang lolos.
Tampil di Piala Dunia U20, tapi gagal total juga.
Dibantai Argentina 0-5, dihajar Yugoslavia 0-5
dan dibantai Polandia 0-6. SEA Games 1991
adalah prestasi tertinggi Indonesia, meraih
medali emas.
Setelahnya langganan runner-up , baik di Sea
Games maupun di AFF Cup (keduanya turnamen
ASEAN). Piala AFF U19 2013 yang lalu
sebenarnya juga dipandang sebelah mata.
Masyarakat Indonesia mencapai titik jenuh
karena sepakbola tidak menampilkan prestasi
yang lebih tinggi dari sekedar runner up. Gegap
gempita AFF U19 tidak seperti AFF 2010 yang lalu
(timnas senior).
Sabrang (Noe Letto) pada saat silaturrahmi Timnas U19
ketika Idul Adha di Kasihan Bantul
Begitu tembus semifinal dan final, Masyarakat
baru sadar ada timnas yang baru yang memiliki
masa depan cerah. Evan Dimas Juara, dan
sebulan setelahnya berhasil lolos ke Piala Asia
U19 setelah menyapu bersih 3 pertandingan
kualifikasi Piala Asia di Jakarta melawan Laos,
Philipina dan Korea Selatan.
Akibat jarang berprestasi, maka masyarakat
memukul rata, nggak peduli timnas U19, U23
atau yang senior, pokoknya Indonesia harus
juara. Harapan muncul di Timnas U19 ini.
Makanya untuk Piala Asia ini agak rame
sambutannya. Padahal kalau dibilang level, ini
hanya U19.”
Mendengar ceramah kawan itu saya menemukan
betapa bodoh dan kejamnya saya: diam-diam
menuntut anak-cucu saya sendiri untuk pasti
harus lolos ke Piala Dunia seakan-akan kita
sudah langganan masuk ke putaran Piala Dunia.
Maka, berkat teman itu, ketika seorang
wartawan bertanya, “Apakah U19 ini merupakan
harapan bagi kebangkitan sepakbola Indonesia?”
Saya menjawab, “Sudah bangkit! Anak-anak ini
dengan para pemimpinnya sudah berlaku benar,
baik dan khusyu, tidak hanya sebagai pemain
sepakbola, tapi juga sebagai Manusia-Sepakbola
dengan segala faktor kemanusiaan dan dimensi-
dimensi psikologisnya, tidak hanya menghitung
komposisi kepribadian per-individu, tapi juga
latar belakang budayanya, level sosialnya,
bahkan tradisi spiritualnya. Kita sudah bangkit.
Kita sudah mulai berbuat benar dalam
bersepakbola”.
“Bukankah kebaikan ditentukan oleh
kemenangan?”
“Ya. Saya juga ingin mereka menang dan lolos.
Tapi itu bukan satu-satunya faktor. Sebagaimana
Anda kawin terus istrimu hamil, atau Anda
bertani terus panen: hamil dan panen itu bagian
Tuhan. Bagian kita adalah berjuang menghamili,
berjuang menanam, berjuang menjalankan
budaya dan mental persepakbolaan yang benar.
Andaikan mereka tidak lolos, saya tetap kagum
dan bangga berdasarkan sejarah prestasi mereka
selama ini. Saya tetap cinta mereka.”
SIlaturrahmi Timnas U19 dengan beberapa panti asuhan
yatim piatu di UNY
Tentu saja omongan saya yang kayak gitu tidak
akan keluar di media massa apapun. Dan
memang sebaiknya tidak dimuat, karena saya
bukan pelaku sepakbola, bukan pengurus
sepakbola, dan tidak punya posisi apapun di U19
maupun di persepakbolaan nasional.
Saya sekedar seorang kakek yang memprihatini
masakini Indonesia dan mencintai kebangunan
masa depannya. Ada bagian dari Indonesia yg
sedang melangkah pasti menuju jurang kematian,
ada bagian lain dari Indonesia yg diam-diam
sedang menyusun kelahiran dan bahkan sudah
lahir, sebagaimana U19 dalam persepakbolaan
maupun “19” di bidang pertanian, innovasi
tekonologi, kedewasaan beragama, kematangan
pembelajaran politik dlsb. Saya juga saya temani
hampir tiap hari di berates-ratus wilayah Negeri
ini.
Ada bagian dari Indonesia yang
sedang sedang memasuki senja dan siap
tenggelam dalam di kegelapan malam,
ada yang sedang memancarkan matahari
baru di fajar hari.
Ada bagian dari Indonesia gegap gempita
memuncaki kehancuran, ada bagian lain
dari Indonesia yang tak kentara sedang
menata kebangkitan.
Ada bagian dari Indonesia yang sedang
riuh-rendah menyempurnakan
kepalsuan, ada bagian lain dari Indonesia
yang tersembunyi dari pemberitaan
sedang merintis kesejatian.
Ada bagian dari Indonesia yang habis-
habisan menyebarkan sihir, takhayul dan
halusinasi, ada bagian lain dari Indonesia
yang menaburkan kasunyatan
kebenaran.
Ada bagian dari Indonesia yang mati-
matian menyebarkan kecemasan,
kesedihan dan pertengkaran, ada bagian
lain dari Indonesia yang berkelana
menyemarakkan persaudaraan, kesatuan
dan kegembiraan.
Ada bagian dari Indonesia yang
melemparkan sebagian bangsanya ke
masa silam, ada bagian lain dari
Indonesia yang merintis pembuatan
fondasi dan batubata masa depan.
Di bagian fajar hari itulah saya hadir.
Yangon, 11 Oktober 2014.
Dimuat di http://sport.detik.com/aboutthegame/
read/2014/10/12/103315/2716358/425/u-19-senja-
dan-fajar