Selasa, 14 Juli 2015

Jewish n islam

Jewish is Old Islam and Islam is New Jewish

Oleh PRAYOGI R. SAPUTRA •  28 Juni 2015

Dipublikasikan dengan tag Esai
Share: Facebook Twitter Google+
Foto: Prayogi R. Saputra

Demikianlah salah satu poin akhir yang disampaikan Rav. Menachem Ali, MA. pada Kajian Sejarah Islam bertema “Menelusuri Jejak Agama-agama Ibrahim” yang diselenggarakan Jamaah Maiyah Malang bersama dengan Rumah Inspirasi, Resist dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah. Selain Rav. Menachem Ali, kajian tersebut juga ditemani oleh Pradana Boy ZTF, PhD. dosen jurusan Syariah Universitas Muhammadiyah Malang.
Sebagai filolog, Rav Ali yang mengajar di Fakultas Humaniora UNAIR mengawali paparannya dengan menyandingkan teks Al Quran dengan terjemahan Al Quran yang berbahasa Ibrani. Rav Ali menyampaikan temuan-temuan arkeologi bahwa Ibrahim dan Ismail bukanlah nama dari bahasa Arab, melainkan nama dari Bahasa Akkadia/Aram kuno yang dituturkan di Mesopotamia, tempat tinggal Ibrahim.
Saat itu, bahasa Akkadia menjadi bahasa perdagangan Internasional (lingua franca) yang dibuktikan dengan surat-surat dagang yang ditemukan di Palestina dan Mesir yang berbahasa Akkadia. Bahasa Akkadia menggunakan huruf paku (cuniform). Jadi, Ibrahim bukan penutur bahasa Ibrani, apalagi bahasa Arab. Maka, ketika Ibrahim menyeberang ke Mesir, Ibrahim bisa berbicara dengan Firaun (Raja) Mesir zaman itu dengan bahasa Akkadia. Ibrahim pun dinikahkan dengan Hajar. Hajar bukan budak, sebab salah satu teks kuno yang dikemukakan Rashi — seorang Rabi — menyebut Hajar adalah putri Raja Mesir zaman itu (Hagar bath Par’o hayetah). Dari Hajar inilah kemudian lahir Ismail. Sementara dari Sarah — istri pertama Ibrahim — lahir Ishaq. Ishaq memiliki anak Yaqub yang oleh Allh dipanggil Israel. Anak turun Yaqub inilah yang kelak disebut sebagai Bani Israel.

Menelusuri Jejak Agama-agama Ibrahim

Gen Ismail kelak akan menurunkan Muhammad bin Abdulllah. Sedangkan gen Ishaq kelak menurunkan Musa dan Isa. Musa adalah pembawa risalah Torah (Taurat) yang agamanya disebut Yahudi. Isa membawa risalah Injil yang agamanya disebut Nasrani. Sedangkan Muhammad sebagai Nabi akhir zaman membawa risalah al Quran yang agamanya disebut Islam. Sehingga baik Musa, Isa maupun Muhammad bukan hanya penerus Ibrahim secara teologis, tapi juga secara genetis.

Titik Temu dan Titik Tengkar

Dalam 3 agama yang berinduk pada monotheis Ibrahim tersebut, ditemukan titik temu dan titik tengkar. Apalagi dengan masuknya kepentingan-kepentingan politik serta iklim politik global, maka titik tengkar diperluas dan diperbesar sedemikian rupa. Sedangkan titik temu dikubur dalam-dalam. Seperti dikemukakan oleh Rav. Ali, titik-titik temu itu dalam aplikasi di masyarakat bisa ditemukan dengan mudah. Misalnya di Eropa, jika seorang Yahudi membutuhkan daging halal atau makanan yang halal, maka dia akan  pergi ke toko muslim. Demikian juga sebaliknya. “Dalam al Quran juga disebutkan, sembelihan orang Yahudi juga halal untuk muslim, demikian pula sebaliknya,” begitu Rav. Ali. Bahkan, saat ini di Eropa banyak orang Yahudi yang masuk Islam. Mereka pun menerjemahkan al Quran ke dalam bahasa Ibrani. Contoh Quran dengan terjemah Ibrani ditampilkan oleh Rav. Ali sebagai data primer.
Selain itu, ada lagi ajaran-ajaran Yahudi yang tidak berbeda dengan ajaran Islam, misalnya soal mandi junub. Atau soal larangan minum khamr. Banyak hal dari agama Yahudi yang persis seperti apa yang diajarkan oleh Islam. Meskipun dalam beberapa hal ada titik-titik yang menjadikan orang Yahudi dan Islam bertengkar. Namun, sejatinya orang Yahudi merasa lebih memiliki jarak terhadap orang nasrani dibandingkan dengan Islam. Salah satu indikasinya adalah orang Yahudi menyebut orang Nasrani sebagai penyembah berhala. Bahkan di Hebron, ada satu bangunan yang bangunan itu berfungsi sekaligus sebagai Masjid dan Synagog.
Hal yang perlu diperjelas juga adalah batasan-batasan dan pemilahan yang tegas antara Yahudi sebagai agama, Israel sebagai kaum/bangsa dan Negara Israel sebagai proyek Zionisme. Menurut Rav. Ali, orang-orang Yahudi Ortodoks sangat tidak suka dengan Zionis Israel. Orang Yahudi yang hidup di Negara Israel adalah migran yang memiliki luka di Eropa dan pindah ke Israel. Sedangkan Yahudi yang tidak dari Eropa, mereka justru tidak mendapat tempat di Israel sendiri. “Bagaimana Yahudi Ortodoks akan menyukai Negara Israel jika disana homoseksual legal, khamr legal.” Bukankah itu bertentangan dengan ajaran Yahudi sendiri.

Islam dan Jawa

Dalam isu Islam dan Jawa, Rav. Ali menunjukkan satu buku terjemah Qoeran Djawen Al Juz al-Sadis yang dijawakan oleh Moehammad Amin bin Ngabdoel Moeslim, seorang Guru agama di Sekolah Mambangoel Ngoeloem Surakarta.

Buku tersebut diterbitkan tahun 1933 oleh Bhoekhandel Ab. Siti Sjamsijah Solo. Sebuah penerbitan Muhammadiyah. Terjemah tersebut menggunakan bahasa dengan aksara Carakan, bukan aksara latin. Hal ini menunjukkan bagaimana Muhammadiyah sangat “jawa” sekali dalam dakwah Islam.
Menelusuri Jejak Agama-agama Ibrahim
Rav. Ali juga menunjukkan sebuah buku Sekar Macapat Terjemahanipun Juz Amma: Sekar Sari Kidung Rahayu karya Achmad Djuwahir Anomwidjaja yang diberi kata pengantar oleh KH. AR. Fachruddin. Buku tersebut tergolong baru karena diterbitkan pada tahun 2003 oleh Bentang Budaya dan Masyarakat Poetika Indonesia Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Bahkan menurut Rav. Ali, Muhammadiyah lebih terbuka terhadap Jawa dibanding NU. Sebab, karya-karya yang diproduksi NU umumnya menggunakan huruf pegon meskipun berbahasa Jawa. Sebagai contoh adalah karya KH. Bisri Musthafa Al Ibris li Ma’rifati Tafsir al Quran al Aziz bi al Lughah al Jawiyyah .
Dengan berbagai variasinya, Al Quran telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa bahkan dengan huruf lokal. Kemudian mengapa melantunkan ayat-ayat Al Quran dengan ritme Jawa menjadi perdebatan sengit? Orang menjadi tertutup atau menutup diri sebelum benar-benar memahami apa yang ditolak. “Di Maroko,” kata Rav. Ali, “yang saya pernah tinggal di sana dan di Afrika Utara, membaca al Quran ya dengan langgam lokal. Tidak dengan langgam Arab.”
Satu lagi fakta yang dibuka oleh Rav. Ali. Apakah al Quran kita menggunakan angka Arab dalam penulisan halaman? Ternyata tidak. Angka yang menunjukkan halaman dalam Al Quran adalah angka Hindi. Sementara kita mengenal angka latin yang sejatinya adalah angka Arab. Di Maroko dan Afrika minimal bagian Utara, kata Rav. Ali, halaman-halaman Al Quran ditulis dengan angka Arab atau kita mengenalnya sebagai angka latin.
Ternyata banyak hal yang kita yakini sebagai kebenaran merupakan kepercayaan-kepercayaan yang belum terkonfirmasi secara ilmiah. Dan malangnya, kita meyakininya sebagai satu-satunya kebenaran yang harus dipegang teguh hingga menitikkan darah. Peradaban selalu saling pengaruh mempengaruhi. Tidak ada peradaban yang jatuh dari langit. Kalau ummat Islam menjadi tertutup dan curiga terhadap pihak diluar Islam — apalagi diluar madzhab yang dia peluk — padahal tanpa disadari dia menggunakan produk-produk peradaban diluar Islam sejak lama.

Tetangga

Persaingan Dengan Tetangga

19 Feb 2014 06:20 pm |
Muhammad Ainun Nadjib
 


Aku beli sepeda, tetanggaku beli sepeda lebih bagus. Aku beli motor, tetanggaku beli motor lebih mahal. Aku beli kulkas, tetanggaku beli kulkas lebih besar. Aku beli radio, tetanggaku beli teve. Aku beli mobil rongsokan, tetanggaku beli mobil baru.

Lama-lama aku sadar bahwa aku disaingi. Dia pikir dia bisa lebih hebat dari aku. Pasti dia belum tahu siapa aku, sehingga berani-beraninya menantang kompetisi melawan aku.

Esok paginya aku beli cat hitam banyak-banyak. Semua tembok luar, termasuk pintu dan jendela, aku cat hitam legam.

Tetanggaku tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menyaingiku. Besoknya lagi kujual sepedaku, kugadaikan teveku — tetanggaku semakin kalah bersaing melawanku!

The post Persaingan Dengan Tetanggaappeared first on CakNun.com.

Tradisi ihram

Tradisi “Ihram” Untuk Menggali Hawa Murni

Oleh EMHA AINUN NADJIB •  30 Mei 2015

Dipublikasikan dengan tag Esai, Maiyah ,
Padhangmbulan
Maiyah PadhangmBulan edisi Juni 2015

Share: Facebook Twitter Google+

Pengajian Padhang mBulan sedang berlangsung keempat kalinya malam ini, dan semakin kukuh dan jernih nuansanya bahwa ia tidak memiliki pamrih apapun kecuali penyembahan yang lugu sekumpulan makhluk hidup kepada Penciptanya.

Kalau Tuhan memperkenankan sesuatu atas ketulusan hati orang-orang yang berkumpul ini, bisa saja forum pengajian ini kelak memiliki makna sejarah. Tapi ia bukanlah gerakan kebudayaan, apalagi gerakan politik. Ia mungkin suatu gerak, tapi bukan gerakan — sebab ‘gerakan’ berarti suatu pretensi pengaitan diri dengan perubahan-perubahan dalam sejarah, yang dengan gampang bisa diassosiasikan dengan pola-pola baku sistem sosial yang berlaku.

‘Gerakan’ cenderung identik dengan suatu enerji sejarah yang memerlukan organisasi, ideologi dan target-target.

Bukan.

Pengajian Padhang mBulan hanyalah semangat dan kekhusyukan yang innosen (polos, lugu) dari hati dan akal sejumlah manusia yang berkumpul untuk menyapa Tuhan agar disapa Tuhan.

Ia juga bukan semacam pengajian atau pesantren sebagaimana yang selama ini ada dan dipahami dalam masyarakat kita. Sebab di forum ini tidak ada Kiainya . Fuad Effendy hanya dipanggil Cak Fuad dan Ehma Ainun Nadjib hanya dipanggil Cak Nun.

Hal sepele ini sesungguhnya sangat penting karena dengan panggilan itu tercermin bahwa dalam forum ini
tidak ada hirarki-hirarki sebagaimana yang dikenal dalam tradisi pesantren atau tarikat.

Ini juga bukan perguruan , karena memang tidak ada murid dalam forum ini.

Satu-satunya term, nama, istilah atau kategori yang bisa dipakai untuk mendekati dan memahami forum pengajian barangkali adalah ihram: semua orang disini menanggalkan seluruh pakaaian sosialnya, jabatannya, gelarnya, posisi kulturalnya, gengsi pribadinya, serta seluruh kompleks-kompleks keduniawiannya — untuk bersama-sama mengenakan kain putih untuk bertemu batin dan akal kepada Allah swt .

‘Ihram’ itulah yang barangkali sedang kita tradisikan bersama-sama. ‘Ihram’ untuk menggali hawa murni, melatih telinga kita agar bersama-sama diperkenankan Tuhan sanggup mendengarkan kebenaran, melatih mata kita agar mampu menatap Al-Haq, melatih seluruh jiwa raga kita untuk tidak ditinggalkan oleh Allah swt, yang amat kita cintai dan kita butuhkan.

Catatan:

Tulisan ini merupakan pengantar Maiyah Padhang mBulan edisi keempat yang ditulis oleh Cak Nun, sekitar 21 tahun yang lalu.

Minggu, 12 Juli 2015

Ranjang 65jt

Ranjang 65 Juta Rupiah

Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 12 September 2012

Dipublikasikan dengan tag Cermin
Share: Facebook Twitter Google+

Kita bisa dan boleh membeli ranjang dan kasur tidur
seharga 65 juta rupiah. Tapi kita pilih yang harganya satu juta rupiah saja. Atau yang harganya seratus ribu rupiah saja. Bahkan ada teman kita yang memilih jauh lebih murah dari itu.

Kenapa?
Salah satu jawabannya adalah: karena ia dewasa.

Ranjang 65 juta rupiah itu bisa dipakai untuk menggaji
2000 guru sekolah dasar, atau untuk makan minum sebulan 1000 keluarga rakyat kecil, atau bisa juga dipakai untuk memodali 130 organisasi koperasi wong cilik.