Kamis, 03 November 2011

Shalawat Tarhim - Lantunan Menjelang shubuh


karya Syekh Mahmud al Khusairi


Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk
Yâ imâmal mujâhidîn yâ Rasûlallâh
Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk
Yâ nâshiral hudâ yâ khayra khalqillâh
Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk
Yâ nâshiral haqqi yâ Rasûlallâh
Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk
Yâ Man asrâ bikal muhayminu laylan nilta mâ nilta wal-anâmu niyâmu
Wa taqaddamta lish-shalâti fashallâ kulu man fis-samâi wa antal imâmu
Wa ilal muntahâ rufi’ta karîman
Wa ilal muntahâ rufi’ta karîman wa sai’tan nidâ ‘alaykas salâm
Yâ karîmal akhlâq yâ Rasûlallâh
Shallallâhu ‘alayka wa ‘alâ âlika wa ashhâbika ajma’în

Artinya :

Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu
duhai pemimpin para pejuang, ya Rasulullah
Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu
duhai penuntun petunjuk Ilahi, duhai makhluk yang terbaik
Shalawat dan salam semoga tercurahkan atasmu
Duhai penolong kebenaran, ya Rasulullah
Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu
Wahai Yang Memperjalankanmu di malam hari Dialah Yang Maha Melindungi
Engkau memperoleh apa yang kau peroleh sementara semua manusia tidur
Semua penghuni langit melakukan shalat di belakangmu
dan engkau menjadi imam
Engkau diberangkatkan ke Sitratul Muntaha karena kemulianmu
dan engkau mendengar suara ucapan salam atasmu
Duhai yang paling mulia akhlaknya, ya Rasulullah
Semoga shalawat selalu tercurahkan padamu, pada keluargamu dan sahabatmu.

KH Munawir Abdul Fattah

 Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta




setelah sekian lama terngiang suara dengan sebutan tarhim, yang biasa dikumandangkan 5 menit sebelum sholat subuh, saya baru sadar kalau lantunan syair itu berupa sholawat, yang disyairkan dengan merdunya oleh Syeh Mahmud Al-Husairi, ketua Jum’iyyatul Qurro’ di Mesir yang merupakan ciptaannya sendiri. semakin diresapi, semakin kecil arti diri kita tanpa adanya pertolongan(syafa’at) dari Rosulullah SAW. “,,,Engkau memperoleh apa yang kau peroleh sementara semua manusia tidur,, Semua penghuni langit melakukan shalat di belakangmu dan engkau menjadi imam,,”
begitu merdu, mengundang syahdu untuk meresapi betapa besar ciptaanNya melalui keagungan Nabi Muhammad SAW. seperti penjelasan Cak Nun tentang sholawat tarhim itu sendiri, mengandung makna “,,Diri kita ini kan tidak cukup bisa diandalkan nanti di akhirat.. oleh karena itu Shalawat sama dengan Gondelan klambine Kanjeng Nabi karena beliaulah yang bisa kita andalkan nantinya…”
Sholawat dan salam selalu tercurah untuk Rosulullah. Alhamdulillah, masih diberi nikamat Iman dan sehat untuk selalu bersyukur dan ‘membaca’ apa yang sudah tersirat dan tersurat dalam Sunnahtullah.
berikut syair Sholawat tarhim yang selalu membuat tubuh ini selalu tergetar setiap mendengarnya,,
Ash-shalaatu was-salaamu ‘alaayk
Yaa imaamal mujaahidiin yaa Rasuulallaah
Ash-shalaatu was-salaamu ‘alaayk
Yaa naashiral hudaa yaa khayra khalqillaaah
Ash-shalaatu was-salaamu ‘alaayk
Yaa naashiral haqqi yaa Rasuulallaah
Ash-shalaatu was-salaamu ‘alaayk
Yaa Man asraa bikal muhayminu laylan nilta maa nilta wal-anaamu niyaamu
Wa taqaddamta lish-shalaati fashallaa kulu man fis-samaai wa antal imaamu
Wa ilal muntahaa rufi’ta kariiman
Wa ilal muntahaa rufi’ta kariiman wa sai’tan nidaa ‘alaykas salaam
Yaa kariimal akhlaaq yaa Rasuulallaah
Shallallaahu ‘alayka wa ‘alaa aalika wa ashhaabika ajma’iin
Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu
duhai pemimpin para pejuang, ya Rasulullah
Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu
duhai penuntun petunjuk Ilahi, duhai makhluk yang terbaik
Shalawat dan salam semoga tercurahkan atasmu
Duhai penolong kebenaran, ya Rasulullah
Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu
Wahai Yang Memperjalankanmu di malam hari Dialah Yang Maha Melindungi
Engkau memperoleh apa yang kau peroleh sementara semua manusia tidur
Semua penghuni langit melakukan shalat di belakangmu
dan engkau menjadi imam
Engkau diberangkatkan ke Sitratul Muntaha karena kemulianmu
dan engkau mendengar suara ucapan salam atasmu
Duhai yang paling mulia akhlaknya, ya Rasulullah
Semoga shalawat selalu tercurahkan padamu, pada keluargamu dan sahabatmu.

http://kodokkrawu.wordpress.com/2011/10/02/sholawat-tarhim/

Lir ilir

Bisakah luka yang teramat dalam ini nanti akan sembuh?

Bisakah kekecewaan bahkan keputusasaan yang mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta saudara kita ini pada akhirnya nanti akan kikis?

Adakah kemungkinan kita akan bisa merangkak naik ke bumi dari jurang yang teramat curam dan dalam?

Akankah api akan berkobar-kobar lagi?

Apakah asap akan membumbung lagi dan memenuhi angkasa tanah air?

Akankah kita semua akan bertabrakan lagi satu sama lain?

Jarah menjarah satu sama lain dengan pengorbanan yang tidak akan terkirakan?

Adakah kemungkinan kita tahu apa yang sebenarnya sedang kita jalani?

Bersediakah kita sebenarnya untuk tahu persis apa yang sesungguhnya yang kita cari?

Cakrawala yang manakah yang menjadi tujuan sebenarnya dari langkah-langkah kita?

Pernahkah kita bertanya bagaimana cara melangkah yang benar?

Pernahkah kita mencoba menyesali?

Hal-hal yang barang kali perlu disesali dari perilaku-perilaku kita yang kemarin?

Bisakah kita menumbuhkan kerendah hatian di balik kebanggaan-kebanggaan?

Masih tersediakah ruang di dalam dada kita dan akal kepala kita untuk berkata pada diri kita sendiri bahwa yang bersalah bukan hanya mereka?

Bahwa yang melakukan dosa bukan hanya ia tetapi juga kita.

Masih tersediakah peluang di dalam kerendahan hati kita untuk mencari apapun saja yang kira-kira kita perlukan meskipun barang kali menyakitkan diri kita sendiri?

Mencari hal-hal yang kita benar-benar butuhkan agar supaya sakit (3x) kita ini benar-benar sembuh total.

Sekurang-kurangnya dengan perasaan santai kepada diri sendiri untuk menyadari dengan sportif bahwa yang mesti disembuhkan itu nomer satu bukan yang diluar diri kita tetapi di dalam diri kita.

Yang kita perlu utama lakukan adalah penyembuhan diri, yang kita yakini bahwa harus betul – betul disembuhkan itu justru adalah segala sesuatu yang berlaku dalam hati dan akal fikiran kita..

Demikianlah penggalan kalimat pembuka syair Renungan Lir-ilir oleh Emha Ainun Najib. Syair yang diciptakan oleh kanjeng Sunan kalijaga, tembang lir-ilir, ya salah satu tembang yang populer dikalangan orang Jawa. Seharusnya kita menyadari mengenai tembang tersebut, mengenai makna yang tersirat dalam syair itu.

Saya ingin mengajak engkau semua untuk memasuki dalam dunia ilir-ilir

Lir ilir tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Bocah angon bocah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot-iro
Dodot-iro dodot-iro lumintir bedah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung jembar kalangane
Mumpung padang rembulane
Yo surako
Surak: iyooo!



Cak Nun & Kiai Kanjeng - Renungan Ilir-Ilir (Konsep Kepemimpinan Bangsa Oleh Sunan Ampel)



Lir ilir lir ilir tandure wus sumilir, tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar :

Kanjeng Sunan Ampel seakan-akan baru hari ini bertutur pada kita tentang kita. Tentang segala sesuatu yang kita mengalaminya sendiri namun tak kunjung kita sanggup untuk mengerti. Sejak lima abad yang silam syair itu telah ia lantunkan dan tak ada jaminan kita telah paham. Padahal kata-kata beliau itu mengeja kehidupan kita sendiri alfa, beta, alif, ba', tha' kebingungan sejarah kita dari hari ke hari. Sejarah tentang sebuah negeri yang puncak kerusakannya terletak pada ketidak sanggupan para penghuninya untuk megakui betapa kerusakan itu sudah tidak terperi

Menggeliatlah dari matimu tutur sang sunan, siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun, bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu sungguh negeri ini adalah penggalan sorga. Sorga seakan-akan pernah bocor mencipratkan kekayaan dan keindahannya dan cipratan keindahannya itu bernama Indonesia raya. Kau bisa tanam benih kesejahteraan apa saja diatas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan. Tidak mungkin kau temukan makhluk tuhanmu kelaparan di tengah hijau bumi kepulaan yang bergandeng-gandeng mesra ini. Bahkan bisa engkau selenggarakan dan rayakan pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa dicapai negeri-negri lain yang manapun. Tapi kita memang telah tidak mensyukuri rahmat sepenggal surga ini kita telah memboroskan anugerah tuhan ini melalui cocok tanam ketidak adilan dan panen-panen kerakusan

Cah angon - cah angon penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo mbasoh dodot-iro :

Kanjeng sunan tidak memilih figur misalnya pak jendral, juga bukan intelektual-intelektual, ulama-ulama, sastrawan-sastrawan atau senian-seniman atau apapun tapi cah angon (2x). Beliau juga menuturkan penekno blimbing kuwih, bukan penekno pelem kuwih, bukan penekno sawuh kuwih, juga bukan buah yang lain tetapi blimbing bergigir lima terserah apa tafsirmu mengenai lima yang jelas harus ada yang memanjat pohon yang licin itu lunyu-lunyu penekno agar belimbing bisa kita capai bersama-sama. Dan yang harus memanjat adalah bocah angon anak gembala, tentu saja boleh siapa saja, ia boleh seorang doktor, boleh seorang seniman, boleh seorang kyai, boleh seorang jenderal atau siapapun. Tapi dia harus mempunyai daya angon, daya untuk menggembalakan, kesanggupan untuk ngemong siapa pun, karakter untuk merangkul dan memesrai siapa saja sesama saudara sebangsa. Determinasi yang menciptakan garis resultan kedamaian bersama, pemancar kasih sayang dibutuhkan dan diterima semua warna, semua golongan dan semua kecenderungan. Bocah angon adalah seorang pemimpin nasional bukan tokoh golongan atau pemuka suatu gerombolan. Selicin apapun pohon-pohon tinggi reformasi ini sang bocah angon harus memanjatnya harus dipanjat sampai selamat memperoleh buahnya bukan ditebang, dirobohkan atau diperebutkan dan air sari pati belimbing lima gigir itu diperlukan bangsa ini untuk mencuci pakaian nasionalnya. Pakaian adalah akhlak, pakaian adalah sesuatu yang menjadikan manusia bukan binatang. Kalau engkau tidak percaya berdirilah di depan pasar dan copotlah pakaianmu maka engkau kehilangan segala macam harkatmu sebagai manusia. Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia. Pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral dan sistem nilai. Sistem nilai itulah yang harus kita cuci dengan pedoman lima

Dodoth-iro dodoth-iro kumitir bedah ing pinggir, dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padang rembulane mumpung jembar kalangane yo surako - surak iyooo

Pakaian kebangsaan kita, harga diri nasionalime kita, telah sobek-sobek oleh tradisi penindasan, oleh tradisi kebodohan, oleh tradisi keserakahan yang tidak habis-habis. Dondomono, jlumatono kanggo sebo mengko sore, harus kita jahit kembali, harus kita benahi lagi, harus kita utuhkan kembali agar supaya kita siap untuk menghadap ke masa depan. Memang kita sudah lir-ilir, sudah ngelilir sudah terbangun dari tidur, sudah bangun, sudah bangkit sesudah tidur terlalu nyenyak selama 30 tahun atau bahkan mungkin lebih lama dari itu. Kita memang sudah bangkit beribu-ribu kaum muda berjuta-juta rakyat sudah bangkit keluar rumah dan memenuhi jalanan, membanjiri sejarah dengan semangat menyeruak kemerdekaan yang telalu lama diidamkan. Akan tetapi mungkin karena terlalu lama kita tidak merdeka sekarang kita tidak begitu mengerti bagaimana mengerjakan kemerdekaan sehingga tidak begitu paham beda antara demokasi dan anarki. Terlalu lama kita tidak boleh berfikir lantas sekarang hasil fikiran kita keliru-keliru sehingga tak sanggup membedakan mana asap mana api, mana emas mana loyang mana nasi dan mana tinja. Terlalu lama kita hidup dalam ketidak menentuan nilai lantas menjadi semakin kabur pandangan kita akan nilai-nilai yang berlaku dalam diri kita sendiri sehingga yang kita jadikan pedoman kebenaran hanyalah kemauan kita sendiri, nafsu kita sendiri, kepentingan kita sendiri. Terlalu lama kita hidup dalam kegelapan sehingga kita tidak mengerti melayani cahaya sehingga kita tidak becus mengurusi bagaimana cahaya terang sehingga dalam kegelapan gerhana rembulan yang membikin kita buntu sekarang kita junjung-junjung pengkhianat dan kita buang para pahlawan. Kita bela kelicikan dan kita curigai ketulusan.

Gerhana rembulan hampir total, malam gelap gulita. Matahari berada satu garis dengan bumi dan rembulan. Cahaya matahari yang memancar ke rembulan tidak sampai karena ditutupi oleh bumi sehingga bulan tidak bisa memantulkan cahaya matahari ke permukaan bumi. Matahari adalah lambang Tuhan, cahaya matahari adalah rahmat nilai kepada bumi yang semestinya dipantulkan oleh rembulan. Rembulan adalah para keasih Allah, para nabi, para rasul, para ulama, para cerdik-cendikia, para pujangga dan siapapun saja yang memantulan cahaya matahari atau nilai-nilai Allah untuk mendayagunakannya di bumi. Karena bumi menutupi cahaya matahari maka malam gelap gulita dan di dalam kegelapan segala yang buruk terjadi. Orang tidak bisa menatap wajah orang lainnya secara jelas. Orang menyangka kepala adalah kaki, orang menyangka utara adalah selatan. Orang bertabrakan satu sama lain. Orang tidak sengaja menjegal satu sama lain atau bahkan sengaja saling menjegal satu sama lain. Di dalam kegelapan orang tidak punya pedoman yang jelas untuk melangkah akan kemana melangkah dan bagaimana melangkah.

Ilir-ilir, kita memang sudah ngelilir, sudah bangkit, sudah bangun bahkan kaki kita sudah berlari kesana kemari namun akal fikiran kita belum, hati nurani kita belum, kita masih merupakan anak dari orde-orde yang kita kutuk di mulut namun ajaran-ajarannya kita biarkan hidup di dalam darah dan jiwa kita. Kita mengutuk perampok dengan cara mengincarnya untuk kita rampok balik, kita mencerca maling dengan penuh kedengkian kenapa bukan kita yang maling. Kita mencaci penguasa lalim dengan berusaha untuk menggantikannya. Kita membenci para pembuat dosa besar dengan cara syetan yakni dengan cara melarangnya untuk insyaf dan bertobat. Kita memperjuangkan gerakan anti penggusuran dengan cara meggusur. Kita menolak pemusnahan dengan cara merancang pemusnahan-pemusnahan. Kita menghujat para penindas dengan riang gembira sebagaimana cara iblis yakni kita halangi untuk memperbaiki diri. Siapakah selain iblis, syetan dan dajjal yang menolak khusnul khotimah manusia yang memblokade pintu surga, yang menyorong mereka ke pintu neraka. Sesudah ditindas kita menyiapkan diri untuk menindas. Sesudah diperbudak kita siaga untuk ganti memperbudak. Sesudah diancurkan kita susun barisan untuk menghancurkan.

Yang kita bangkitkan bukan pembaharuan-kebersamaan melainkan asyiknya perpecahan. Yang kita bangun bukan nikmatnya kemesraan tapi menggelegaknya kecurigaan. Yang kita rintis bukan cinta dan ketulusan melainkan parasangka dan fitnah. Yang kita perbaharui bukan penyembuhan luka melainkan rencana-rencana panjang untuk menyelenggarakan perang saudara. Yang kita kembang suburkan adalah kebiasaan untuk memakan bangkai saudara-saudara kita sendiri. Kita tidak memperluas cakrawala dengan menabur cinta melainkan mempersempit dunia kita sendiri dengan lubang-lubang kebencian dan iri hati. Pilihanku dan pilihanmu adalah apakah kita akan menjadi bumi yang akan mempergelap cahaya matahari sehingga bumi kita sendiri tidak akan mendapatkan cahayanya. Atau kita akan berfungsi menjadi rembulan, kita sorong diri kita bergeser ke alam yang lebih tepat agar kita bisa apatkan sinar matahari dan kita pantulkan nilai-nilai Tuhan itukembali ke bumi.

Satu tembang tidak selesai ditafsirkan dengan 1000 jilid buku. Satu lantunan syair tidak selesai ditafsirkan dengan 1000 bulan dan seribu orang melakukannya. Aku ingin mengajakmu untuk berkeliling utuk memandang warna-warni yang bermacam-macam dengan membiarkan mereka dengan warnanya masing-masing. Agar kita mengerti dengan hati dan ketulusan kita, apa muatan kalbu mereka mengenai lir-ilir, mengenai ijo royo-royo, mengenai tementen anyar, mengenai bocah angon dan belimbing, mengenai mbasuh dodotiro dan mengenai gumitir bedah ing pinggir.

Yang akan kita bicarakan tentu saja kapan saja bersama-sama.tapi aku ingin mengajakmu untuk mendengarkan siapa saja diantara sauara-saudara kita tanpa perlu kita larang-larang untuk menjadi ini-untuk menjadi itu. Asalkan kita bersepakat bahwa bersama-sama mereka semua kita akan menyumbangkan yang terbaik untuk semuanya bukan hanya bagi ini-bagi itu bukan hanya bagi yang disini atau yang disana..

http://blog.krakenstein.net/buzz/119-menyorong-rembulan-dan-matahari-berkabut-emha-ainun-najib.html

Samudra

“Apa gunanya ilmu kalau tidak memperluas jiwa seseorang sehingga ia berlaku seperti samudera yang menampung sampah-sampah. Apa gunanya kepandaian kalau tidak memperbesar kepribadian seseorang sehingga ia makin sanggup memahami orang lain?

Emha Ainun Nadjib

Menangis


   Emha Ainun Nadjib (1987)


   Sehabis   sesiangan   bekerja   di    sawah-sawah  serta  disegala  macam
   yang   diperlukan   oleh  desa  rintisan   yang  mereka  dirikan jauh  di
   pedalaman,    Abah   Latif   mengajak    para   santri   untuk   sesering
   mungkin  bersholat  malam.

   Senantiasa    lama    waktu   yang   diperlukan,   karena   setiap   kali
   memasuki   kalimat   "   iyyaka    na'budu "  Abah Latif  biasanya lantas
   terhenti      ucapannya,      menangis     tersedu-sedu      bagai     tak
   berpenghabisan.

   Sesudah   melalui  perjuangan   batin yang   amat  berat untuk  melampaui
   kata   itu,   Abah   Latif   akan   berlama-lama   lagi   macet  lidahnya
   mengucapkan  "  wa  iyyaka  nasta''in" .

   Banyak   di   antara   jamaah  yang   turut  menangis,  bahkan  terkadang
   ada  satu  dua  yang  lantas  ambruk  ke lantai   atau  meraung-raung.

   "Hidup   manusia   harus   berpijak,    sebagaimana  setiap  pohon  harus
   berakar,"   berkata  Abah Latif  seusai  wirid   bersama,  "  Mengucapkan
   kata-kata    itu    dalam    Al-fatihah   pun   harus   ada   akar   d  an
   pijakannya   yang  nyata  dalam   kehidupan.    'Harus'   di  situ  titik
   beratnya    bukan   sebagai   aturan,    melainkan   memang   demikianlah
   hakikat   alam,   di   mana   manusia    tak   bisa  berada  dan  berlaku
   selain  di  dalam hakikat  itu."

   "Astaghfirulloh,   astaghfirulloh..,"  gemeremang mulut  para  santri.

   "  Jadi,  anak-anakku,"  beliau  melanjutkan,   "  apa  akar  dan pijakan
   kita  dalam  mengucapkan  kepada  Alloh    ..iyyaka  na'budu?"

   "Bukankah tak  ada  salahnya  mengucapkan  sesuatu   yang  toh  baik  dan
   merupakan   bimbingan  Alloh   itu    sendiri,  Abah?"  bertanya  seorang
   santri.

   "Kita    tidak   boleh   mengucapkan   kata,  Nak,   kita   hanya   boleh
   mengucapkan kehidupan."

   "Belum  jelas  benar  bagiku,  Abah?"

   "   Kita   dilarang  mengucapkan kekosongan,   kita  hanya  diperkenankan
   mengucapkan  kenyataan."

   "Astaghfirulloh,   astaghfirulloh..,"  geremang mulut  para  santri.

   Dan   Abah   Latif   meneruskan,    "   Sekarang ini  kita  mungkin sudah
   pantas   mengucapkan     iyyaka   na'budu.KepadaMu  aku  menyembah.Tetapi
   kaum   Muslimin   masih belum  memiliki  suatu   kondisi  keumatan  untuk
   layak  berkata  kepadaMu  kami  menyembah,   na'budu."

   "Al-Fatihah   haruslah   mencerminkan  proses    dan  tahapan  pencapaian
   sejarah  kita   sebagai   diri   pribadi    serta  kita  sebagai  ummatan
   wahidah.Ketika   sampai  di kalimat  na'budu,   tingkat  yang harus  kita
   telah   capai   lebih   dari  abdullah, yakni khalifatulloh.Suatu  maqom
   yang   dipersyarati   oleh   kebersamaan   kamu  muslim  dalam  menyembah
   Alloh   di  mana   penyembahan   itu    diterjemahkan   ke  dalam  setiap
   bidang  kehidupan.Mengucapkan   iyyaka   na'budu   dalam  sholat mustilah
   memiliki  akar  dan pijakan  di  mana  kita kaum   muslim  telah  membawa
   urusan  rumah  tangga,  urusan perniagaan,  urusan   sosial  dan  politik
   serta  segala  urusan  lain  untuk  menyembah   hanya  kepada  Alloh.Maka
   anak-anakku,  betapa  mungkin dalam  keadaan kita  dewasa ini lidah kita
   tidak   kelu   dan  airmata   tak   bercucuran  tatkala  harus mengucapan
   kata-kata itu?"

   "Astaghfirulloh,   astaghfirulloh..,"  gemeremang   para  santri.

   "Al-fatihah    hanya  pantas   diucapkan   apabila  kita   telah   saling
   menjadi   khalifatulloh   di dalam  berbagai   hubungan  kehidupan.Tangis
   kita  akan   sungguh-sungguh   tak   tak    berpenghabisan  karena dengan
   mengucapkan  wa   iyyaka  nasta'in, kita  telah   secara  terang-terangan
   menipu   Tuhan.Kita   berbohong  kepada-Nya   berpuluh-puluh  kali  dalam
   sehari.Kita  nyatakan  bahwa   kita  meminta   pertolongan  hanya  kepada
   Alloh,   padahal    dalam    sangat    banyak  hal  kita   lebih   banyak
   bergantung   kepada  kekuatan,  kekuasaan   dan   mekanisme   yang   pada
   hakikatnya melawan Alloh."

   Astaghfirulloh,   astaghfirulloh..,"  geremang mulut   para  santri.

   "Anak-anakku,  pergilah   masuk  ke dalam   dirimu  sendiri,  telusurilah
   perbuatan-perbuatanmu   sendiri,   masuklah ke   urusan-urusan manusia di
   sekitarmu,     pergilah     ke      pasar,     ke     kantor-kantor,    ke
   panggung-panggung  dunia   yang   luas:    tekunilah,   temukanlah  salah
   benarnya  ucapan-ucapanku  kepadamu.Kemudian  peliharalah   kepekaan  dan
   kesanggupan    untuk    tetap     bisa   menangis.Karena   alhamdulillah,
   seandainya    sampai   akhir  hidup    kita  hanya  diperkenankan   untuk
   menangis   karena   keadaan-keadaan  itu  :   airmata  saja  pun  sanggup
   mengantarkan  kita  kepada-Nya."

   ----------------------------------------------------

   Dari  :
   Seribu  Masjid  Satu Jumlahnya
   Tahajjud  cinta  seorang  hamba
   Penerbit  Mizan  19995

http://soni69.tripod.com/Islam/emha_menangis.htm

SAYA ANTI DEMOKRASI

Emha Ainun Nadjib: SAYA ANTI DEMOKRASI

Emha yang kerap menobok-obok silam ini menelurkan pernyataan kontroversial, buku baru yang ia terbitkan berjudul "Iblis Nusantara Dajjal Dunia". Berikut sekilas apa yang ia tuangkan dalam bukunya yang cukup menarik untuk disimak, yaitu "Anti Demokrasi"
ia menandaskan, Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas. Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam - harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya.
Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikatlah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam.
"Agama" yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.
Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.
Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.
Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur'an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.
Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi. Seorang teman menyapa: "Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali bikin yang etnis 'gitu..."
Lho kok Arab bukan etnis?
Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam. Sama-sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam-menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap.
Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah "Yarim Wadi-sakib...", itu universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.
Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam. Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.
"Al-Islamu mahjubun bil-muslimin". Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri.
Endapan-endapan dalam kalbu kollektif ummat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor - maka akan meledak. Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera mervisi metoda dan strategi penanganan antar ummat beragama. Kita perlu menyelenggarakan 'sidang pleno' yang transparan, berhati jernih dan berfikiran adil. Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.

Muslimdaily.com/ http://www.goodreads.com/book/show/1380373.Iblis_Nusantara_Dajjal_Dunia

http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/02/18/13394/emha-ainun-nadjib-saya-anti-demokrasi/

EMHA AINUN NADJIB, PENGELANA DARI MENTURO

Ia adalah sosok multikreatif. Kreativitasnya telah mengantarkan langkah kakinya ke berbagai dimensi kehidupan: santri, gelandangan, dan seniman sastra.

Tanggal 17 malam, di Dusun Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Halaman pesantren yatim piatu itu sudah nyaris penuh oleh jemaah. Nuansa putih mewarnai ribuan orang yang duduk di atas puluhan tikar yang terhampar, sampai ke luar kompleks Pesantren Zaituna. Pukul sembilan tepat, acara pun dibuka dengan pembacaan surah Al-Fatihah oleh seorang pria gagah yang juga mengenakan baju dan kopiah putih.
Acara demi acara pun kemudian mengalir dengan lancar. Selawat pembuka, yang diambil dari beberapa syair Maulid Simthud Durar, mengawali prosesi spiritual malam itu. Lantunan syair selawat itu semakin indah saat diiringi irama rancak yang berasal dari perpaduan berbagai alat musik modern dan tradisional. Jemaah, yang sebagian besar pemuda dan mahasiswa, pun segera larut dalam kesyahduan.
Usai beberapa lagu pembuka, acara yang dinantikan jemaah pun tiba. Sang pemimpin kelompok musik asal Jawa Timur kembali tampil, meraih mikrofon dan menyapa hadirin. Dengan lugas ia lalu menyampaikan sebuah prolog diskusi yang cukup panjang. Dengan gaya bicaranya yang agak “nakal” dan penuh sentilan, tokoh yang belakangan tubuhnya “membesar” ini menyoroti berbagai permasalahan kemasyarakatan.
Forum malam itu semakin semarak setelah sang narasumber membuka kesempatan dialog. Bergantian, beberapa orang yang hadir menyampaikan unek-uneknya. Terkadang hadirin ger-geran ketika audiens berbicara dengan gaya yang lugu. Maklum, jemaah yang hadir di pengajian rutin bulanan itu memang berasal dari berbagai golongan dan strata sosial.
Sang narasumber, tokoh sentral kita kali ini, adalah sosok yang dikenal multikreatif. Ia melintasi berbagai dimensi kreativitas, diawalinya sejak usia muda, yang membuatnya bisa masuk ke hampir semua golongan. Dialah Muhammad Ainun Najib, yang lebih dikenal dengan Emha Ainun Najib atau Cak Nun.
Berbagai predikat, seperti budayawan, kolumnis, seniman, bahkan kiai, kini kerap dinisbatkan kepada pria yang mengaku mengawali segalanya dengan keterbatasan-keterbatasan yang melingkarinya. Sebuah proses panjang yang, menurutnya, berliku.
Dikenal memiliki stamina ketekunan dan keuletan yang menggebu-gebu dalam mengatur energi kebaikan, suami Novia Kolopaking ini mampu tetap eksis dalam berbagai geliat kehidupan. Ia bahkan mampu mewarnainya secara langsung dengan arif.
Santri Gelandangan
Lahir pada 27 Mei 1953 di Menturo, Jombang, Jawa Timur, Emha adalah anak keempat dari lima belas bersaudara. Ayahnya, Muhammad Abdul Lathif, seorang petani dan kiai surau, sering menjadi muara keluh kesah masyarakat di sekitarnya. Begitu pula dengan ibunya, Chalimah.
Emha menjalani hampir seluruh episode awal kehidupannya di dusun kecilnya, Menturo. Ia bersyukur menjadi anak desa, yang memberinya pengalaman dan pelajaran tentang kesederhanaan, kewajaran, dan kearifan hidup.
“Saya banyak belajar dari orang desa yang berhati petani. Mereka makan dari hasil yang ditanam. Semuanya berdasarkan kewajaran, kerja sebagai orientasi hidup, tak pernah mempunyai keinginan menguasai atau mengeksploitasi alam dan sesama manusia. Mereka tabah meskipun ditindih penderitaan,” kata Cak Nun.
Setamat SD, Emha melanjutkan ke Pondok Pesantren Gontor. Namun, di pesantren yang diasuh oleh K.H. Imam Zarkasyi itu ia hanya bertahan selama dua setengah tahun. Emha, yang sejak kecil dikenal kritis, melancarkan aksi protes terhadap ketidakadilan petugas keamanan pondok, sehingga “diusir” dari Pondok Pesantren Gontor.
Pengalaman dua setengah tahun di Gontor, tampaknya begitu berkesan bagi Emha, yang memang dibesarkan dengan kultur santri. Sekelumit pengalaman itu pula yang kelak kerap mewarnai berbagai karyanya yang sarat kritik sosial, lugas tapi sufistis.
Keluar dari Gontor, Emha lantas hijrah ke Yogyakarta, kota yang membuka peluang bagi pengembangan kreativitasnya. Usai menamatkan pendidikan menengah di SMA Muhammadiyah I pada 1969, ia juga sempat masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Namun setelah kuliah empat bulan, pada hari kedua ujian semester I, ia keluar.
Gejolak jiwa seniman Emha, membawa langkah kakinya ke “Universitas” Malioboro. Sepanjang kurun 1970-1975, ia menggelandang hidup di komunitas Maliboro. Ia bergabung dengan kelompok penulis muda Persada Studi Klub, yang kala itu diasuh oleh “mahaguru” Umbu Landu Paranggi. Saat itulah pengembaraan sosial, intelektual, kultural, maupun spiritual Cak Nun memasuki babak baru, berkarya.
Nama Emha mulai dikenal orang, saat tulisan-tulisannya yang berupa esai, puisi, dan cerpen, bertebaran di berbagai media massa. Waktu yang hampir bersamaan ketika ia mulai rajin mementaskan pembacaan-pembacaan puisinya bersama Teater Dinasti pada tahun 1980-an.
Selepas bergulat panjang di “Universitas” Malioboro, dekade ’80-an, sering dianggap sebagai periode produktif Cak Nun. Dalam rentang waktu tersebut, ia melahirkan beberapa antologi puisi, di antaranya Sajak-sajak Sepanjang Jalan (1977), Cahaya Maha Cahaya (1988), Syair Lautan Jilbab (1989), dan Suluk Pesisiran (1990).
Kini, setelah 30 tahun berkarya, Emha Ainun Nadjib telah mela¬hirkan lebih kurang 25 antologi puisi yang berisi sekitar 800 judul puisi. Ciri khas puisi karyanya adalah kandungan protes sosial, sosio-religius, dan mistik Islam. Di luar puisi, Cak Nun, bersama Halim H.D., “pengasuh” jaringan kesenian Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa repertoar serta pementasan drama.
Di antara karya fenomenalnya adalah drama kolosal Santri-santri Khidhir, yang dipentaskannya bersama Teater Salahudin di lapangan Gontor, dengan seluruh santri menjadi pemain, dan Lautan Jilbab, yang dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya, dan Makassar, tahun 1990.
Rumah Hantu
Hal unik lain dari tokoh satu ini adalah kenekatannya yang sering overdosis. Setelah sebelumnya pernah menggelandang di sepanjang emperan toko Malioboro, Yogyakarta, Cak Nun juga pernah menjadi gelandangan di Amsterdam, Belanda. Ketika itu, usai mengikuti salah satu event kepenyairan ia kehabisan bekal. Bahkan untuk membeli tiket pesawat pulang pun Cak Nun tidak mampu.
Beruntung, jiwanya adalah petualang. Ketidakberdayaan ini dimanfaatkannya untuk menimba pengalaman hidup. Bersama temannya, seorang penyair asal Amerika Serikat yang menjadi imigran gelap di Belanda, selama dua bulan Cak Nun, yang tak memegang uang sepeser pun, menempati satu petak flat yang tak berpenghuni.
Di Negeri Kincir Angin itu ada kebiasaan, jika ada sebuah rumah yang ditelantarkan atau ruang kosong yang tak ditempati lebih dari dua bulan, setiap orang berhak menempatinya. “Tapi jangan dianggap itu rejeki nomplok dulu,” kelakarnya. “Tinggal di rumah tanpa pemanas saat musim salju sama saja dengan kos di dalam kulkas.”
Beruntung tubuhnya telah terbiasa dengan kemelaratan. Meski melawan suhu di bawah nol derajat, Cak Nun tak pernah merasakan sakit. “Untuk mengisi kamar itu, kami menunggu setiap Senin malam orang-orang Belanda buang barang. Kasur, selimut, mesin ketik, teve hitam putih, kompor fungsi separo, meja, kursi, dan sebagainya kami angkut dari tempat pembuangan,” katanya lagi.
Untuk makan, keduanya mengais sisa-sisa restoran dan rumah tangga kaya yang membuang makanan agak kadaluwarsa.
“Rupanya, makin miskin dan menderita, perut kita makin tahan racun,” ujarnya terkekeh.
Di tempat itulah Cak Nun mengenal dan berinteraksi dengan para pengungsi, yang kebanyakan adalah pelarian politik dari berbagai negara Afrika.
“Tiap hari kami bercengekrama sambil mencari secuil roti di sekitar Centraal Station Amsterdam.”
Dari para “panduduk haram” ini pula ia mengaku mengetahui cara membongkar kotak telepon agar ratusan koinnya ambrol keluar. Atau teknik benang koin yang digunakan untuk untuk menipu telepon umum, sehingga satu koin bisa dipakai berulang kali, bahkan bisa dipakai menelepon ke luar negeri.
Belakangan, ketika punya sedikit uang, ia menyewa kamar yang tarifnya murah, karena dipercayai penduduk sekitar ada hantunya. Di Denhaag, pertengahan 1980-an, misalnya, Cak Nun pernah menyewa kamar yang konon juga ada setannya. Tarif sewanya kurang dari separuh harga normal, karena pernah ada penghuni kamar itu yang gantung diri. Setiap penghuni berikutnya selalu merasa terganggu.
“Saya ikhlas menyediakan diri diganggu dan berjanji tidak akan mengikutinya gantung diri, he he,” candanya.
Sepulang dari luar negeri, Cak Nun makin produktif berkarya dan bahkan mulai merambah ke dunia musik. Ia melahirkan genre baru, musikalisasi puisi. Meski demikian, dalam berbagai kesempatan ia menolak disebut artis musik atau “penyanyi”.
Bersama Kyai Kanjeng, grup musik yang didirikannya, ia menelurkan album kaset bertajuk Kado Muhammad (1996), Wirid Padhang Mbulan (1997), Menyorong Rembulan (1999), Jaman Wis Akhir (1999), Perahu Nuh (1999), Kepada-Mu Kekasih-Ku (2000), Kenduri Cinta dan Maiyah Tanah Air (2002), dan Ummi Khultsum (2005).
Penulis Muda
Emha sebenarnya lahir bukan dari kultur “penyanyi”, ia lebih tepat sebagai pemikir dan penulis serba bisa. Sejak muda ia gandrung menulis puisi, cerpen, naskah drama, makalah, dan esei (kolom). Tahun 1977-1978, tulisan-tulisannya sudah sering dimuat di harian Kompas. Juga di rubrik kolom di majalah Tempo pada tahun 1981. Bisa dibilang, waktu itu ia termasuk salah satu penulis termuda yang mampu menembus ketatnya seleksi dua media terbesar di tanah air tersebut.
Di antara sekian banyak tulisannya, jenis esei merupakan salah satu yang menonjol dan banyak dibukukan. Hingga tahun ini, tulisan-tulisannya yang terserak di berbagai media itu telah dikumpulkan menjadi lebih dari 30 buku.
Tulisan Cak Nun yang ekspresif memang mempunyai kekuatan untuk disukai. Ada banyak cara yang digunakan buat mengekspresikan “dirinya” ke dalam jagat kata, yang membuat pembacanya kerap ikut terbawa mangkel, geli, tertawa, berduka, marah, atau terbakar.
Dalam hal ini Emha pernah berpendapat, jika seseorang ingin menghadirkan suatu karya, ia harus meyakin¬kan diri bahwa salah satu penikmatnya adalah dirinya sendiri. Dan jadilah orang banyak. Artinya, pada saat yang bersamaan, agar karya bisa dinikmati oleh orang banyak, ia juga harus rela untuk menjadi siapa saja.
Tentu saja ilustrasi tersebut tidak mengatakan bahwa Emha cukup sukses mengatasi persoalan tersebut. Tetapi paling tidak untuk perspektif linguistis, karyanya memang memiliki “kelebihan” tertentu; dengan bahasanya yang padat, lugas, rileks, nakal, imajinatif, dan cerdas.
Pada kurun waktu selepas Orde Baru jatuh, produktivitas Emha tampak mulai menurun. Keadaan itu berlangsung sekitar tiga tahun. Hal ini tentu saja menggelisahkan teman-temannya, jangan-jangan Emha akan mengalami masa aus.
Seperti mesin, secanggih apa pun, lambat laun ia akan men¬ghadapi suatu masa yang tak bisa dipakai lagi. Dengan tersenyum Emha mengatakan, “Manusia kan sama sekali bukan mesin.”
Kegelisahan atau mungkin juga asumsi di atas sering tidak sesuai kenyataan. Bukankah, dalam dunia pemikiran, makin matang usia, makin kreatif dan produktif pula seseorang?
Ia merasa, apa yang selama ini dapat dilakukannya tidak lepas dari kealamiahan yang Allah anugerahkan. Otak, yang dibantu akalnya, secara alamiah mengolah gagasan yang muncul dengan sendirinya, yang kemudian menghasilkan sebuah karya.
Keliling Dunia
Saat ini Emha lebih banyak menekuni aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Mbulan di sejumlah kota. Hingga rata-rata 10-15 kali pertemuan digelarnya setiap bulan bersama musik Kyai Kanjeng. Sampai sekarang, Kyai Kanjeng telah menggelar pentas di lebih dari 8.500-an kota kecamatan se-Indonesia.
Sekali waktu, Kyai Kanjeng juga mengelana ke berbagai kota di luar negeri. Seperti, beberapa waktu lalu, Kyai Kanjeng mengadakan pentas muhibah ke Mesir, Hong Kong, Malaysia, Eropa dan Italia. Acara pentas tersebut, yang umumnya diselenggarakan di lapangan terbuka, diikuti berbagai golongan, aliran, dan agama. Ia dan kelompoknya menawarkan kegembiraan menikmati kebersamaan seraya menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Kyai Kanjeng juga merupakan satu-satunya grup musik muslim yang mengiringi prosesi pemakaman Paus Johannes Paulus II dengan iringin musik dan puisi-puisi khusus untuk suasana duka itu. Bahkan Comune di Roma, semacam wali kota, mengizinkan pentas Kyai Kanjeng di Teatro Dalmazia pada 5 April 2005 malam, yang membawakan lagu-lagu spiritual. Ini menunjukkan betapa Kyai Kanjeng diterima oleh semua kelompok dan kalangan masyarakat di mana pun.
Adapun jemaahnya di berbagai wilayah Nusantara yang rutin dikunjungi Kyai Kanjeng, antara lain, jemaah “Padang Bulan” tiap pertengahan bulan (15 malam 16, bulan Jawa) di Menturo, Jombang, Jawa Timur; jemaah “Mocopat Syafaat” tiap tanggal 17 malam di Ponpes Az-Zaituna, Tamantirto, Kasihan Bantul, Yogyakarta; jemaah Maiyah, tiap akhir pekan, sistem giliran (infak) di seluruh pelosok Yogyakarta; jemaah “Gambang Syafaat” di Semarang; “Pengajian Izroil” di Wonosobo, Jawa Tengah; “Papparandang Ate” di Sulawesi Selatan; “Haflah Shalawat” di Surabaya; “Tombo Ati” di Malang, Jawa Timur; jemaah “Kenduri Cinta”, tiap Jumat malam, minggu kedua, di halaman Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, atau plaza Universitas Paramadina di Pancoran, Jakarta Selatan, tiap Sabtu malam, minggu kedua. Perubahan jadwal biasanya diinformasikan melalui milis kenduricinta atau website resminya, www.padhangmbulan.com

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Majalah alKisah Nomor 25/III/2005, lalu di http://sastra-indonesia.com, 22 Oktober 2010.

http://komunitassastra.wordpress.com/2010/12/11/emha-ainun-nadjib-pengelana-dari-menturo/

Orang Sukses dan Orang Gagal

Ditulis oleh: Emha Ainun Nadjib

Orang sukses itu tidak identik dengan orang kaya dan orang gagal itu tidak identik dengan miskin. Menang kalahnya seseorang, atau sukses gagalnya seseorang, tidak ditentukan oleh apakah ia kaya atau ia miskin, melainkan oleh kekalahan atau kemenangan mental orang itu terhadap kekayaan atau kemiskinan.

http://www.caknun.com/2010/11/orang-sukses-dan-orang-gagal/

Minggu, 30 Oktober 2011

Wong Urip mung Gawe Apik

Sari Diskusi Maiyah Gambang Syafaat 25 September 2011

Ditulis oleh: Saratri Wilonoyudho
Pertemuan Maiyah Gambang Syafaat kali ini dimeriahkan oleh Kiai Kanjeng yang baru saja bermaiyah dengan PT. Herculon siang harinya. Dalam diskusi ini, Cak Nun melontarkan satu istilah menarik, yakni tujuan hidup itu bukan mencari uang atau materi, namun berbuat kebaikan (gawe apik — Jawa). Untuk itu Cak Nun memberi “tugas” kepada saya untuk menafsirkan istilah itu. Tentu ini tugas berat bagi saya karena mulut dan hati saya belum fasih membaca ayat-ayatNya. Namun untuk menguatkan diri, maka tugas ini justru saya pandang sebagai arena untuk olah pikir dan olah batin agar lebih fasih lagi, karena kunci untuk mendapatkan derajad dari Allah SWT adalah berilmu pengetahuan, dan syarat untuk ini adalah rajin iqro’ dan berpikir (catatan : Allah berkali-kali menantang manusia untuk berpikir….jika kamu sekalian mau berpikir, dst).
Jika perintah “urip mung gawe kebecikan” ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka “efek samping”nya adalah materi, uang atau nafkah yang justru lebih melimpah daripada ketika tujuan hidup kita adalah mencari uang semata. Tentu ini berbeda dengan “Kiai Yusuf Mansyur” yang demikian heroik menafsirkan Qur’an dengan “teori” sedekah versinya. Benar dalam Al Qur’an Allah SWT menjanjikan akan melipatgandakan amal kebaikan menjadi 700 kali dan seterusnya, namun tentu ini harus dimaknai dalam hubungan “rasa cintaNya” kepada kita, dan bukan hubungan matematis-kapitalistis. Kalau terjebak dengan cara pandang Kiai Yusuf Mansyur maka orang yang bersedekah bukan dalam kerangka taqwa dan tawakal, melainkan dalam hubungan dagang. “Ini lho Tuhan aku sudah bersedekah, mana imbalan 700 kali itu ?”, barangkali ini yang dicari manusia.
Padahal Allah SWT sudah bernjanji akan memberi rezeki dari arah yang tidak diduga-duga dan akan mencukupkan segala kebutuhan kita, dan Allah hanya meminta dua hal dari kita: taqwa dan tawakal. Taqwa tentu terkait dengan kemesraan cinta antara hamba dan Tuhannya dan tawakal adalah term yang tidak terpisah dari kata kerja. Orang yang tidak pernah bekerja dalam kebaikan tidak boleh mengklaim dirinya tawakal hanya dengan jalan menyerahkan diri saja kepada Allah SWT. Sederhana saja, Allah telah berbagi kepada kita secara demokratis. Kita sudah diberi berbagai fasilitas di alam semesta ini, dan tentu saja ada pembagian tugas atau sharing. Ada qudrah dan ada iradah.
Kalau kita menaruh motor tanpa terkunci dan kemudian kita berdoa kepada Allah agar motor itu tidak hilang, maka ketika motor itu benar-benar hilang jangan kemudian kita mengkambinghitamkan Tuhan atau setidaknya kita bicara takdir. Demikian pula dalam mengelola negara dan apapun, karena pada dasarnya Allah telah berbagai tugas dengan manusia.
Ungkapan “urip mung gawe kebecikan”, dalam bingkai kapitalisme akan ditertawakan. Dalam prinsip kapitalisme, modal harus sekecil-kecilnya dan untung sebesar-besarnya. Karena yang dicari hanya materi atau keuntungan semata, maka efek sampingnya justru “tidak untung”. Dalam kapitalisme yang muncul bukan “kebecikan” yang berbuah “materi”, namun justru kerusakan dan kehancuran. Padahal Allah dengan tegas melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi ini.
Kapitalisme saat ini bagai “agama baru” yang menyembah api. Kaum kapitalis dengan berbagai cara terus menempuh sampai si konsumen merasa kehausan dan bernafsu untuk melepaskan dahaga itu. Para birokrat negara yang begitu fasih berkolaborasi dengan para pemilik modal, sampai dalam membangun negara tidak memperhatikan kebudayaan dan hanya akan menjadikan negara yang “beragamakan api”.
Dalam lingkup yang lebih kecil, yakni di kota, dalam bukunya The Language of Post-Modern Architecture (London, 1977), Jencks menuding ritual perancangan kota yang cenderung seragam, mengikuti logika mesin dan logika berproduksi industrial. Dampak yang dibawanya mirip sebuah “homologisasi” berupa gedung-gedung hypermal, supermarket pencakar langit, perkantoran-bisnis, dst, yang sialnya semuanya serba transparan, boros energi, monoton, dan yang mengerikan, menyihir masyarakatnya untuk menjadi “kerbau yang dicocok hidungnya”.
Akibatnya pembangunan mal dan pusat bisnis lainnya bersifat abstrak, berikut kenyataan bahwa ia berbasis kepada asumsi yang tidak pernah teruji dan tidak pernah sesuai dengan kebutuhan riil manusia. Ia bagaikan “pakaian jadi” bagi manusia modern yang dimitoskan dan karena itu hanya ada di kepala para arsitek dan para pemodal itu. “Agama api” mereka disimbolkan dengan slogan how to big is too big. Buah tangannya adalah kota-kota metropolitan dengan megamal dan gedung pencakar langit nan menjulang.
Kembali kepada ungkapan Urip mung gawe kebecikan pasti ini berbeda dengan prinsip kapitalisme tersebut. Urip mung gawe kabecikan tentu didasarkan atas cinta dan kasih sayang (silaturahim). Rasululloh dengan tegas mengatakan bahwa buah silaturahim adalah umur panjang dan rezeki. Ini bukan sesuatu yang tanpa dasar ilmiah karena rasa cinta menumbuhkan kesarehan dan pasti kesarehan akan mencegah stres. Kehidupan yang makin sumpeg ini berawal dari rasa stres yang kemudian menumbuhkan berbagai penyakit. Rasululloh kemudian juga menambahkan bahwa sumber dari segala macam penyakit hidup adalah berlebihan. Karenanya beliau berwasiat: makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang. Tentu manajemen ala rasululloh ini tidak hanya berlaku untuk makan dalam arti harfiah, namun dalam segala bidang kehidupan.
Urip mung gawe kebecikan yang beralaskan cinta, atau silaturahim, pasti akan menghindarkan manusia dari kehinaan dan kehancuran. Rachim adalah cinta mendalam, dan rahman adalah cinta meluas.
Keduanya adalah buah dari kesungguhan kita dalam menjalankan perintah Allah SWT yang mengajari kita dengan doa yang jelas dan tegas: ihdinas siratal mustaqim, Ya allah tunjukkan kami ke jalan yang lurus (menegakkan).
Dengan kata lain, untuk mencari kebecikan, maka cukup lakukan apa saja yang ada dalam potensi diri kita secara sungguh dan lurus (menegakkan), dan Allah akan memberikan “efek samping” yang tidak terduga-duga sebagaimana dijanjikan dalam “Ayat seribu dinar” di atas. Allah tidak memerintahkan kita mencari “out put”, namun menjanjikan “out come”, apabila kita kita berjalan lurus dan menegakkan.
Urip mung gawe kebecikan akan dipuncaki oleh “sufisme Jawa” lainnya seperti “urip mung sakdremo nglakoni” atau ” urip mung mampir ngombe”. Dalam pandangan Islam tradisional sebagai mana dikatakan Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimension of Islam, Tuhan merupakan realitas absolut yang tak terhingga. Kalau Tuhan diibaratkan samudera tak terhingga, maka manusia hanyalah percikan dari samudera Ilahi tersebut, sehingga muncul konsep jabbariyah atau paham fatalisme. Namun bagi saya, urip mung mampir ngombe bukan fatalisme, namun justru puncak kesufian Jawa. Dalam pandangan ini orang Jawa tidak akan “kawin” dengan dunia, karena hidup hanya sebentar (mung mampir ngombe). Jangankan “kawin”, “pacaran” dengan dunia saja tidak sempat.
Namun bagi mereka yang meyakini bahwa Tuhan itu adil, maka pepatah Jawa “sawang sinawang” harus dicermati, Di tengah-tengah kekayaan yang melimpah, kehidupan seseorang belum tentu juga tenteram. Misalnya banyaknya kasus orang kaya yang masih korupsi atau terjebak narkoba, demikian pula para artis yang glamour yang sering berakhir tragis hidupnya, dst, menunjukkan hal itu.
Kemudahan mencari rezeki ternyata diimbangi dengan cara hidup yang glamour sehingga juga mudah habis. Banyaknya teman main, teman bekerja yang cantik atau ganteng, membikin mereka mudah selingkuh. Kesibukan mencari popularitas dan uang menyebabkan hidup mereka “kemrungsung” dan jauh dari kehidupan religiusitas (meski mereka juga mengaku beragama).
Di tengah-tengah kesulitan hidup, di tengah-tengah jaman kalabendhu, serta kegersangan spiritualitas,dst, banyak orang sibuk mencari guru atau perkumpulan-perkumpulan spiritual. Semua kemoderenan dalam arti sistem sosial memberi petunjuk ke arah mana dunia bergerak. Orang banyak mendesakkan diri, menggantikan kenyamanan alamiah dengan yang buatan manusia. Disinilah ketenteraman hidup dipertaruhkan.
Yang mengalami ternyata tidak hanya kaum miskin, namun juga para bos kaya raya dan para artis. Kisah bos Hyundai Korea yang terjun dari lantai atas sebuah hotel hingga tewas menunjukkan hal itu. Demikian pula ramainya pengajian di hotel berbintang lima dengan mengundang dai-dai terkenal dst, menunjukkan kegelisahan sebagian kaum kaya untuk “lari” atau “escape” ke dunia spiritual.

Tujuh Jalan Sufi

Karenanya, pencucian hati merupakan dasar bagi terbitnya ketenteraman hidup. Al Ghazali memberi resep mengembalikan ketenteraman hidup dengan jalan membelakangi dunia. Karena selama masih ada dunia di tangannya, maka kekotoran hati dan kegelisahan akan tetap ada. Ibarat mustahil mandi madu tanpa dikerumuni lalat atau semut.
Pencucian hati agar dapat mendatangkan ketenteraman batin amat sulit dijalani. Setidaknya ada tujuh langkah, yakni:
  1. Pengamalan “maqam” taubat. Taubat dalam pengertian tasawuf adalah pengalihan dari hidup yang terlena, ke arah hidup yang selalu mengingat Tuhan. Terlena mengingat Tuhan adalah pangkal dari segala dosa dan kemaksiatan. Maka laku mengingat Tuhan adalah langkah awal pembinaan budi luhur. Dzikir lahir batin merupakan jalan pertama;
  2. Sesudah taubat adalah laku wara’ yakni satu laku rohani untuk menjauhi hal-hal yang subhad (tidak jelas halal haramnya);
  3. Laku hidup yang mencari sesuatu yang jelas halalnya. Jadi laku ini 90% budi pekerti luhur;
  4. Laku zuhud, yakni menyedikitkan kebutuhan duniawi yang halal;
  5. Tawakal yakni menyerahkan seluruh hidupnya hanya kepada Tuhan termasuk pemeliharaannya ;
  6. Laku sabar, yakni tidak mengeluh apapun penderitaan yang ada padanya, karena yakin adanya jaminan pemeliharaan Tuhan; dan
  7. Laku ‘rela” atau ikhlas, bahkan penderitaan dianggapnya sebagai satu “kenikmatan”!
Segala kekotoran duniawi ia singkirkan. Arti menyedikitkan kebutuhan duniawi berarti mengandung arti bahwa tidak dilarang untuk mencari harta, asal halal dan diambil secukupnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ini artinya menjadi “sufi” tidak harus mengasingkan diri dari keramaian duniawi. Orang jawa bilang “topo ngrame”, dan Abu yazid Al Busthami mengatakan: “zuhud (sufisme) adalah tidak memiliki dunia dan tidak dimiliki dunia”. Artinya silakan mencari harta sebanyak-banyaknya (yang halal tentunya), namun jangan menjadi budak dunia.
Rasulullah Muhammad SAW pernah ditanya seorang sahabat: “Ya rasulullah, ada seorang pemuda yang tiap hari kerjanya hanya berdzikir di masjid sampai ia lupa mencari nafkah. Pemuda itu hanya ingat Alloh SWT. Sedangkan kebutuhan makan sehari-harinya disokong oleh kakaknya. Hebat benar pemuda itu cara beribadahnya ya rasul”. Mendengar pujian terhadap sang pemuda yang rajin berdzikir itu Muhammad SAW menjawab: “Yang masuk surga adalah kakaknya!”.
Ini artinya rasululullah mengajarkan bahwa harus ada keseimbangan antara dunia dan akherat. Dunia dicari karena manusia sebagai khalifah dan harta atau materi hanyalah alat untuk beribadah, bukan tujuan. Benda atau materi hanya dapat dibawa mati ketika ditransformasikan atau dirubah “energinya” menjadi nur atau cahaya. Dalam bahasa agama disebut “di-amal saleh-kan”.
Dengan langkah-langkah di atas, diharapkan, kemungkinan orang bunuh diri, mencari dukun agar terkenal, mengkonsumsi narkoba, berselingkuh, dst, tidak akan terjadi. Ia tidak begitu saja akan percaya kepada seseorang “guru”, percaya tuah Gunung Kawi, Gunung Kemukus, pesugihan, dst, karena yang ia yakini adalah pemeliharaan dari Tuhan.
Jika itu dihayati mendalam, tidak akan ada kegelisahan hidup, yang ada ketenteraman. Ini berarti ia telah mencapai maqam tertinggi. Alangkah indahnya memiliki popularitas, materi sekaligus kedalaman spiritualitas. Namun siapa yang sanggup seperti ini? OK pokoknya tetap sehat, tetap semangat, supaya kita tetap “survive” di jaman kalabendhu seperti ini.
Pokoknya urip mung gawe kebecikan.

Saratri Wilonoyudho
Saratri Wilonoyudho
Disarikan oleh Saratri Wilonoyudho.
Aktif Menemani Jamaah Maiyah Gambang Syafaat.
Mengajar di Jurusan Teknik Sipil Unnes Semarang Jawa Tengah.

Urip mung Mampir Ngombe..


Jalaluddin Rumi mengatakan, jika engkau tidak dapat menikmati ibadahmu, maka Tuhan sedang menghukummu. Sholat hanya berhenti pada gerakan semata, puasa sekadar lapar dan dahaga, ibadah haji hanya sekadar wisata, dan kalau ini terjadi maka ia tidak akan berjumpa dengan Tuhan. Dan ini berarti ada semacam the great paradoxes of the psychology of religion. Rajinnya korupsi juga diimbangi rajinnya ber-umroh atau naik haji, seakan ia tengah berhitung "jual beli" dengan Alloh SWT.

http://www.caknun.com/home/

 

Sari Diskusi Maiyah Gambang Syafaat 25 Oktober 2011

Ditulis oleh: Saratri Wilonoyudho

Alhamdulillah, Maiyah Gambang Syafaat tanggal 25 Oktober 2011 di Baiturrahman Semarang yang lalu tetap meriah, meski yang menemani mereka — saya dan Om Budi — adalah sosok yang masih penuh kemaksiatan. Yang penting kata Cak Nun, harus tetap ada usaha yang serius untuk menjadi “manusia kiai”, meski tidak fasih di mulut, namun selalu berendam cinta, baik cinta kepada Allah SWT, rasululloh dan kepada semua makhluk di alam semesta ini. Seperti pesan Cak Nun, Maiyah ini harus punya sejarah yang jelas dan karenanya setiap perbincangan ditulis, syukur nanti dibukukan agar anak cucu kita memanfaatkannya. Pesan ini saya lakukan dengan tulisan ringan berikut ini.
Mengapa hal itu ditekankan? Jawabnya barangkali karena Semarang memang tidak punya “sosiologi” yang jelas sehingga Gambang Syafaat sulit menemukan maqam dan menyusun bentuk maiyahnya. Barangkali kelak, lulusan GS ini memiliki kematangan dan bobot yang berbeda dari “alumnus” maiyah lainnya. Potensi manusia pesisir sebenarnya sangat bagus, namun tanah sosialnya masih tandus. Akibatnya, mereka harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan barokah dan maqomnya yang lebih tinggi, karena telah ditinggalkan para kiainya. Kini GS hanya ditemani rekan-rekan saya baik Om Budi dan Pak Ilyas yang kapasitasnya sebenarnya belum mencukupi. Wajar saja jika kami tidak mudah bertafakur, bekontemplasi, tadabbur, dst, dalam suasana seperti ini.
Namun kami bertekad harus tetap jalan. Nah dalam pertemuan tanggal 25 Oktober itulah muncul istilah “urip mung mampir ngombe”. Bagi sebagian orang ungkapan ini terasa biasa saja, namun setelah direnungkan, inilah barangkali “puncak kesufian Jawa”. Budaya Jawa yang kini hanya melahirkan sempalan-sempalan kecil, karena sudah lewat puncaknya. Dalam bidang kesenian, karya adiluhung tembang Macapat dan musik gamelan, kini belum terlampaui. Paling hanya sempalan kecil semacam lahirnya campur sari. Demikian pula dalam “kesufian” lainnya.
Urip mung mampir ngombe membawa satu dimensi religiusitas, bahwa orang Jawa itu mestinya akan selalu “semeleh” atau dalam bahasa lainnya tawakal, karena mereka tidak sempat “kawin” dengan dunia. Jangankan kawin, “pacaran” saja tidak, karena ia hanya mampir untuk menuju kampung sejatinya kelak, yakni kampung akherat. Ajaran membelakangi dunia ini sudah amat jelas dan tegas disampaikan Rasululloh SAW yakni puasa—terutama di bulan Ramadhan, yang puncaknya adalah “memanajemen nafsu” atau menahan diri. Kerusakan-kerusakan di dunia, mulai dari saling gosip, menghina, memfitnah, membunuh, perang, penindasan, korupsi, dan sebagainya itu terjadi hanya oleh satu sebab, yakni karena manusia tidak dapat menahan diri. Puasa diperintahkan Allah agar manusia bertaqwa kepadanya, dan dalam dataran tarikat, puasa adalah salah satu metode untuk memanajemen diri agar mampu menahan hawa nafsu.
Puasa sebagai upaya menuju pengendalian diri dari sifat hewani inilah yang dipandang paling sulit oleh Sayyed Hossein Nasr dalam Ramadan: Motivating Believers to Action: An Interfaith Perspective. The carnal soul, al- nafs al-ammarah. Jalaluddin Rumi mengatakan, jika engkau tidak dapat menikmati ibadahmu, maka Tuhan sedang menghukummu. Sholat hanya berhenti pada gerakan semata, puasa sekadar lapar dan dahaga, ibadah haji hanya sekadar wisata, dan kalau ini terjadi maka ia tidak akan berjumpa dengan Tuhan. Dan ini berarti ada semacam the great paradoxes of the psychology of religion. Rajinnya korupsi juga diimbangi rajinnya ber-umroh atau naik haji, seakan ia tengah berhitung “jual beli” dengan Alloh SWT.
Benar pula barangkali kata Gordon Allport (dalam Danah Zohar and Ian Marshall, SQ: Spiritual Intellegence The Ultimate Intellegence, Bloomsbury, London, 2000), bahwa banyak orang di luar kiai atau pemuka agama yang tinggi pengalaman spiritualitasnya. Banyak pemuka agama yang hebat ilmu agamanya, namun minim pengalaman spiritualitasnya atau minim pengetahuan umum lainnya. Sebaliknya banyak ilmuwan- saintis yang hebat pengetahuan keilmuannya, namun minim pengalaman spiritualitas dan pengetahuan tentang agama. Dalam Al Fatehah ada istilah “dimarahi” dan “dimurkai” Allah. Mereka yang tidak tahu tapi mau, dan mereka yang tahu tapi tidak mau.
Manusia yang sudah sampai pada tataran menghayati “urip mung mampir ngombe”, Insya Allah sudah sampai pada tataran khalifatullah, sehingga ia akan paham –misalnya– bahwa puasa Ramadhan hanyalah sekadar titik awal untuk puasa-puasa sepanjang hayat. Dalam kehidupan ini manusia diajarkan dan dituntut untuk menahan diri, menyaring, dan menjernihkan apa yang ada di dalam kehidupan ini. Orang yang sudah sampai tataran itu akan paham bahwa puasa akan menuntun dia ke arah “makan yang sejati” (pinjam istilah Cak Nun). Ia akan paham bahwa yang menuntun dirinya selama ini begitu serakah adalah nafsunya. Ia paham bahwa apa yang dimilikinya tidak bisa dibawa mati, karena itu ada di alam materi.

Memanajemen Dunia-Akherat

Ungkapan urip mung mampir ngombe, mestinya sanggup “menyatukan” kita dengan Allah. Yang ada hanyalah Allah dan kita milik Allah, sehingga hutan, lautan, gunung, harta kekayaan negara, rekening kita, kekuasaan, dst adalah milik Allah. Kalau ini disadari pasti tidak akan disalahgunakan. Ini bukan berarti ajaran puasa adalah “anti-dunia”. Yang benar salah satu inti ajaran puasa adalah bagaimana kita mampu “memanajemen” dunia.
Jika apa yang ada di dalam rumah kita atau yang melekat di tubuh kita, barang-barang mana saja yang kita beli tidak berdasarkan kebutuhan riil, maka itu hanya berdasarkan nafsu atau kesenangan belaka. Kalau banyak yang berdasarkan nafsu atau kesenangan, apalagi cara membelinya dibarengi dengan korupsi dan penindasan, maka kita belum mampu memanajemen hati dan ruhani, demikian kata Cak Nun.
Ajaran urip mung mampir ngombe adalah ketika dunia ada “di hadapannya” kita tidak serta merta “mengenyamnya”. Kalau ajaran ini berhasil diserap umat manusia, maka ia akan menuju posisi pembebasan dari sisi-sisi keduniawian dan dilepaskan di hadapan Allah. Ini adalah proses “dematerialisasi” atau “deindividualisasi”, karena yang penting adalah Allah. Dunia dan isinya hanyalah “sarana” atau “metoda” dan dimanajemen sepenuhnya untuk menuju Allah. Dengan kata lain, produk-produk duniawi tetap penting bahkan dianjurkan untuk dicari mati-matian secara halal dan toyib, namun “harus dimanajemen” untuk menuju Allah SWT! Dengan kata lain, manusia yang berhasil mengamalkan ajaran urip mung mampir ngombe adalah manusia tidak anti materi atau duniawi, namun mentransformasikan apa yang ia miliki (harta, kekayaan, kekuasaan, tenaga, pikiran, dst) untuk menjadi “nur” atau cahaya yang bermakna akherat.
Orang beragama kata Freud bapak psikoanalisis, sering berada dalam suasana “perasaan ketergantungan” (the feeling of powerlessness) yang membuat orang beragama sulit mencapai kedewasaan beragama karena gagal membangun otionomi dalam dirinya sebagai manusia. Perasaan tersebut berlainan dengan orang yang berhasil membangun “religius feeling” yang mampu mengembangkan ritual keberagamaan menjadi konkret dan mencapai “peragian rohani” dengan mengembangkan dirinya menjadi khalifah di muka bumi. Keadilan, kebenaran, cinta kasih, persaudaraan, dst terus dikembangkan. Mampukah para pemimpin kita dan para politisi mencapai derajad ini?
Kembali ke urip mung mampir ngombe, Rasululloh lantas menjelaskan bahwa dalam Islam kerja keras untuk mencari rezeki merupakan hal yang sangat penting. Ibadah mahdoh, mengingat kepada Allah juga sangat penting, namun tidak ada yang harus dikalahkan. Ajaran Al Qur’an, 96,5 % berupa ajaran muamallah, dan hanya 3,5 % yang berupa ibadah mahdoh atau ibadah khusus kepada Allah. Urip mung mampir ngombe juga tidak harus diterjemahkan hanya menyerahkan dan ingat kepada Allah SWT saja, namun tetap mencari dunia, karenanya Islam diturunkan sebagai rahmatan lil alamin, dan orang yang paling beruntung di hadapan Allah SWT adalah mereka yang dapat mengembangkan “kesalehan pribadi” menjadi “kesalehan sosial” dan “kesalehan profesional”.
Dalam bahasa yang sederhana, kesalehan sosial merupakan tangga yang lebih tinggi karena yang diukur mutu seseorang adalah seberapajauh dan seberapabesar seseorang bermanfaat bagi orang lain. Kesalehan individual tidak sertamerta membawa kepada kesalehan sosial, misalnya orang yang kelihatan khusuk ibadahnya, lantas tidak otomatis tumbuh kepekaan sosialnya. Banyak contoh orang yang tekun beribadah formal, namun sangat pelit kalau mengurusi—misalnya—tetangganya yang kelaparan. Dia dapat begitu royal menyumbang tempat ibadah, namun pelit menyumbang tetangganya yang kesusahan, atau membangun jalan umum misalnya. Dia mengira amal ibadah hanya soal menyumbang tempat ibadah atau zakat saja.
Banyak kiai atau ulama yang begitu hebat pengetahuan fiqh-nya, namun jarang memberikan fatwa sosial. Yang muncul hanya fatwa tentang halal-haram, tentang lemak babi, pelacuran, judi, namun tidak mampu memberi solusi—misalnya — soal kasus lumpur Lapindo atau korupsi di DPR.
Ada satu cerita tentang sebuah kesalehan sosial. Ketika berjalan-jalan keluar istana—Khalifah Harun Al Rasyid yang menyamar sebagai orang biasa, menjumpai seorang tua bungkuk dan sudah beruban rambutnya, sedang menanam pohon palem. Ketika ditanya berapa lama pohon itu dapat tumbuh, orang tua yang bungkuk tadi menjawab kalem: “mungkin sepuluh tahun, dua puluh tahun, bahkan seratus tahun!”. Mendengar jawaban ini sang Khalifah kaget: “Bagaimana anda dapat menikmati buahnya ketika pohon ini mulai tumbuh besar sedangkan engkau sudah meninggal ?”.
Namun orang tua ini tetap kalem dan menjawab : “Benar, mungkin saya sudah meninggal, tapi saya akan makan buah dari kesabaran yang saya tanam. Demikian pula anak cucu atau masyarakat di masa mendatang akan ikut menikmatinya pula. Diriku tidak penting, apakah masih hidup atau tidak, sebab hidup adalah sebuah langkah untuk beribadah”. Demi mendengar jawaban ini sang Khalifah kagum dan sertamerta memberinya orang tua itu sekeping uang emas. Orang tua tadi langsung berkata: “Saya berterima kasih kepada Allah, karena buah yang baru saya tanam menghasilkan buah dengan segera!”. Demi mendengar pujian ini sang Khalifah memberinya lagi.
Orang tua tadi juga menjawab: “Biasanya pohon ini berbuah sekali dalam setahun, namun ini berbuah dua kali”. Mendengar ucapan syukur ini sang Khalifah mendekati pengawalnya serta menarik tangannya sambil berkata: “Mari segera meninggalkan kebun ini sebelum uang kita habis.
Kisah ini menunjukkan kesalehan sosial seseorang yang tidak disertai pamrih, karena baginya “hidup adalah beramal”. Orang tua ini berbeda dengan politisi yang setiap hari menghabiskan uang puluhan milyar hanya untuk berkata “hidup adalah perbuatan”. Kalau politisi ini berpamrih, maka bagi orang tua tadi, bekerja bukan mencari uang, namun mencari keridlaan Alloh. Sedangkan uang hanyalah “resiko” yang dia terima setelah bekerja. Jadi “rumusnya” tidak bisa dibalik.

Kesalehan Profesional

Istilah kesalehan profesional juga menunjuk kepada “kesalehan sosial”, namun berlaku bagi orang-orang yang memiliki profesi tertentu. Para pegawai negeri, presiden, menteri, gubernur, bupati, anggota dewan, jaksa, hakim, polisi, pegawai bea cukai, pegawai pajak, dosen, dst, adalah sederetan orang-orang profesional yang diamanahi oleh rakyat untuk mengatur negara dan melayani rakyat.
Dengan pengertian yang sederhana tersebut dapat dipahami, jika seorang aparat penegak hukum main-main dengan pasal-pasal atau BAP palsu demi mendapatkan uang, maka ia dapat dikatakan sudah tidak memiliki kesalehan profesional. Demikian pula aparat pemeriksa keuangan yang membuat laporan keuangan palsu atau membuat laporan “mark up” proyek, seorang dosen yang menjual nilai atau ijazah, anggota dewan yang menjual RUU, dst, mereka dikatakan tidak memiliki kesalehan profesional. Dosa mereka bisa mmenjadi dobel karena melalaikan amanah sekaligus menerima uang haram.
Karenanya menarik untuk mengikuti “jalan pikiran” para koruptor kelas kakap. Mereka yang digaji oleh negara dengan fasilitas yang sudah membikin orang lain mengucurkan air liur, toh masih tega juga terus mengembat uang Negara. Anggota dewan, jaksa, hakim, pegawai bea cukai, pegawai negeri, pejabat, dst, adalah orang-orang yang diamanahi untuk melayani rakyat. Untuk keperluan itu mereka digaji luar biasa besarnya dan dengan gaji mereka dapat hidup sejahtera.
Dalam pandangan sufistik, para koruptor adalah orang yang belum tercerahkan, karena dalam diri pribadinya ditutupi oleh kabut tebal yang berupa penyembahan duniawi. Dalam agama apapun diajarkan bahwa dipersilakan mencari dunia sebanyak-banyaknya asal dengan cara yang halal dan toyib serta semuanya nanti ditransformasikan menjadi “energy” yang disebut “nur atau cahaya”. Dalam ajaran agama-agama besar, ditekankan pentingnya kejujuran, kedermawanan, disiplin, dan pelayanan. Seseorang akan dapat mengamalkan dengan baik hal-hal tersebut jika telah sampai kepada kesadaran, bahwa kita tidak memiliki apa-apa. Dalam “rumus” tingkat ma’rifah: “tidak ada aku dan tidak ada kamu”, karena yang ada hanyalah Tuhan.
Kesalehan sosial yang sampai tingkat ini melampaui tiga tingkatan sebelumnya, yakni: tingkatan pertama adalah syariah “rumus” yang berlaku adalah: milikmu dan milikku. Yakni hukum yang menjamin hak-hak individu dan hubungan etika diantaranya. Pada tingkatan tareqah berlaku rumus: milikku adalah milikmu dan milikmu adalah milikku. Disini ada hubungan persudaraan yang kental. Pada tingkat haqiqah rumusnya: tidak ada milikku dan tidak ada milikmu. Ini tingkat kesadaran bahwa manusia tidak memiliki apa-apa karena semuanya hanya milik Tuhan. Manusia hanya mengemban amanah, dan ini melampaui terhadap pengikatan diri terhadap duniawai, pangkat, jabatan, ketenaran, kekayaan, dst. ****

Saratri Wilonoyudho
Saratri Wilonoyudho
Disarikan oleh Saratri Wilonoyudho.
Aktif Menemani Jamaah Maiyah Gambang Syafaat.
Mengajar di Jurusan Teknik Sipil Unnes Semarang Jawa Tengah.

http://www.caknun.com/2011/10/urip-mung-mampir-ngombe/

Minggu, 23 Oktober 2011

Sheikh Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen


Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen ral.

—yang dikenal oleh para guru sufi di seluruh dunia sebagai seorang yang mencapai tingkat ruhaniyah—adalah seorang bijak dan suci yang sering disebut-sebut dari mulut ke mulut, beliau ‘muncul’ dari belantara hutan Sri Lanka tahun 1914.

Sangat sedikit yang diketahui tentang beliau pada periode sebelum itu. Sedikit sepihan data mengenai beliau yang berhasil diperoleh adalah bahwa beliau datang ke Sri Lanka pada tahun 1884—yang ketika itu disebut dengan Ceylon—dari perjalanannya berkelana di seputar India, kemudian ke Baghdad, Yerusalem, Madinah, Mesir, Roma, dan kemudian kembali lagi ke Ceylon untuk menetap. Data lainnya yang berhasil didapatkan adalah bahwa pada tahun 1930-an ia pindah ke Jaffna, dan kemudian pada tahun 1960-an ia tinggal di Colombo, Sri Lanka.

Beliau sendiri tidak pernah mengatakan berapa usianya sebenarnya. Ia telah melewatkan seluruh umurnya untuk mempelajari pelbagai agama yang ada di dunia, dan sebagai pengamat rahasia-rahasia paling tersembunyi dari pelbagai ciptaan Tuhan. Jika ditanya tentang dirinya, ia hanya mengatakan bahwa dirinya hanyalah seorang manusia kecil (manusia semua, ant man) yang hanya menjalankan tugas yang diperintahkan Allah kepadanya. Ia mengatakan bahwa perihal mengenai dirinya tidaklah penting untuk diketahui, dan hanya pertanyaan tentang Allah-lah yang lebih layak untuk diketahui.

Sejak masih tinggal di hutan-hutan Ceylon, nama beliau telah dikenal masyarakat kota maupun pedesaan sebagai seorang Guru yang kata-katanya memberikan ‘pencerahan’ dan mampu menjawab segala macam persoalan orang-orang yang datang kepadanya. Ia membantu segala macam manusia yang datang menemuinya, dari segala macam bangsa maupun derajat, menjawab segala macam pertanyaan mereka tentang kehidupan maupun persoalan mereka, menyembuhkan penyakit mereka, bahkan hingga membantu membuka hutan dan membajak ladang mereka, serta memberikan saran-saran pertanian.




Nama ‘Muhaiyaddeen’ secara harfiah berarti ‘yang menghidupkan kembali Ad-Diin,’ dan memang, selama sisa hidupnya itu Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen ral. mengabdikan dirinya untuk membangkitkan kembali keyakinan akan Tuhan di dalam kalbu orang-orang yang datang kepadanya.

Sebagai seorang guru sufi, beliau memiliki kemampuan yang unik, yaitu kemampuan memurnikan esensi kebenaran dari semua agama.
Selama lima puluh tahun terakhir kehidupannya, beliau membagi pengalaman-pengalamannya ini kepada ribuan orang dari seluruh dunia. Walaupun beliau memberikan pelajarannya dalam kerangka sufistik Islam, orang-orang dari agama Kristiani, Yahudi, Buddha, maupun Hindu, tetap datang kepadanya dan duduk bersama-sama, selama berjam-jam, di dalam majelisnya untuk mencari secercah pemahaman akan Kebenaran. Beliau sangat dihormati para akademisi, juga para pemikir filsafat maupun pemimpin serta kelompok-kelompok spiritual tradisional karena kemampuannya memperbarui keyakinan di dalam hati manusia yang datang kepadanya.

Sebagai sambutan atas pelbagai undangan kepadanya, beliau datang ke Amerika Serikat pertama kali pada tahun 1971. Dalam kunjungan-kunjungan berikutnya ke negara ini, beliau memberikan pelajaran-pelajarannya melalui banyak stasiun televisi maupun radio, mencakup pendengar dari Amerika hingga Kanada, dari Inggris hingga Sri Lanka. Beliau juga memberikan kuliah-kuliah di banyak universitas di Amerika maupun Kanada. Beliau mengarang lebih dari dua puluh buku, dan menghasilkan sejumlah rekaman kaset dan video. Beberapa media yang pernah menemuinya di antaranya adalah Time, The Philadelphia Inquirer, Psychology Today, dan The Harvard Divinity Bulletin.


Ia terus membimbing murid-muridnya dari segala bangsa, dan juga menerima tamu-tamu hariannya dari pelbagai kalangan, mulai dari pelajar sekolah dasar, petani, dan buruh, hingga para tokoh agama, pemimpin dunia, jurnalis, akademisi, maupun para pencari Tuhan; untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, membantu memecahkan persoalan mereka dan menyentuh hati mereka dengan cara yang sangat personal.
Ia terus melakukan semua ini hingga hari meninggalnya pada 8 Desember 1986 di Philadelphia, Amerika Serikat, dan dimakamkan oleh murid-muridnya di sana. Hingga sekarang makamnya masih banyak diziarahi orang dari seluruh dunia.
Sekretaris Perserikatan Bangsa-Bangsa ketika itu, Robert Muller, dalam kata-kata bela sungkawanya mengatakan, “Saya tidak akan pernah melupakan kata-kata beliau. Telah ada sebuah pesan yang jelas untuk dilaksanakan di seluruh kehidupan saya. Semoga semenjak hari ia meninggalkan dunia ini, jiwanya akan senantiasa tetap bersama kita untuk membantu dalam menyelesaikan tugas kita masing-masing yang teramat sangat sulit ini.”

www.surrender2god.wordpress.com

Kakek…Untuk apa Tuhan menghadirkanku di dunia ini?


 
Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen  


Sang Cucu: Kakek…Untuk apa Tuhan menghadirkanku di dunia ini?


Tuhan telah mengajarimu segala sesuatu. Segalanya telah tertulis di dalam dirimu. Sebelum kau datang kemari, Dia berkata kepadamu, “Aku mengirimmu ke sekolah bernama dunia. Ia hanyalah tempat sementara. Kau harus pergi ke sana untuk sementara waktu untuk belajar mengenai sejarah-Ku, sejarahmu, dan sejarah lainnya. Kau harus mengerti siapa yang menciptakan segala sesuatu, siapa yang bertanggungjawab terhadap segala sesuatu, siapa Penjaga yang menjaga dirimu, dan apa milikmu yang sesungguhnya. Ketika kau telah belajar dan mengerti semua sejarah-sejarah ini, kau akan menyadari siapa dirimu dan siapakah Dia yang kau butuhkan, Sang Kebenaran, Dia Yang Maha Hidup.”
“Setelah kau mempelajari hal-hal ini semua, kau harus melewati suatu ujian. Lalu kau bisa membawa apa yang menjadi milikmu dan kembali ke sini. Tapi pertama, pergilah ke sekolah dan belajar. Lalu kembalilah.”
Tuhan mengatakan ini kepadamu dan kemudian mengirimmu ke sini. Sekarang adalah tugasmu untuk menemukan-Nya, untuk mengenal dirimu, dan untuk mengetahui apa kekayaanmu yang sejati. Itulah mengapa kau harus datang kemari. Maka, jadikan kebijaksanaanmu sebagai gunting dan periksalah milikmu dengan baik, potonglah apa-apa yang buruk. Dia telah memberikan segalanya kepadamu, tetapi kau harus memotong semua gambar yang kau ambil dengan kamera fotomu sendiri dan simpanlah hanya rol yang baik, itulah yang kau bawa menuju Penjagamu. Sambungkan semuanya dan singkirkan hal lainnya.

www.surrender2god.wordpress.com

Bercengkerama Dengan Anak-Anak


 
Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen  


Kita harus membuat hati anak-anak kita benar-benar suci. Kemanapun mereka pergi bermain, dimanapun mereka berada kita harus memastikan bahwa mereka tumbuh dengan hati yang suci. Pelajaran yang kita ajarkan kepada mereka, cara yang kita sampaikan bergantung pada apa yang kita lakukan karena mereka meniru tingkah laku kita. Mereka mencoba meniru kata-kata yang kita ucapkan layaknya burung beo, mereka mencoba melakukan apa yang kita lakukan. Jika kita marah, seorang anak akan mengekspresikan kemarahannya melalui caranya sendiri. Anak-anak belajar dari apa yang kita ajarkan kepada mereka dan setelah mereka dewasa mereka akan mengajarkannya kepada anaknya, begitulah seterusnya. Kita adalah guru, kita adalah guru bagi kehidupan anak kita sejak ia lahir hingga akhir waktu. Apapun yang kita ajarkan pada anak-anak itulah yang akan ia ajarkan kepada orang lain, anak-anak meniru apa yang ia lihat. Jika kita bisa menghadirkan perkataan yang baik, perkataan yang membangun, perkataan yang indah, perkataan yang dipenuhi oleh belas kasih, perkataan yang dipenuhi oleh kearifan kepada anak-anak, mereka akan tumbuh di jalan kebenaran. Dan jika kita ingin melakukan hal ini, kita sendiri harus bertransformasi terlebih dahulu. Ini adalah pelajaran yang terbaik bagi seorang anak.


www.surrender2god.wordpress.com

Sekuntum Mawar Hati



Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen  




Penanya: Apa yang dimaksud dengan hati terbuka? Mengapa hati harus dibuka? Dan apa yang menyebabkan hati terbuka?

Bawa Muhaiyaddeen: Hanya ketika sekuntum mawar mengembang dan merekah, barulah keharumannya menyebar. Bukankah begitu? Sebelum merekah bisakah engkau merasakan keharuman mawarnya? Tidak, engkau tidak bisa. Bisakah engkau melihat keindahan mawarnya? Tidak bisa, ia hanyalah sebuah kuncup. Hanya tatkala mawarnya merekah barulah keindahan dan keharumannya terpancar.
Lubuk hati yang paling dalam, atau qolbu, adalah seperti sekuntum bunga mawar. Walaupun ia ada di sana, selama ia masih dalam keadaan kuncup, engkau tidak akan bisa merasakan keindahan mawarnya, warnanya atau keharumannya. Hanya ketika mawar qolbu merekah barulah engkau akan mengetahui kebahagiaan ketika mencium dan melihatnya. Pada saat itulah keindahan, keharuman, kebenaran dan keagungan qolbu diketahui. Hal-hal ini tidak bisa dilihat tatkala mawar masih dalam keadaan kuncup. Untuk itulah mengapa mawar qolbu tersebut harus dibuka. Ia harus merekah.
Sebuah taman mawar haruslah dikunci agar binatang tidak masuk dan merusaknya. Oleh sebab itu, kita harus membuka kuncinya, memasukinya dan merawatnya. Kita harus menyiram tanamannya, memberinya pupuk, dan menjaga mereka. Dengan hal yang sama, menggunakan kunci hikmah kebijaksanaan dari kebenaran, kita harus membuka taman mawar dari hati dan masuk ke dalamnya. Ketika di dalam, kita harus mengetahui apa yang dibutuhkan agar kuncup bisa merekah. Kita harus memberinya pupuk sifat-sifat Tuhan, tindakan Tuhan, perbuatan-Nya, kemulian-Nya, dan cinta-Nya. Dan kita harus menyiramnya dengan sifat-sifat Tuhan. Inilah hal-hal yang harus kita berikan kepada tanamannya.
Seiring kita melaksanakan tugas-tugas ini, suatu keindahan yang menakjubkan akan mulai merekah, dan kita akan mulai merasakan keharumannya. Itulah taman mawar dari hati. Dan Sang Penjaga dari taman ini adalah “Tuhanku!” Kita akan dapat melihat Penjaganya dan merasakan keindahan dan keharuman mawarnya di sana. Inilah mengapa kita harus membuat bunganya merekah. Inilah cara yang harus kita lakukan.


www.surrender2god.wordpress.com

Lima Jenis Kegilaan


 
Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen  


Terdapat berbagai jenis kegilaan di dunia ini. Kita akan membahas lima jenis kegilaan yang paling umum.
* Gila yang berasal dari akal pikiran
* Gila akan wanita,
* Gila akan uang,
* Gila akan mabuk-mabukan,
* Gila akan kebijaksanaan.
Pada sebuah persimpangan jalan di dekat taman, berdiri sebuah pohon yang teduh. Lima orang dengan lima jenis kegilaan duduk bersama di bawah pohon tersebut. Mereka berbicara dengan diri mereka sendiri. Bagi orang yang berlalu-lalang, lima orang ini terlihat sama, tetapi terdapat alasan yang berbeda atas kegilaan mereka.
Manusia yang sakit jiwa mengambil semua serpihan kertas dan lembaran daun kering yang ada di tanah dan meletakkannya di sekitar tangannya sembari mengoceh, “Kau pergi ke sini, kau pergi ke sana.”
Dia yang terobsesi oleh wanita mengambil semua serpihan kertas dan mengira bahwa kertas itu adalah surat cinta. Dia berkomat-kamit, “Kekasihku menulis ini, kekasihku menulis itu. Kekasihku berkata, ‘Aku akan datang kepadamu!’”
Dia yang terobsesi oleh uang mengambil semua serpihan kertas, melihatnya, membolak-baliknya, dan mengomel kepada dirinya sendiri, “Bank ini, bank itu. Rekening ini, rekening itu. Simpananku.”
Dia yang gila karena mabuk berdiri dan berjalan sempoyongan di jalan, menabrak orang lain dan benda-benda yang ada di sekitarnya. Akhirnya, dia terjatuh tak sadarkan diri di jalan, dan maling merampok pakaiannya. Ketika dia sadar kembali dia begitu malu, sehingga dia kembali ke rumah, bertengkar dengan istrinya, dan menyalahkan keluarganya atas kesalahannya.
Tetapi dia yang terobsesi oleh kebijaksanaan mengambil sebuah daun kering yang telah mati dan tersenyum dengan sedih. “Sungguh indah ketika engkau masih bersatu dengan batangmu. Pada awalnya engkau adalah sebuah daun indah yang berwarna hijau yang menyejukkan orang lain. Kemudian engkau berubah menjadi kuning, dan saat ini warnamu menjadi sama dengan tanah. Engkau adalah daun kering yang akan kembali ke tanah sebagai pupuk. Setiap orang dan segala sesuatu akan mendapatkan takdir yang sama. Setiap orang dan segala sesuatu menjadi makanan bagi tanah.” Dia tertawa dan menangis, tetapi bukan dari dalam dirinya.
Manusia yang terobsesi dengan kebijaksanaan tertawa karena penjelasannya sendiri. Dia berkata, “Sungguh inilah kehidupan! Oh Tuhan, aku mencari-Mu dan menjadi gila. Engkaulah satu-satunya dokter yang dapat menyembuhkan kegilaanku. Jika Engkau tidak datang, aku akan mati seperti daun ini. Engkaulah Tuhan yang menciptakan, melindungi, dan merawatku. Engkaulah Tuhan yang memahami dan mengerti akan diriku. Berikanlah aku obat rahmat, cinta dan kebijaksanaan-Mu dan penuhilah kebutuhan-kebutuhanku. Aku adalah budak-Mu di dunia ini.” Hatinya terbuka, dan dia berserah diri kepada Tuhan.
Empat orang lainnya tidak menyadari hal ini. Mereka berbicara akan apa yang ada di dalam diri mereka. Tetapi bagi dunia, kelima orang ini terlihat gila.
Anakku, pahamilah keadaan ini. Jangan mengikuti apa yang dunia lakukan. Jika engkau melihat seseorang yang benar-benar mengerti akan dirinya, kehilangan dirinya dalam meraih kebijaksanaan, dan mati dalam Tuhan, engkau sebaiknya menghormatinya dan belajar kebijaksanaan dan kata-kata baik darinya. Hal itu akan menjadikan engkau mulia.
*********
Edisi Inggris “Five Common Types of Insanity” Oleh M. R. Bawa Muhaiyaddeen. Diterjemahkan oleh Dimas Tandayu.