Sabtu, 29 November 2014

Caknun@paciran

Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng,
Paciran, 2 Nov 2014
6 hari yang lalu
Acara pada malam hari ini diselenggarakan dalam
rangka memperingati haul Syaikh Maulana Ishaq dan
memperingati 10 Muharram 1436 H. Syaikh Maulana
Ishaq adalah salah satu wali yang dari garis
keturunannya lahir beberapa wali yang merupakan
bagian dari Wali Songo. Salah satunya adalah Sunan
Giri yang merupakan anaknya. Dengan acara ini,
diharapkan masyarakat dapat senantiasa mengingat,
menjunjung, dan mewarisi nilai-nilai perjuangan para
wali yang telah berjasa besar dalam menyebarkan
ajaran Islam di bumi Nusantara.
Ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng malam ini
merupakan puncak acara dari rangkaian acara yang
telah berlangsung 10 hari, yakni Kirab Santri,
Musabaqah Hifdhil Quran, Lailatul Qiroah, Musabaqoh
Dzibaiyah, pergelaran wayang kulit, Qasidah dari
beberapa pesantren, dan Istighotsah Qubro pada malam
Jum’at Pon. Dengan tema “Ngaji Noto Ati Ngadepi
Industrialisasi dan Globalisasi” panitia ingin Cak Nun
memberikan panduan bagaimana masyarakat, khsusnya
masyarakat Paciran ini, dapat memiliki sikap yang tepat
dalam menghadapi datangnya industrialisasi dan
globalisasi.
Ngaji Noto Ati Ngadepi Industrialisasi lan Globalisasi.
Salah satu yang perlu dipersiapkan adalah bagaimana
generasi muda dapat membentengi diri menghadapi
kemungkinan ekses budaya yang ditimbulkan oleh
industrialisasi. Walaupun belum bisa dipastikan sebagai
dampak yang timbul, tetapi gejala gaya hidup konsumtif
dan ketidakpedulian itu mulai terasa. Dilemanya adalah
generasi muda juga membutuhkan lapangan pekerjaan
yang salah satunya disediakan oleh industri-industri
yang ada, karena umumnya mereka enggan untuk
bertani.
Masyarakat Paciran ini “hidup di dua alam”, malam hari
pergi melaut sebagai nelayan, dan di pagi hari mereka
bertani: cabe, jagung, kacang, dan lain-lain. Paciran
juga merupakan pusat santrinya kabupaten Lamongan.
Ada sekitar 15 pesantren di sini. Karena itu, Cak Nun
diharapkan dapat memberikan view bagaimana para
santri dapat merespons gelombang industrialiasai, tanpa
harus menjadi korban industri.
Selain itu, juga merupakan harapan panitia agar Cak
Nun berkenan memberikan wawasan yang memadai
tentang bagaimana para pemuka agama dapat
menyuguhkan Islam secara kreatif di tengah derasnya
perubahan zaman, sehingga khususnya generasi muda
tetap bisa kuat memegangi nilai-nilai agama. Yakni,
bagaimana sebagai umat Islam dapat ber-Islam dengan
kaffah di tengah perubahan-perubahan zaman ini.
Menjaga antara kebutuhan merawat tradisi dan
kebutuhan untuk inovasi dan ijtihad. Di Paciran ini
sekurangnya ada tiga perusahan besar, yaitu Lamongan
Shorebase (LSB) yang merupakan join antara
pemerintah Lamongan dengan investor Singapura di
bidang kargo dan shipping, di antaranya transportasi
pertambangan; PT. DOK yang bergerak di bidang
perkapalan; dan PT. LMI yang bergerak di bidang
pembuatan kapal. Dengan pengajian pada malam hari
ini, panitia berharap masyarakat dapat menimba ilmu
tentang pelbagai hal yang tersirat dalam tema malam
ini, sekaligus juga merasakan bagaimana ajaran Islam
dapat disajikan dan direpresentasikan secara benar,
baik, dan indah melalui pergelaran Cak Nun dan
Kiaikanjeng.
Di pelataran depan Masjid Al-Abror yang sangat megah
dan penuh di dalamnya ornamen dan kaligrafi, di
komplek Makam Syaikh Maulana Ishaq, malam ini
kembali Cak Nun KiaiKanjeng bermaiyahaan bersama
masyarakat Desa Kemantren Paciran Lamongan. Acara
ini digelar dalam rangka haul akbar Syaikh Maulana
Ishaq dan peringatan 10 Asyuro 1436 H dengan tema
“Ngaji Noto Ati Ngadepi Industrialisasi lan Globalisasi”.
Begitu naik panggung bersama KiaiKanjeng, Cak Nun
langsung mengawali acara ini dengan nomor Pambuko
di mana Cak Nun yang langsung melantunkan suluknya,
yaitu shalawat Nabi. Sesudah itu, jamaah diajak
memasuki semesta Hasbunallah wa Nikmal Wakil dari
KiaiKanjeng.
Dengan diliputi hembusan angin pantai utara Paciran,
ribuan jamaah memadati area di depan, kanan, kiri, dan
bahkan belakang panggung, dan semakin rapat ketika
Cak Nun dan KiaiKanjeng naik ke panggung. Dan, benar-
benar tak menyisakan ruang kosong.
Langsung menukik ke tema, Cak Nun memberikan
dasar. Pisau itu belum jelek atau baik. Pisau akan
menjadi atau ada kaitannya dengan baik dan buruk.
Demikianlah industri. Ada industri yang nggak papa,
nggak ada industri yang papa. Anda yang menentukan
baik dan buruknya industri. “Nah sekarang yang penting,
jangan menjelek-jelekkan siapa-siapa, karena nggak ada
sesuatu yang jelek, yang ada adalah sesuatu yang tidak
pada tempat dan waktunya. Tidak usah rame soal
bidah, soal NU dan Muhammadiyah, ojo gelut. Apapun
latar belakangmu, yang penting keluarannya adalah
kebaikan”, pinta Cak Nun.
Apapun latar belakangmu, yang penting keluarannya
adalah kebaikan.
“Ojo nganti pegatan (cerai) di tengah jalan, seandainya
nanti pak bupati tidak lagi jadi bupati, persuami-istrian
dengan rakyat tetap bisa dilanjutkan dengan format
yang berbeda,” pesan Cak Nun.
Benar-benar spektakuler berkumpulnya begitu banyak
orang di sini, di depan masjid yang megah dan agung,
pemerintah dan rakyat duduk bersama, ditemani musik
KiaiKanjeng yang kelasnya adalah orkestra, dengan
panduan Cak Nun yang sangat piawai memberikan roh
bagi setiap jengkal pergerakan di acara ini. Baru saja
Pak Bupati menyanyikan lagu “Keagungan Tuhan”
diiringi KiaiKanjeng.
Sedikit kembali ke soal industrialisasi, Cak Nun sempat
menerangkan bahwa revolusi roda merupakan salah
satu pencapaian manusia yang memacu makin
cepatnya industrialisasi di dunia. Salah satu bentuk
industri adalah televisi. Dulu sebelum ada televisi yang
banyak seperti sekarang ini, anak-anak selalu
menghabiskan waktu di surau atau langgar. Sekarang
sudah berkurang jauh, mereka lebih banyak
menghabiskan waktu di depan televisi. Justru pada jam-
jam sholat maghrib dan isya’ adalah saatnya prime time .
Dulu, di desa, kyai menjadi kyai karena dikyaikan oleh
masyarakat atau umatnya. Sekarang, siapa menjadi kyai
ditentukan oleh siapa yang punya uang, modal, dan
media (televisi dan lain-lain). “Jadi, kalau mau
menghadapi dampak industri seperti itu, maka anda
harus berani menentukan sendiri siapa kyai anda, siapa
yang layak menjadi kiai menurut anda. Jangan mengikut
yang disodorkan media, sementara anda tidak benar-
benar mengenalnya,” pesan Cak Nun memberi contoh
bagaimana menyikapi ekses globalisasi dan
industrialisasi.
Syaikh Maulana Ishaq, yang diperingati haulnya malam
ini, adalah keturunan ke-18 dari Kanjeng Nabi
Muhammad Saw. Beliau merupakan di antara wali-wali
pertama yang membuka penyebaran Islam di Nusantara.
Sunan Giri adalah putra beliau. Dari beliau pula lahir
beberapa wali yang tergabung dalam Walisongo. Sunan
Ampel adalah keponakannya. Usai maghrib tadi
KiaiKanjeng dipimpin Mas Islamiyanto berziarah di
makam beliau. Merupakan acara yang unik
memperingati haul beliau, sekaligus peringatan 10
Asyuro 1436 H, dengan tema industrialisasi dan
globalisasi. “Tidak semuanya bisa saya jawab, apalagi
dalam forum yang belum tentu bisa mendalam karena
harus merespons banyak pihak,” kata Cak Nun saat
briefing bersama KK dan panitia. Tetapi sejauh ini, Cak
Nun telah memberikan dasar atau prinsip berpikir dalam
menyikapi apa saja. Dan sekarang, sedang berlangsung
dialog antara Bupati dengan rakyatnya, dipandu oleh
Cak Nun.
Pak Bupati H. Muhammad Fadhli mendengarkan uneg-
uneg rakyatnya, mulai soal mobil sehat hingga soal
industri-industri yang masuk ke Lamongan tetapi sudah
membawa tenaga kerjanya sendiri yang notabene dari
luar kota, sementara di sisi lain ada kenyataan banyak
anak-anak nakal yang kenakalannya dikarenakan nggak
punya pekerjaan. Semuanya harus direspons Pak Bupati
sebagai suaminya rakyat.
Jangan mengandalkan pemerintah untuk kesehatan
kalian. Kalian harus menyehatkan diri anda juga.
Jangan lantas perut mules sedikit datang ke kantor Pak
Bupati.
Usai Pak Bupati menjelaskan upayanya untuk
mengatasi sekitar 31 ribuan pengangguran di Lamongan
serta memaparkan belum bisa terserap penuhnya
tenaga kerja di perusahaan/industri karena belum
terpenuhinya kualifikasi teknis yang dibutuhkan, di mana
Pak Bupati juga sedang membangun BLK (Balai Latihan
Kerja) di Lamongan meskipun baru di kota, Cak Nun
melengkapi apa yang disampaikan Pak Bupati. Cak Nun
menerangkan dua jenis penjajahan. Pertama penjajahan
lewat pendidikan. Kedua, penjajahan lewat mengatur
dan mengubah undang-undang. Penjajahan kedua inilah
yang memungkin investor asing bisa langsung masuk ke
dareah kabupaten. Maka di sini, peran Bupati sangat
penting. Perusahaan yang datang ke daerah kalau tidak
memberi keuntungan bagi rakyatnya dan tidak
menyerap tenaga kerja setempat, maka stop. “Tapi
awakmu yo kudu meningkatkan skill dan
keterampilanmu,” pesan Cak Nun kepada kaum muda
Lamongan yang hadir dan ikut bertanya tadi.
Dialog seperti malam ini benar-benar contoh hidupnya
suatu kepolitikan di dalam masyarakat. Dari sisi jumlah
orang yang hadir serta kualitas isu yang dibicarakan
sangat langka. Jarang terjadi public discussion seperti
ini, di mana yang terjadi lebih banyak rakyat yang apatis
terhadap pemerintah. Tetapi dengan panduan Cak Nun
mereka bisa ajur-ajer, saling tenggang rasa, dan siap
saling mendengarkan. Sewaktu Pak Bupati dibebaskan
oleh Cak Nun untuk boleh pamit sewaktu-waktu, pak
Bupati memilih tetap mengikuti acara sampai selesai,
tetap bersama-sama rakyat di tempat ini.
Cak Nun sungguh-sungguh berpesan agar Pak Bupati
bisa dekat dan menyatu dengan rakyatnya, kalau ada
persoalan dibicarakan dengan sebaik-baiknya. Terlebih
Cak Nun punya pengalaman bersinggungan dengan
orang-orang Lamongan yang bekerja di berbagai negara,
di mana mereka adalah pekerja-pekerja yang hebat dan
penuh energi. “Lamongan itu hebat. Lamongan itu
penting bagi Indonesia.
Lamongan itu suatu bangsa. Indonesia bukanlah sebuah
bangsa, melainkan kumpulan dari bangsa-bangsa. Ada
bangsa Lamongan, bangsa Madura, bangsa Sunda, dan
lain-lain,” tegas Cak Nun sembari mengingatkan bahwa
kita tidak boleh minder dengan bangsa asing manapun
meskipun tidak boleh tinggi hati kepada siapapun.
Indonesia memiliki kebesarannya sendiri.
Peran yang dimainkan Cak Nun dalam dialog publik
seperti ini sangat penting, yakni membantu mengurai
masalah secara jernih dan analogi yang mudah
dipahami. Pak Bupati punya program membuat mobil
sehat. Salah seorang warga memprotes, lebih baik
menyehatkan warganya dulu baru beli mobil. “Duluan
mana mobil dengan sehat? Sehat dulu baru beli mobil,
atau beli mobil baru kemudian warga sehat? Silakan
diputuskan sendiri. Sebab, beli mobil juga salah satu
acara untuk melayani kebutuhan masyarakat akan
kesehatan. Tetapi kalian juga jangan mengandalkan
pemerintah untuk kesehatan kalian. Kalian harus
menyehatkan diri anda juga juga. Jangan lantas perut
mules sedikit datang ke kantor Pak Bupati,” urai Cak
Nun.
Peran yang dimainkan Cak Nun dalam dialog publik
seperti ini sangat penting, yakni membantu mengurai
masalah secara jernih dan analogi yang mudah
dipahami. Pak Bupati punya program membuat mobil
sehat. Salah seorang warga memprotes, lebih baik
menyehatkan warganya dulu baru beli mobil. “Duluan
mana mobil dengan sehat? Sehat dulu baru beli mobil,
atau beli mobil baru kemudian warga sehat? Silakan
diputuskan sendiri. Sebab, beli mobil juga salah satu
acara untuk melayani kebutuhan masyarakat akan
kesehatan. Tetapi kalian juga jangan mengandalkan
pemerintah untuk kesehatan kalian. Kalian harus
menyehatkan diri anda juga juga. Jangan lantas perut
mules sedikit datang ke kantor Pak Bupati,” urai Cak
Nun.
Sama seperti konsep baldatun thoyyibatun wa robbun
ghofur yang lebih lengkap dibanding konsep toto tentrem
kerto raharjo . Yang terakhir ini sekadar berbicara
kesejahteraan lahir, sedang yang pertama bukan
sekadar sejahtera secara lahiriah, melainkan juga
kesejahteraan itu didapat dengan cara yang benar
sehingga diridhoi oleh Allah dan mendapat
pengampunan darinya. “Sangat tidak masuk akal jika
negara anda ingin menjadi seperti negara-negara maju
yang untuk menghidupi warganya harus dengan
menjarah dan merampok bangsa lain,” tegas Cak Nun
menjabarkan lebih jauh konsep Islam tentang negeri
yang thayyibah dan mendapat pengampunan dari Allah.
Sesudah mengajak masyarakat membenahi pemahaman
politik kenegaraan dan kebangsaan, kini para jamaah
diajak mengingat dan mensyukuri anugerah alam yang
gemah ripah loh jinawi ini dengan persembahan lagu
Bukan Lautan Hanya Kolam Susu yang dipopulerkan
oleh Koes Plus.
Sebagaimana diceritakan panitia acara, Masjid Al-Abror
yang megah ini terbangun dengan sangat gampang,
karena setiap kali ada kebutuhan, selalu berdatangan
bahan-bahan atau dana yang dibutuhkan. Butuh kayu,
tiba-tiba kayu datang. Masyarakat sangat ringan
mengeluarkan biaya untuk terbangun masjid komplek
Maulana Ishaq ini. “Sampeyan jangan lupa. Sampeyan
jangan takut. Karena ada Allah yang punya kekuasaan.
Allah punya aturan sendiri. Allah punya aulia dan
kekasihnya. Sampeyan harus mengerti bahwa Allah
berkuasa tidak saja dalam hal yang anda bisa lihat,
tetapi juga berkuasa pada hal-hal yang tak tampak oleh
mata anda. Maulana Ishaq adalah gurunya walisongo,
maka tempat ini penuh karomah. Jangan maksiat di
tempat ini,” tutur Cak Nun menekankan betapa besar
jasa Maulana Ishaq sehingga tempat ini beroleh
cipratan karomahnya.
Pukul 24.00 WIB, semua hadirin diajak berdiri, bareng-
bareng melantunkan Shalawat Indal Qiyam yang
dipimpin oleh Mas Zainul dan dilanjutkan dengan doa
oleh bapak Kiai, memuncaki maiyahan malam ini. Pak
Bupati dan seluruh rakyatnya yang hadir malam ini
bersama-sama mengamini setiap doa yang terucapkan,
demi terkabulnya harapan terciptanya Lamongan yang
“baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur”.
Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng, Paciran, 2
Nov 2014 ditulis oleh Helmi Mustofa dan dipublikasikan
oleh CakNun.com .