Sabtu, 29 November 2014

The politics of kissing hands

The Politics of Kissing Hands
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 30 April 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Seorang pembaca harian ini dari Bogor, yang
tulus hatinya dan tegak pikirannya, yang
bersahaja hidupnya maupun sangat serius
hajinya — sejak beberapa bulan yang lalu
menuntut saya agar menuliskan lewat rubrik ini
suatu masalah yang ia sodorkan kepada saya
melalui surat. Masalah yang baginya amat sangat
penting, dan alhamdulillah bagi saya juga amat
sangat penting.
Lebih alhamdulillah lagi
karena Rasulullah
Muhammad saw, juga
sangat concern terhadap
soal ini, terbukti lewat
banyaknya sabda beliau
yang khusus
mempermasalahkannya.
Juga bagi Allah swt sendiri
— sepengetahuan saya — soal ini juga termasuk
tema primer dan prinsipil yang harus diurus
oleh hamba-hambaNya secara murni dan
konsekuen.
Mustahil kalau bagi Allah masalah ini tergolong
sekunder. Hal mengenai siapa yang dihormati
dan siapa yang menghormati, telah ia
informasikan acuan dasar akhlaq atau
moralitasnya. Allah tidak memerintahkan agar
seorang bapak atau ibu merunduk di depan
anak-anaknya, melainkan anak-anak yang
dengan prinsip birrul walidain wajib
menghormati bapak-ibu mereka.
Bukan karena iseng-iseng saja Allah menciptakan
adegan di mana ia memerintahkan para malaikat
agar bersujud kepada Adam. Episode ini tidak
bisa diubah misalnya dengan meletakkan iblis
sebagai aktor yang disembah sementara Adam
mensujudinya. Menurut salah satu logika tafsir,
begitu satu malaikat menolak menyembah
Adam, turun derajat atau kualitas malaikat itu —
dari “cahaya” menjadi “api”. Ilmu bahasa
Alquran kemudian juga berkembang mengacu
pada kasus ini, di mana nur (cahaya) selalu
dipakai untuk menggambarkan kemuliaan di
akhirat, sementara nar (api, neraka) digunakan
sebagai simbul dari kehinaan dan kesengsaraan.
Padahal nur dan nar berasal dari komposisi
huruf dan rumpun kosakata yang sama.
Iblis ogah menyembah Adam karena alasan
feodalisme dan alasan penolakan terhadap
regenerasi. Alasan feodalnya, atau bahasa
simbolisasi Qur’aniyahnya bernama takabur
(gemedhe , sok lebih hebat), karena Iblis merasa
dirinya terbuat dari material atau dzat yang
lebih tinggi, halus, kualitatif, dan lebih mulia
dibanding Adam yang hanya sedikit lebih tinggi
dibanding keramik yang sama-sama terbuat dari
tanah liat. Padahal Allah sudah menetapkan
bahwa Adam itu ahsanu taqwin (sebaik-baik
ciptaan), karena manusia dianugerahi
“cakrawala” (kemungkinan), sementara malaikat
atau iblis hanya memiliki “tembok
statis” (kepastian) untuk baik atau kepastian
untuk buruk. Manusia yang mengolah dirinya
dalam kebenaran akan berkualitas mengungguli
malaikat, sementara manusia yang
memperosokkan diri dalam kesesatan akan
berderajat lebih rendah dibanding iblis dan
setan.
Sedangkan alasan “penolakan terhadap sunnah
regenerasi” — maksudnya adalah ketidaksediaan
iblis untuk menerima kepemimpinan manusia
atas alam semesta. Bagi iblis manusia itu “anak
kemarin sore” kok mau sok memimpin.
Emangnya dia sudah pernah ikut penataran P-4
atau memiliki sertifikat Pekan Kepemimpinan
HMI atau PMII! Kok berani-beraninya menjadi
khalifah! Apakah manusia sudah punya
pengalaman dan jam kerja kepemimpinan,
sehingga berani sombong mencalonkan diri atau
tenang-tenang saja ketika diputuskan oleh Allah
untuk menjadi pemimpin?
Demikianlah, karena hakekat eksistensi manusia
adalah “pengembaraan ke cakrawala
kemungkinan” — maka ia bisa tiba pada ruang,
waktu dan posisi untuk berhak dihormati atau
justru wajib menghormati.
Para nabi, rasul, dan auliya’ sukses
memposisikan diri untuk dihormati oleh para
malaikat, ditemani oleh makhluk-mahkluk
rohaniah itu ke manapun mereka pergi.
Sementara banyak manusia lain, misalnya
Gendheng Pamungkas, sengaja atau tak sengaja
melakukan mengembaraan untuk memposisikan
diri agar justru menghormati iblis. Bahkan kita
semua ini sesungguhnya diam-diam memiliki
dimensi-dimensi nilai empirik yang membuat
kita layak menghormati iblis — berkat suksesnya
rekruitmen dan mobilisasi mereka atas kita-kita
yang hina ini.
Kaum ulama juga terdiri atas manusia-manusia
biasa yang menempuh cakrawala. Mereka bisa
tiba di suatu maqam tinggi, suatu istiqamah,
suatu tempat berdiri nilai — yang membuat
mereka dihormati oleh ummatnya, dihormati
oleh umara, didatangi oleh pejabat gubernur,
menteri, dan presiden. Namun bisa juga kaum
ulama tiba pada suatu derajat yang tidak
mengandung kualitas istiqamah apa-apa, tidak
memiliki cahaya kemuliaan sebagai golongan
yang ‘alim — sehingga justru mereka dalam
tatanan struktural keduniaan justru berderajat
untuk selalu sowan kepada umara.
Lebih mengasyikkan lagi kerena sangat banyak
ulama, keulamaan, dan kelembagaan ulama yang
legitimasinya berasal dari umara. Derajat mereka
sangat rendah, dan tak berkurang
kerendahannya meskipun ditutup-tutupi dengan
seribu retorika dunia modern mengenai
partnership antara ulama-umara atau dengan
dalih-dalih dan alibi-alibi apapun.
Ulama-ulama jenis ini keadaannya sangat
mengenaskan hati. Mereka selalu mengikatkan
tangannya pada borgol kekuasaan.
Membungkukkan punggungnya di hadapan
penguasa dunia, bahkan tidak berkeberatan
sama sekali untuk mencium punggung tangan
sang penguasa. Di zaman terang dahulu kala
terdapat banyak cerita mengenai ‘kesombongan’
ulama yang tak mau dipanggil penguasa, karena
derajat ulama bukanlah ditimbali atau
didhawuhi oleh penguasa, melainkan dihormati
dan dibutuhkan oleh penguasa. Di zaman
bebendhu sekarang ini, banyak ulama bukan
saja akan sangat senang kalau dipanggil
menghadap ke istana penguasa, tapi bahkan
selalu mencari jalan, lobi dan channel
bagaimana bisa menghadap penguasa.
Sowan ulama kepada umara adalah sebuah
mainstream bahasa kolaborasi terhadap
kekuasaan. Sowan adalah pernyataan kesetiaan
politik ulama kepada umara. Ulama yang
membungkuk dan mencium tangan penguasa
adalah simbolisasi dari tidak hidupnya etos
zuhud di kalangan ulama.
Sowan mencerminkan ketergantungan kaum
ulama kepada kekuasaan, keamanan politik
praktis, dan mungkin juga jatah-jatah ekonomi
— meskipun sekedar arisan naik haji atau
dibikinkan satu unit gedung pesantren.
Yang paling salah dari episode-episode sejarah
semacam ini adalah Anda-anda yang pusing
kepala gara-gara tetap saja meyakini bahwa
mereka adalah ulama.
Pernah dimuat di Keranjang Sampah Harian
Umum Republika.