Sabtu, 29 November 2014

Caknun@cangkringan

Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng,
Cangkringan, 6 Nov 2014
6 hari yang lalu
Maiyahan malam ini yang berlangsung di lapangan
Srunen merupakan bentuk Syukuran dari Paguyuban
Tukang Coker dan Penambang Pasir di dusun Srunen,
Kalitengah Lor, dan Kalitengah Kidul. Mereka bersyukur
pasca erupsi Merapi 2010, kehidupan perekonomian
warga makin membaik.
Berangkat dari kegiatan ekonomi sebagai tukang coker
(meratakan pasir yang sudah dinaikkan ke atas truk)
dan penambang pasir, mereka punya modal untuk
mengembangkan sektor peternakan yakni ternak sapi
perah. Yang biasanya, sebelum erupsi 2010, warga
hanya memiliki 2-3 ekor sapi, kini mereka telah memiliki
lebih dari jumlah itu. “Kalau pakai ukuran yang
gampang, hampir 80 persen warga tiga dusun ini kini
punya mobil,” tutur Pak Bowo, ketua paguyuban dan
tokoh penggerak masyarakat di sini menggambarkan
kemajuan ekonomi di sini. Bahkan pesatnya sektor
peternakan ditandai dengan telah berdirinya Koperasi
Susu Sapi dan pada tahun 2014 ini koperasi tersebut
mendapat penghargaan dari Presiden sebagai koperasi
susu terbaik di Indonesia.
Kesejahteraan tidak boleh digunakan untuk hal-hal yang
buruk, jangan sampai ada hal-hal yang Allah tidak
mengampuni.
Perkembangan dan prestasi ekonomi ini tentunya tidak
dicapai dengan semudah membalikkan telapak tangan.
Diperlukan usaha, kegigihan, dan tekad yang membaja.
Lebih-lebih jika mengingat, seperti diceritakan Pak
Bowo, pada saat erupsi Merapi 2014 daerah ini tidak
tersentuh bantuan dari pemerintah, dan sejumlah
kendala-kendala infrastruktur yang ada.
Namun, di tengah menikmati meningkatnya
perekonomian ini, warga masyarakat di sini masih
menyimpan kegalauan dikarenakan terbitnya Perpres
yang meminta agar kawasan ini sebagai KRB (Kawasan
Rawan Bencana) untuk dikosongkan sampai tahun
2017. Tidak mudah mengimplementasikan hal ini,
terlebih bila tidak didukung oleh strategi pendekatan
yang baik di mana warga masyarakat di sini masih
menjunjung tinggi tradisi yang telah dijaga secara turun-
temurun, salah satunya adalah norma di mana orang
tua harus dihormati. Tetapi yang paling menggelisahkan
adalah ancaman atau potensi destruktif yang datang
dari luar berupa “penyakit masyarakat” apakah itu
perjudian, mabuk-mabukan, maupun bentuk lainnya.
Pengajian adalah ‘sesaji’ kepada Allah. Sesaji untuk
memohon kepada Allah agar anak-anak ini terhindar dan
tidak tersentuh oleh miras, oleh hal-hal yang buruk yang
mengancam masa depan mereka.
Sesuatu yang bukan mustahil terjadi di tengah
kehidupan ekonomi yang sangat mencukupi. “Kami ingin
kehidupan rohani kami yang kurang bisa diisi melalui
acara pada malam hari nanti,” kata Pak Bowo. Dusun
Srunen, Kalitengah Lor, dan Kalitengah Kidul, totalnya
dihuni oleh 700 Kepala Keluarga. Dari puncak Merapi
hanya berjarak kurang lebih 9 kilometer, dan lokasi
acara Maiyahan malam ini berjarak kurang lebih 0,5
kilometer dari Makam Almarhum Mbah Maridjan. Semua
tokoh masyarakat di sini, maupun dari desa sebelah
juga diundang. Dan semuanya sangat senang dengan
undangan ini.
Masyarakat juga sangat antusias dengan kehadiran Cak
Nun KiaiKanjeng. Seperti dikemukakan Pak Bowo acara
nanti akan di-shooting, dan semua warga sudah inden
untuk mendapatkan dvd-nya. Sebagian mereka masih
kuat ingatannya ketika tahun 2002 Cak Nun pernah
datang ke sini. “Ya kiai ki yo koyo Cak Nun iki, sing iso
ngemong wong, koyo ngopo wae wonge kuwi,” tutur Pak
Bowo menirukan pengakuan mereka.
Menjelang maghrib, lepas cek suara, KiaiKanjeng diajak
ke rumah transit dan di tempat ini mereka disuguh telo
goreng, getuk, tales goreng, teh manis, dan Susu Segar
Hadi yang merupakan produk unggulan dusun ini.
Pukul 20.30 ketika acara mulai dibuka oleh MC, orang-
orang terus berdatangan menuju lapangan Srunen
tempat dilaksanakannya Maiyahan malam ini.
Sementara di depan panggung, di tanah yang lapang
dan dikelilingi rerimbunan pohon, warga desa Glagaharjo
sudah memadat, duduk lesehan, diliputi hawa dingin,
yang tentunya sudah menjadi bagian hidup sehari-hari
mereka.
Pak Carik Glagaharjo tengah menyampaikan sambutan
dalam bahasa Jawa yang halus dan adiluhung.
Beberapa kali beliau menyebut, “Bapak Kiai Haji Emha
Ainun Nadjib utawi Cak Nun.”
Mengaji itu tidak harus dengan lagu Arab. Dengan lagu
Jawa boleh. Dengan gaya lagunya sendiri juga oke.
Begitu selesai sambutan Bu Yuni S. Rahayu Wakil
Bupati Sleman, MC mempersilakan Cak Nun dan
KiaiKanjeng untuk memulai pengajian. Sebelum musik
berbunyi, Cak Nun mengajak para sesepuh dan pemuka
masyarakat, Pak Carik, Pak Bowo, Pak Polisi dan lain-
lain, untuk naik ke panggung. Dan, Cak Nun segera
mengantarkan pertemuan ini dengan menjabarkan
ungkapan Jawa Gemah Ripah Loh Jinawi .
“Glagaharjo ini gemah ripah loh jinawi, tanahnya subur,
ternaknya maju. Tinggal bagaimana pemerintah khusus
mampu mengolahnya menjadi Toto Tentrem Kerto
Raharjo . Nah di dalam Islam, konsepnya lebih dari itu.
Kesejahteraan harus disertai pengampunan Allah (wa
robbun ghofur). Artinya, kesejahteraan tidak boleh
digunakan untuk hal-hal yang buruk, jangan sampai ada
hal-hal yang Allah tidak mengampuni,” tutur Cak Nun
seakan menyicil sedikit demi sedikit menuju salah satu
poin tema pengajian.
Pengajian di desa, apalagi di lereng gunung seperti di
Glagaharjo ini, selalu berbeda dengan pengajian di kota.
Jauh dari kebisingan atau kepadatan kota. Orang-orang
datang berjalan kaki, berombongan ramai-ramai, banyak
yang mengenakan sarung, menapaki jalan menurun atau
menanjak menuju lokasinya. Suasana ketenangan dan
kesejukan alam sangat terasa di sini. Sambutan tuan
rumah dengan segala suguhannya menggambarkan
keguyuban dan patembayatan.
Ada satu hal yang mencuri perhatian Cak Nun. Qari
yang membaca al-Quran tadi amat berbeda dengan
qari-qari yang biasanya bagus-bagus lagu dan suaranya
di setiap pengajian. Qari kita kali ini sangat biasa,
bahkan beberapa kali terdengar kurang akurat tajwid-
nya. Cak Nun mengingatkan bahwa ngaji atau membaca
al-Quran itu pertama-tama bukan urusan suaranya
bagus atau tidak, tapi hatinya ikhlas atau tidak. “Nah,
qari kita tadi terasa sekali hatinya ikhlas, walaupun
suaranya tidak sebagus qari-qari lain, dan itu membuat
dia terbebas dari kemungkinan sombong dan berasik
sendiri dengan suara indahnya pada saat mengaji. Dan
lagi, bahwa mengaji itu tidak harus dengan lagu Arab.
Dengan lagu Jawa boleh. Dengan gaya lagunya sendiri
juga oke,” tegas Cak Nun yang sangat familiar (disertai
pemetaan yang detail) dengan beragam qari dari dalam
maupun luar negeri, dari yang legendaris seperti Syaikh
Khusairi Mesir hingga qari kontemporer dari
mancanegara lainnya saat ini. Tak terkecuali qari-qari
yang dimiliki Indonesia yang jumlahnya sangat tak
terhitung.
Rombongan Tim SAR DIY yang dikomandani Mas
Brotoseno juga hadir malam ini. Daerah seperti
Glagaharjo adalah kawasan yang sudah mereka akrabi,
khususnya ketika terjadi erupsi Merapi. Masyarakat
sangat dekat dengan mereka yang melakukan tugas
utama search and rescue ini. Dan sebagaimana teman-
teman Jamaah Maiyah ketahui, antara Merapi, Tim SAR
DIY, dan Cak Nun merupakan sebuah “komposisi”
tersendiri. Melalui Cak Nun, teman-teman jamaah
Maiyah mempelajari secara sangat mendalam setiap
hal yang terkait dengan meletusnya Merapi. Bahkan
saat itu, Cak Nun memberikan edaran berupa panduan
pikiran, mental, dan wirid (doa) kepada para jamaah
dalam menghadapi situasi yang darurat kala itu.
Panduan ini merupakan wujud kepemimpinan spiritual
dan moral yang hari-hari itu justru kosong padahal amat
dibutuhkan masyarakat. Malam ini pun Cak Nun
mengingatkan kembali bahwa Merapi bukan meletus
(mledos, bencana) melainkan nduwe gawe , terbukti
sekarang kehidupan warga di sini makin membaik.
Semoga Allah menilai Anda yang tidak takut kepada
Merapi tetapi malah sangat dekat dengan Merapi
seperti khatam Al-Quran sehingga berhak mendapatkan
kasih sayang dari-Nya.
Bencana atau bukan bencana tidak bergantung pada
kejadian alamnya, melainkan pada kepentingan orang
yang melihat atau menyebutnya. Maka, menanggapi
perpres yang mengharuskan kawasan rawan bencana
untuk dikosongkan, Cak Nun mengemukakan beberapa
hal. Pertama, kalau warga di sini diminta pindah, apa
ada jaminan mereka terbebas dari risiko bencana dalam
bentuk lain semisal gempa bumi, tanah longsor, atau
yang lain. Apalagi kita hidup di atas kawasan yang
menurut sejumlah ahli adalah ring of fire. Jadi kalau
bicara rawan bencana, di mana pun bisa juga rawan
bencana. Bencana tidak hanya erupsi gunung berapi.
“Bukan berarti saya menentang Perpres tersebut, tetapi
kita harus menyeluruh dan bijaksana,” tegas Cak Nun,
sebagaimana juga tadi disampaikan dalam bincang-
bincang dengan para tuan rumah dan panitia di ruang
transit. Kedua, seharusnya sebelum Perpres ditetapkan
pemerintah berunding dengan warga di sini, karena
wargalah yang sehari-hari hidup di sini dan mengenal
lingkungan mereka. “Kerawanan-kerawanan yang ada di
sekitar kita, sebagaimana juga gemah ripah loh jinawi
yang dinikmati warga di sini, tidak boleh menjadikan
kita berhenti di situ, tetapi hendaknya membuat kita
dinamis dan memperoleh tantangan untuk berjuang dan
berserah kepada Allah Swt,” tegas Cak Nun.
Kemudian para jamaah diajak bareng-bareng
melantukan doa Khotmil Qur’an, yang biasanya dibaca
sesudah seseorang mengkhatamkan membaca Al-
Quran. Bagi Cak Nun seseorang yang sudah mencapai
tingkat kualitas hidup tertentu tak ubahnya orang yang
sudah khatam Al-Quran. “Saya doakan semoga Allah
menilai Anda yang tidak takut kepada Merapi tetapi
malah sangat dekat dengan Merapi seperti khatam Al-
Quran sehingga berhak mendapatkan kasih sayang dari-
Nya,” harap Cak Nun mengantarkan nomor Khatmil
Quran ini.
Sekarang anak-anak diajak naik ke panggung, dilatih
Cak Nun untuk melantunkan Alhamdulillah Was Syukru
Lillah, dan kemudian dengan diiringi musik KiaiKanjeng,
mereka diminta melantunkan bersama-sama. Orangtua
mereka, dan semua yang hadir di sini, menyaksikan
kekompakan mereka, dan menikmati suara kanak-kanak
mereka. Seorang ibu yang berdiri di kanan panggung
dan tengah menggendong bayinya menggerakkan
badannya sembari mengikuti lantunan Alhamdulillah was
Syukru Lillah dengan penuh kekhusyukan.
Dengan keikhlasan para warga datang jauh-jauh ke
tempat pengajian ini, apalagi sejauh ini mereka hidup
dalam kerukunan dan harmoni, Cak Nun berdoa semoga
Allah selalu memberi solusi ketika terjadi situasi-situasi
yang sulit. “Tau-tau anda punya ide, yang membuat
anda bisa keluar dari setiap kesulitan,” papar Cak Nun.
Selanjutnya Cak Nun mempersilakan para pemuka
masyarakat untuk menyampaikan pesan-pesan yang
penting kepada warga mengenai hal-hal yang perlu
dilakukan. Mulai apa yang perlu dilakukan saat
ancaman tiba, tentang menjaga diri dan memanfaatkan
ilmu titen dalam menghadapi keadaan, sampai soal
perlunya menjauhkan diri dari miras, di mana Bupati
Sleman telah membuat Perda yang mengaturnya.
Cak Nun sendiri merespons bahwa Sleman ini
merupakan kabupaten yang berbeda dengan kabupaten
lainnya di DIY di mana di dalamnya berkumpulnya
banyak orang yang ragam latar belakangnya, tetapi
prinsipnya adalah semakin tinggi ilmu seseorang,
semakin tinggi level sosial seseorang, sesungguhnya
yang dibutuhkan adalah kewaspadaan, maka Perda-
perda di Sleman hendaknya mencerminkan
kewaspadaan tersebut.
Tidak mudah meramu maiyahan atau acara di tempat
yang sangat dingin seperti ini, apalagi malam makin
larut, tetapi sejauh ini masyarakat yang sudah mengikuti
sejak pukul 20.00 hingga lewat pukul 23.10 ini masih
duduk dengan setia, bahkan kini anak-anak tadi diajak
nembang lagu Sluku-Sluku Bathok. Usai lagu ini, Cak
Nun meminta para pemuka yang duduk di panggung
untuk memangku anak-anak ini demi menunjukkan
bahwa generasi yang lebih tua sangat dekat generasi
yang di bawahnya. “Pengajian adalah ‘sesaji’ kepada
Allah. Sesaji untuk memohon kepada Allah agar anak-
anak ini terhindar dan tidak tersentuh oleh miras, oleh
hal-hal yang buruk yang mengancam masa depan
mereka. Dan kepada mereka yang masih terlibat miras,
judi, dan lain-lain, kita tidak membenci mereka, tetapi
berdoa agar Allah memberikan hidayah kepada mereka,
sehingga mereka yang paling jago judi, miras, dan lain-
lain, akan berubah paling getol dalam melakukan
kebaikan,” doa Cak Nun.
Kini Cak Nun meminta komandan SAR Brotoseno untuk
berbicara. Dengan suaranya yang lantang dan retorika
yang dinamis tetapi juga lucu yang mencerminkan
kedekatannya dengan warga, komandan SAR DIY ini
berpesan agar pengajian-pengajian seperti diperbanyak
di setiap RT RW dan desa, dengan keyakinan dan
harapan Merapi tidak lagi erupsi seperti itu. Mas
Brotoseno juga bercerita bagaimana saat evakuasi,
“Kami berangkat untuk evakuasi ditemani Cak Nun,
khususnya doa Cak Nun, dan alhamdulillah evakuasi
berjalan dengan baik.
Setelah itu Mas Brotoseno merespons mengenai KRB
(Kawasan Rawan Bencana). Menurut BPPTK dan
pemerintah, KRB adalah kawasan yang memiliki puncak
merapi. Pengertian ini tidak tepat menurutnya. Sebab
yang terjadi, daerah Kepuhrejo dan Glagaharjo yang
memiliki puncak Merapi ini, korban meninggalnya hanya
5 untuk Kepuharjo dan 34 untuk Glagaharjo, itu pun
meninggalnya tidak di kedua desa ini, melainkan di
daerah lain. Sementara desa-desa di bawahnya,
korbannya lebih banyak hingga ratusan orang. Jadi tidak
tepat kawasan yang paling dekat dengan puncak adalah
yang paling rawan. Lalu? Yang paling rawan adalah
desa yang kepala desanya dan perangkat-perangkatnya
tidak cerdas, tidak sigap, dan tidak dipercaya oleh
warganya. Dengan argumentasinya itu, Brotoseno juga
mendukung warga Glagaharjo menolak Perpres yang
mengharuskan dikosongkannya kawasan ini.
Selanjutnya Brotoseno berpesan kepada warga dan di
depan para pemuka masyarakat dan kapolsek, agar para
warga tidak menjual tanahnya kepada orang di luar
desa ini karena khawatir jika nanti dibangun
penginapan, sebab kawasan ini sangat indah. Kalau
dibangun penginapan, Brotoseno khawatir akan dampak
sosialnya. Kawasan ini harus dijaga keadaannya sebaik
dan sealami mungkin seperti adanya saat ini.
Usai pidato Brotoseno, Cak Nun segera meresponsnya.
Pada intinya, dari semua yang disampaikan Brotoseno
hanya satu yang kurang benar. Maksudnya baik, tapi
logikanya perlu dibenahi. Yakni bahwa dengan
pengajian diperbanyak, Merapi tidak akan meletus lagi.
Yang benar adalah Merapi sunnatullahnya adalah
meletus dan terserah Allah yang memiliki Merapi akan
kapan dan seberapa memuntahkan isi merapi. Tetapi
Allah sudah mengajarkan dalam ayat-Nya, “Wa ma
romaita idz romaita walakinnallaha roma.” Ketika
merapi mengeluarkan isinya, sampainya ke kita
bukanlah bencana melainkan menjelma berkah. Kalau
merapi tak meletus, bagaimana kita dapat berkah
berupa pasirnya. “Jadi, wiridkan Wa romaita idz romaita
walakinnallaha roma 5 kali sebelum tidur dan 5 kali
begitu anda bangun tidur,” pesan Cak Nun.
Menjelang pukul 24.00 acara segera diakhiri. Semua
hadirin berdiri, mengamini doa yang dipimpin oleh Pak
Carik dan mengamini pula kandungan doa saat Cak Nun
melantunkan surat an-Nur ayat 35.
Selesai doa, para jamaah pulang ke rumah masing-
masing, membawa kegembiraan kebersamaan dengan
para pemuka masyarakat, menikmati kemesraan
komandan SAR kepada Cak Nun yang tak lain adalah
Ketua Dewan Syuro SAR DIY itu sendiri, dan yang
terpenting para warga memperoleh wacana-wacana
yang menyehatkan mengenai kehidupan mereka di
lereng Merapi ini.
Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng, Cangkringan,
6 Nov 2014 ditulis oleh Helmi Mustofa dan
dipublikasikan oleh CakNun.com .