Sabtu, 29 November 2014

Garam kok asin

Garam Kok Asin
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 12 November 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Seorang tokoh senirupa mengemukakan
kepadaku bahwa pesawat televisi adalah benda
magis. Sebutan kotak ajaib baginya bukan main-
main, sebab bagaimana mungkin dari kaca itu
muncul gambar.
Aku gemar pada getaran
dan selalu terangsang oleh
segala sesuatu yang
mungkin bisa membuatku
tergetar. Hal televisi itu
memang benar merupakan
suatu pengalaman magis
bagi sang senirupawan
(dunia subjektif), tapi
(dunia obyektif) ia bisa dibongkar oleh
penjelasan ‘ilmu pengetahuan biasa’ yang
membuktikan kepadanya bahwa televisi itu
bukan peristiwa magis.
Demikian juga ketika seorang tokoh sastrawan
merasa takjub menyaksikan sepeda motor dislah
lantas berbunyi menderu-deru sambil
mengeluarkan asap. Ia mengemukakan bahwa itu
mistis. Penjelasan ‘ilmu pengetahuan biasa’ akan
menggugurkannya.
Seorang piawi lain memberitahukan bahwa
contoh peristiwa magis misalnya ialah tenung
dan santet. Bagaimana mungkin engkau
memasukkan keranjang ke dalam perut saingan
dagangmu, menyusupkan sekeping emas ke pipi
agar orang jatuh cinta, atau membentengi
gawang dengan tembok magis agar tak terlalu
banyak kemasukan gol.
Hal-hal semacam itu memang bisa
menggetarkan, sampai pada seseorang
menggengam pengertian bahwa itu bukan magis
karena bisa diurai juga oleh ‘ilmu pengetahuan
bisa’, meskipun belum pernah diartikulir oleh
wilayah keilmuan kita. Seperti juga kemenyan
dipilih untuk mengundang ‘rekan-rekan dari
dunia lain’. Seperti juga ada ramuan daun dan
akar-akaran tertentu yang letak kodratnya
bersentuhan dengan dimensi jin. Sifat kodrati
dedaunan dan anggota alam lain ini yang
membikin seorang Shaman Indian mengalami
proses dan penggunaan alat yang berbeda
dibanding seorang dukun dayak ketika
melangsungkan hubungan diplomatik dengan
‘masyarakat luar dimensi manusia’.
Aku tidak tahu itu semua. Aku tidak mampu
menjelaskan rangka teknologis pesawat televisi,
seperti aku juga nggak becus menerangkan kata
orang hantu-hantu menyukai pohon-pohon
tertentu untuk domilisinya, atau kenapa kata
orang binatang lebih peka terhadap adanya
hantu dibanding manusia.
Aku tidak tahu itu semua, dan aku tidak tergetar
oleh itu semua. Sampai akhirnya seorang yang
lain menanyakan kenapa gula itu manis dan
kenapa garam itu asin.
Ini menggetarkan bukan karena pertanyaan ini
tergolong sebagai pertanyaan filosofis,
melainkan karena ia merangsangku untuk
membongkar kembali sikap, kesadaran dan
imanku ketika sarapan, mengunyah tahu tempe,
serta ketika memeras keringat bagaimana
memperoleh dua tiga potong tahu tempe di
tengah kehidupan yang sudah begini megah dan
pintar.
Dalam perjalanan pembongkaran itu aku
bertemu tidak saja dengan ide penciptaan
makanan tahu, dengan para tukang bikin tahu
yang menginjak-injak bnatalan kristal kedelai,
tentang petani garam yang tersingkir di Madura,
tentang tebu tanam paksa jauh sesudah jajahan
Belanda — tapi juga dengan prototanisme dan
kapitalisme, dengan marxisme kuno maupun
marxisme mode baru, yang semuanya memang
tidak pernah sempat bertanya kenapa gula itu
manis dan kenapa garam itu asin.
Pertemuan dengan hal-hal besar itu juga tidak
menggetarkan, sebab ‘nafsu’ku kemudian – yang
menggetarkan – hanyalah bagaimana
memperbanyak orang gila yang bersedia
menanyakan kepada dirinya sendiri kenapa gula
manis kenapa garam asin.
Kata dosen filsafat, itu immanent. Kata Ustadz
itu termasuk qadla dan qadar. Kalau engkau
bertanya kepada pelawak ludruk ia akan
menjawab – “Lha kalau yang manis hanya
keringat di ketiakmu, siapa mau minum teh
manis?” Persis seperti ketika mereka menjawab
kenapa Tuhan meletakkan hidung di bawah mata
dan di atas mulut – “Sebab kalau ditaruh di
bawah pinggang sebelah belakang, ‘kan…..”
Adapun, kata sahibul hikayat, tak hanya gula
yang manis, tapi gula pasti manis. Tak hanya
garam yang asin, tapi garam pasti asin.
Dan sastrawan kita itu menarik napas dalam-
dalam – “Itu mistis” katanya, “Gula itu kok
manis, ya mbok sekali-sekali gula itu asin, atau
garam yang manis…”
Bisa saja, Mas. Kita bikin konvensi baru manis
kita sebut asin, asin kita sebut manis. Atau gula
kita sebut garam, garam kita sebut gula. Itu kan
cuma soal nomenklatuur . Kata seni bisa kita ganti
daki , kata intelek kita ganti panu.
Tapi yang ini tetap terasa begini, dan yang itu
tetap terasa begitu. Adakah ini awal dari sejarah
alam semesta? Atau kah ada sesuatu yang lebih
konkret, lebih wenang, di belakangnya?
Sebelumnya?
Ilmu pengetahuan mandeg di situ. Karena ilmu
pengetahuan hanya menyelidiki. Menyelidiki,
dengan jarak. Menyelidiki garam, menyelidiki
asin. Ilmu pengetahuan tidak mengalami. Ilmu
pengetahuan tidak menyatukan diri dengan yang
di belakang garam dan di belakang asin.
Asin tidak bisa di- report, diinformasikan,
diartikulir, diterjemahkan. Engkau tidak bisa
memberitahukan kepada seseorang yang
lidahnya hampa dari radar rasa bagaimana rasa
asin. Ia harus mengalaminya sendiri.
Demikian pun Allah. Demikian pun Allah
Seorang Pendeta menodongku dengan
mengemukakan – “Kita terus terang saja, bahwa
dalam agama apa pun wahyu itu tidak ada.
Qur’an itu karangan Muhammad, meskipun aku
memaklumimu bahwa untuk konteks
penggembalaan umat engkau mengatakan yang
berbeda”.
Tentu saja aku tidak bersedia menyeret diri
untuk memperdebatkan dengannya pembuktian-
pembuktian sejarah wahyu, dengan kecanggihan
ilmiah yang paling mutakhir pun Aku tidak
bersedia membuang waktu memperdebatkan
rasa asin dengan seseorang yang tidak
mengalami asin di lidahnya