Sabtu, 29 November 2014

Caknun@semarang


Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng,
Semarang, 30 Okt 2014
10 hari yang lalu
Tanpa jeda sesudah rangkaian acara di Solo, Kediri, dan
Malang, malam ini Cak Nun KiaiKanjeng kembali
memenuhi undangan masyarakat. Kali ini BMPD (Badan
Musyawarah Perbankan Daerah) Semarang mengundang
Cak Nun KiaiKanjeng dalam rangka menyambut tahun
baru 1 Muharram 1436 H. Acara yang berlangsung di
Gedung Bank Indonesia Semarang ini mengambil tema
khasanah pemimpin.
Usai nomor pembuka dari KiaiKanjeng, dengan ditemani
dua narasumber dari BMPD dan Bank Indonesia, Cak
Nun langsung naik panggung, dan segera merespons
tema acara yang dihadiri pelbagai kalangan perbankan
di Semarang atau Jawa Tengah dan tamu undangan
lainnya dengan mengapresiasi, “Di dunia tidak ada bank
yang bikin acara Muharraman, jadi malam ini sangat
bagus acara ini.” Kemudian Cak Nun mengungkapkan,
“Beberapa acara terakhir saya bersama KiaiKanjeng
adalah dalam rangka 1 Suro atau Suronan, belum lagi
yang besok dan lusa. Jadi kalau anda hanya satu kali
memperingati 1 Muharram, maka saya bisa 12 kali,”
disambut tawa para hadirin.
Berbeda dengan acara-acara sebelumnya yang digelar
di lapangan terbuka, baik di kampung atau di desa-desa,
malam ini acara berlangsung di gedung BI lantai 7 di
ruangan auditorium yang penuh AC, semua hadirin
duduk lesehan di atas karpet hijau. Tetapi, di jenis
tempat seperti apapun beracara, dan dengan latar
belakang sosial apapun audiens yang dihadapi,
KiaiKanjeng tetap sama, yakni memberikan pelayanan
dan persembahan terbaik buat masyarakat. Bahkan
perjalanan-perjalanan KiaiKanjeng itu disyukuri sebagai
suatu pengembaraan dan persentuhan sosiologis yang
jarang bahkan tidak dialami kelompok musik manapun.
Bahkan Cak Nun sendiri jauh lebih padat jadwalnya.
Pagi tadi baru saja tiba dari Denpasar menjenguk
Penyair Umbu Landu Paranggi, dan siang tadi langsung
bergerak ke Semarang.
Pak Miyono pejabat BI, menyampaikan bahwa acara
Muharraman ini dimaksudkan agar semangat hijrah dan
pembaruan di masyarakat perbankan kuat ditanamkan,
apalagi saat ini BMPD sedang memperkuat dan
mengembangkan ekonomi syariah atau ekonomi Islam.
Cak Nun lantas menggoda, “Berarti ini sekarang
ekonominya bukan Islam atau Syariah ya sehingga perlu
dihijrahkan ke Syariah atau Islam…,” disambut senyum-
senyum para hadirin. Lebih jauh Cak Nun menjelaskan,
“Nggak papa sebenarnya ini kan ada kaitannya dengan
sekularisme. Dalam beberapa segi sekular itu nggak
papa, karena berisi usaha untuk memilah-milah, ada
bagian ini, ada bagian itu. Tetapi, kalau dilihat dari segi
dan konteks lain, sekular bisa lebih bahaya dari kafir.
Lebih-lebih jika dilihat sekarang ini sedang marak
kesempitan-kesempitan berpikir yang outputnya adalah
gampang mengatakan ini haram, ini nggak boleh, ini
sesat, sementara yang lain tidak diharamkan,” tegas
Cak Nun.
Karena waktu yang tersedia tidak lama, berbeda dengan
maiyahan-maiyahan bersama masyarakat luas yang
bisa sampai jam 1 malam bahkan lebih dari itu, maka
Cak Nun memberikan kunci-kunci dasar saja dalam
merespons apa yang disampaikan para narasumber.
Salah satunya tentang Hijrah. Inti utamanya adalah
hijrah berangkat bukan dari sosok, melainkan nilai.
Yakni nilai yang diusung oleh Kanjeng Nabi melalui
peristiwa hijrah tersebut. Ini berbeda dengan
kecenderungan di dunia politik, di mana orang ngegenk
ke sana atau ke sini tidak karena nilai, tetapi karena
mengincar kemungkinan peluang kekuasaan.
Ngegenknya pun bisa tiba-tiba berpindak ke kelompok
lain, kalau tiba-tiba kelompok lainnya tersebut
membawa keuntungan politik.
Walaupun acara ini tidak secara khusus ditujukan untuk
tema perbankan syariah, karena sebenarnya merupakan
puzling silaturahmi pelbagai elemen perbankan, Cak
Nun berpesan, “Saya tidak tahu tentang perbankan,
tetapi kalau mau sungguh-sungguh, bank syariah
sebaiknya direview dan direevaluasi lagi, sebab saya ini
keranjang sampah keluhan orang tentang bank syariah.
Itu berarti ada hal-hal yang harus direevaluasi. Saya
dengar bank syariah yang benar malah di Hong Kong,
dan orang-orang Arab menyimpan uangnya di Bank
Syariah di Amerika. Tolong BI verifikasi kembali secara
fakta dan juga prinsip-prinsip di baliknya. Maka Pak
Syafi’i Antonio perlu diajak diskusi terus menerus,
karena beliau salah satu yang menggalakkan ekonomi
Islam.”
Dengan tema Hasanah Pemimpin ini, seperti
disampaikan Pak Bahauddin, Kasi Keagamaan BMPD
Jateng, BMPD ingin mengajak untuk melahirkan
pemimpin yang menebarkan aura kebaikan. Khususnya
di lingkungan perbankan. Pernyataan ringkas ini
kemudian menjadi pintu masuk bagi Cak Nun untuk
menjelaskan butir-butir pokok mengenai kepemimpinan.
Di antaranya, berbicara tentang kebaikan harus
harmonis dan dialektis dengan keindahan dan
kebenaran. Kadangkala kebaikan bagi satu pihak, tetapi
ternyata madhorot bagi pihak lain. Jadi, harus seimbang
di antara ketiganya, sehingga sesedikit mungkin
madhorotnya bagi orang lain.
Suasana semakin kental dengan pencarian ilmu.
Beberapa hadirin merapat ke depan, untuk menyimak
uraian Cak Nun yang padat ilmu tetapi juga penuh
kesegaran yang menerbitkan kegembiraan bagi hadirin.
Cak Nun makin lengkap memaparkan dimensi-dimensi
kepemimpinan. Beliau menjelaskan bahwa pemimpin itu
sesuatu yang abstrak, yang tidak sama dan sebangun
dengan direktur, ketua, dan jabatan-jabatan lain.
“Analoginya, kapten tim sepakbola itu kan nggak mesti
pemain yang paling bagus mainnya. Conductor
kelompok musik itu bisa jadi orang yang tidak bisa
memainkan alat musik apapun, itu sebabnya, waktu
pentas di Napoli, maaf, saya disebut dan dipanggil
sebagai maestro karena saya yang mengaransir lagu
KiaiKanjeng waktu itu,” tegas Cak Nun.
Dimensi lain dari kepemimpinan adalah sabda Nabi
Kullukum ro’in wa kullu ro’in mas’ulun ‘an roiyatihi
(kalian semua adalah pemimpin, dan setiap pemimpin
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya).
Dengan landasan ini Cak Nun menegaskan bahwa tugas
pemimpin adalah menumbuhkan kepemimpinan di mana
yang dipimpin adalah juga pemimpin atau punya
kepemimpinan atas dirinya sendiri.
Terlihat sekali insan-insan perbankan yang merupakan
salah satu representasi kaum profesional di dalam
masyarakat kita ini sangat serius menyimak uraian
ulang-alik siklikal Cak Nun mengenai kepemimpinan.
“Maka kepemimpinan ini bukan soal perbankan saja,
melainkan universal. Dan kalau anda sudah universal,
maka perbankannya pasti masuk.”
Pada intinya Cak Nun menegaskan bahwa kita bisa
mengambil ilmu dan filosofi kepemimpinan dari
manapun, dari agama, dari kitab-kitab suci, dari
khasanah nenek-moyang kita. Tidak ada yang
diciptakan nenek moyang kita yang tidak bermuatan
ajaran tentang kepemimpinan. Misalnya lagu Gundul-
Gundul Pacul. Jelas sekali filosofinya, bahwa rakyat
(yang disimbolkan oleh wakul) posisinya ada di atas
pemimpin, yang menyungginya.
Sementara itu dari kekayaan Islam, kita bisa belajar
dari konsep Amirul Mukminin (pemimpinnya orang-orang
beriman), khilafah Islamiyah, dan lain-lain. “Sayangnya,
kita selama ini tidak hati-hati bikin dan menerapkan
nama-nama. Istilah khilafah Islamiyah sudah penuh
stigma. Apalagi menurut saya khalifah itu adalah titah/
tugas setiap orang. Tidak bisa dan tidak boleh diklaim
sebagai milik satu kelompok orang saja.”
Di bagian akhir, salah seorang pimpinan di lingkungan
BMPD diminta Cak Nun menyampaikan pesan. Bapak
yang mewakili BMPD ini mengatakan bahwa dengan
acara Muharraman malam ini, yang merupakan acara
penuh rahmat dan penuh pencerahan, dirinya dan
lingkungan perbankan ingin mengajak semua yang hadir
untuk berpindah dan bergerak dari yang semula buruk
dan jauh dari Allah untuk menjadi baik dan dekat
dengan Allah, secara pribadi. Sementara itu, secara
sistem, perbankan bermaksud untuk bisa memberikan
manfaat dan warisan yang baik bagi masyarakat.
Menanggapi hal ini, Cak Nun menggarisbawahi dua hal.
Pertama, kalau yang dituju adalah manfaat, maka itu
dimensinya bukan saja horisontal sesama manusia,
melainkan juga vertikal, karena Nabi menegaskan
Khoirunnasi anfa’uhum linnas (Sebaik-baik manusia
adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya).
Kedua, ini berarti sebuah perjalanan menuju Allah.
Dalam hal ini perlu diingat firman Allah: wabtaghi fiima
aatakallahud daarol akhirota wala tansa nashiibaka
minad dunya. Ayat ini memberikan pelajaran tentang
mana yang diprimerkan dan mana yang disekunderkan.
Dalam ayat ini, diperoleh ilmu bahwa yang primer
adalah berjalan menuju Allah (darul Akhiroh). Tetapi,
Allah berpesan, dalam perjuangan menuju akhirat,
janganlah lupa nasibmu di dunia. Jangan lupa nasib
karyawan, keluarga, dan bankmu. Ini kontras dengan
pesan orang tua zaman sekarang “kalau bekerja jangan
lupa shalat”, jadi shalatnya berposisi sekadar “jangan
lupa”.
Kemudian Cak Nun menandaskan, “Nah, seringkali kita
orang-orang modern mengira kalau kita mencari Allah
lantas kita tidak kebagian dunia. Padahal, tidak
demikian. Sebab Allah yang memiliki dunia.”
Terakhir, Cak Nun mengingatkan bahwa manusia itu
makhluk yang kondusif, artinya kalau kita sibuk dengan
berpikir bagaimana melayani orang dengan sebaik-
baiknya, membuat orang bersyukur atas keberadaan
kita, maka uang atau rezeki akan berebut mendatangi
kita.
Acara dipuncaki dengan persembahan nomor medlei
Nusantara oleh KiaiKanjeng di mana beberapa pentolan
BMPD diminta untuk ikut serta bernyanyi. Para hadirin
yang sebagian mengenakan peci atau kopiah, dan
mayoritas mengenakan baju koko, mereka pasti
menyiapkan diri untuk mengikuti sebuah pengajian,
tetapi yang mereka peroleh ternyata lebih dari sekadar
pengajian pada umumnya. Dengan Ngaji Bareng Cak
Nun dan KiaiKanjeng malam ini mereka diajak mencicipi
slulup ke semesta ilmu yang komprehensif, keasyikan
yang bermartabat, dan kenikmatan yang menyehatkan
yang mungkin tidak mereka peroleh pada kesempatan-
kesempatan lain.
Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng, Semarang, 30
Okt 2014 ditulis oleh Helmi Mustofa dan dipublikasikan
oleh CakNun.com .



Catatan Prjalanan Cak Nun KiaiKanjeng,semarang, 
31 Okt 2014
10 hari yang lalu
Acara Ngaji Bareng Cak Nun dan Kiaikanjeng malam ini
bertempat di depan Masjid Al-Hikmah komplek
perumahan Aryamukti Barat IV Pedurungan Semarang.
Warga masyarakat perumahan yang berjumlah sekitar
700 KK ini sangat ragam dan heterogen. Mayoritas
muslim, yang juga beragam background aliran-alirannya,
termasuk yang aliran ekslusif. Ada juga warga Cina dan
nonmuslim. Latar belakang profesinya pun bermacam,
ada yang berpendidikan tinggi, ada yang bekerja di
Militer, tapi juga ada yang bekerja sebagai buruh.
Mereka semua akan hadir di acara spesial malam ini.
Bahkan masyarakat Desa Pedurungan Lor yang sudah
bersatu dengan warga perumahan juga akan datang.
Acara menyambut datangnya tahun Baru Muharram ini
merupakan yang ketiga. Sore tadi, telah digelar parade
drumband dari Mranggen dan Meteseh. Malam ini juga
ada diberikan santunan kepada 18 anak yatim piatu
serta fakir miskin.
Melalui acara malam ini, warga masyarakat ingin ngaji
bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng, khususnya dalam
upaya bagaimana menjaga ukhuwah, silaturahmi,
keguyuban, dan kebersamaan. Selain itu, panitia juga
berharap Cak Nun dapat memberikan wawasan
bagaimana agar masjid bisa ramai dan regeng, yakni
masjid di mana setiap muslim apapun aliran dan
madzhabnya bisa memiliki masjid secara bersama-sama
dalam roso andarbeni nduweni masjid.
Kita terlebih dahulu menyapa Allah dan kekasih-Nya
Muhammad Saw. Apapun yang Anda lakukan haruslah
Allah audiens utamanya.
Keseluruhan harapan dan tematik tersebut kiranya
dapat diletakkan dalam bingkai menyambut tahun Baru
Hijriah 1 Muharram 1436 H di mana Cak Nun juga
dimohon memberikan hikmah-hikmahnya. Acara malam
ini diselenggarakan oleh Yayasan Dian Insani yang
merupakan wadah masyarakat perumahan Aryamukti ini
menyelenggarakan wujud pengabdian dan pelayanan
sosial secara mandiri. Program kegiatan mereka adalah
pendidikan TPQ (berpusat di masjid Al-Hikmah),
menemani dan melayani masyarakat manula dan janda
(berpusat di masjid Al-Furqon), dan pembinaan anak-
anak asuh (berpusat di masjid At-Taubah).
Bertempat di halaman depan Masjid Al-Hikmah, dengan
cuaca langit yang cerah, malam ini masyarakat
perumahan Aryamukti Barat IV dan desa Pedurungan
Lor Semarang berkumpul semuanya dalam rangka
mengikuti Ngaji Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng.
Begitu tiba di lokasi, Cak Nun segera disambut penuh
penghormatan dari para panitia dan pemuka warga
setempat. Sembari bergerak menuju rumah tempat
transit dengan dikawal beberapa banser, orang-orang
menyapa dan berebut menyalami beliau. Juru foto
sangat sibuk berkali-kali mengabadikan sosok Cak Nun
dari berbagai angle. Di ruang tamu itu Cak Nun
beramah tamah, dan kemudian briefing dengan
KiaiKanjeng.
Dari ruang transit terdengar MC segera mempersilakan
Cak Nun dan KiaiKanjeng untuk naik ke panggung.
Seperti pada maiyahan-maiyahan sebelumnya, Cak Nun
mempersilakan terlebih KiaiKanjeng membawakan satu
nomor, yaitu Bisy-Syahri yang dilantunkan oleh Mas
Islamiyanto.
Pemilihan nomor ini bukan tanpa pertimbangan.
Sebelum KiaiKanjeng, telah tampil sebuah grup hadroh
bernama Al-Barado yang membawakan beberapa nomor
lagu Timur Tengah Balasikan, dan juga sempat
membawakan lagu “Sukaro” Ummi Kulsum. Cak Nun
memuji dan mengapresiasi kualitas musik maupun vokal
dari grup ini. Pemilihan atas menu atau nomor-nomor
apa yang akan ditampilkan oleh KiaiKanjeng, terutama
nomor-nomor awal, selalu berangkat dari pembacaan
atas situasi dan atmosfer saat itu di lokasi, di
panggung, dan suasana jamaah secara keseluruhan,
termasuk grup Al-Barabo yang telah tampil sebelumnya.
Di sinilah KiaiKanjeng selalu diuji kesigapan,
kecerdasan, dan ketepatan pilihannya, dan di sini
pulalah peran Cak Nun sangat besar. Cak Nun
membawa hadirin terlebih dahulu untuk khusyuk dan
hikmat kepada Allah dan Rasulullah. Nomor Bis-Syahri
menjadi jalan menuju ke sana. Musik balasikan Timur
Tengahan yang penuh pukulan dan intensi yang padat
menciptakan suasana yang ramai. KiaiKanjeng
mengalihkan suasana menuju kekhusyukan, sesuatu
yang ternyata sangat bagus dan diperlukan untuk
mengantar pada tahapan suasana dialogis selanjutnya
dengan jamaah. Para jamaah diajak Cak Nun untuk
bersama-sama melantunkan surat al-Fatihah, Ayat
Kursi, dan dilanjutkan dengan beberapa bagian awal
Maulid Simtut-duror beserta shalawat Sidnan Nabi dan
Sholli wa Sallimda. “Kita terlebih dahulu menyapa Allah
dan kekasih-Nya Muhammad Saw. Apapun yang Anda
lakukan haruslah Allah audiens utamanya,” tegas Cak
Nun.
Seraya mengantarkan kepada wirid awal ini, Cak Nun
menjelaskan sejumlah hal mendasar dalam memahami
agama. Bahwa ada dua hal dalam agama: satu, ada
yang dari Allah untuk kita, dan kedua, ada yang dari kita
untuk Allah. Yakni ibadah mahdhoh dan ibadah
muamalah. Dasar inilah yang diperlukan untuk menilai
dan menetapkan apakah kenduren, shalawatan, dan
tradisi-tradisi lain itu boleh atau tidak, dan di mana
letaknya dalam konfigurasi pemahaman hukum Islam.
Sekitar 10-an menit, semua jamaah–bapak-bapak, ibu-
ibu, remaja-remaja, dan anak-anak, diajak berkonsentasi
berdzikir. Mentransisi situasi menuju lebih dekat kepada
Allah dan Rasulullah, sekaligus dekat satu sama lain di
antara semua yang hadir malam ini, antara yang di
panggung dan yang duduk lesehan memadati pelataran
Masjid ini. Kebetulan panggung tidak terbuat dari kayu
atau level, melainkan langsung lantai konblok halaman
masjid yang jaraknya dengan audiens hanyalah bidang
landai dari lantai tersebut sekira 19-an derajat sehingga
nyaris tanpa jarak tinggi-rendah dengan jamaah.
Sesudah jamaah khusyuk dan terfokus, nomor Sholli wa
sallimda berakhir, Cak Nun mulai menurunkan
konsentrasi, musik berhenti dan dialog dengan jamaah
dimulai. Cak Nun meminta salah seorang anak untuk
maju. Ilham nama anak kelas 3 SD itu diinterview dan
diajak ngobrol oleh Cak Nun tentang ngajinya, digali
pengetahuannya tentang nama-nama hari, nama bulan
dalam tahun Hijriah, dan ternyata Ilham hapal nama-
nama bulan tersebut, yang tak semua orang dewasa
selalu ingat. Puncaknya ternyata Ilham bisa nyanyi.
Sebuah nomor dibawakannya dengan gayanya yang
lepas, lugas, dan penuh percaya diri. Sekarang, dia
sedang kolaborasi dengan Doni KiaiKanjeng
membawakan lagu ABCD. Sangat asyik, mesra, penuh
cinta kepada anak-anak merupakan atmosfer yang
kemudian tercipta.
Semua hadirin tertuju perhatiannya ke panggung, baik
yang berdiri di sisi panggung dan di balik pagar, maupun
yang tidak kebagian tempat duduk lesehan. Panggung
sendiri terlihat sangat lapang dan tinggi atapnya seakan
menjelma wadah yang siap menampung berkah ilmu,
keindahan, dan kebaikan yang dipancarkan Allah melalui
Maiyahan malam ini.
Cak Nun terus memberi ruang dan mengolah anak-anak,
meminta mereka membawakan satu lagi yang
dikuasainya, dan sekarang diiringi musik KiaiKanjeng
mereka diajak nyanyi bareng-bareng lagu Gundul-Gundul
Pacul.
Dari lagu ini, Cak Nun kembali menguraikan bagaimana
memahami hakikat hukum di dalam diri manusia. Hidup
bukanlah pisau yang pasti fiks hukumnya sejak awal,
tetapi akan bergantung akan dipakai apa pisau itu, dan
dari situlah hukum muncul. “Dan aslinya, hukum itu ada
di dalam dirimu. Kemudian karena orang tidak
menggunakan akal sehatnya, maka pada tingkat
selanjutnya agama datang dengan memberikan batasan
dan pagar,” kata Cak Nun. Lebih jauh beliau
menjelaskan, memang ada hal-hal yang akal manusia
tidak mampu menjangkau, dan disitulah kita
membutuhkan informasi Allah melalui agama. Tetapi
hal-hal dasar dan sederhana seperti ibadah puasa
misalnya haruslah dipahami tidak saja dalam konteks
perintah, tetapi perlu dikaitkan dengan pemahaman
akan kecenderungan manusia untuk makan melulu,
maka Allah perintahkan untuk puasa. Memahami hukum
secara dialektis.
Cak Nun memberi ruang dan mengolah anak-anak,
meminta mereka membawakan satu lagu yang
dikuasainya.
Demikianlah selanjutnya Cak Nun menguraikan posisi
dan konfigurasi agama, peradaban, kebudayaan, dan
kesenian dalam cara yang sederhana dan dengan
contoh yang hidup. “Maka, siapa yang mengharamkan
musik, dia berhadapan dengan Allah,” tegas Cak Nun
setelah memaparkan bahwa musik itu terdiri atas bunyi,
nada, dan irama, dan ketiganya mustahil kita terhindar
darinya. Jangankan bermain musik, berbicara saja ada
nada dan iramanya. Jadi tidak masuk akal bahwa musik
itu pada dasarnya haram atau tidak boleh. Yang tidak
boleh atau haram, atau tidak pantas, adalah soal kapan,
bagaimana, dan di mana musik itu dibawakan. Asalkan
dibawakan pada saat yang tepat, dengan cara yang
menjaga syariat dan martabat, dan di tempat yang
diperbolehkan, maka musik bukan saja tidak boleh, tapi
baik dan memberikan manfaat yang baik pula bagi
manusia. Kanjeng Nabi pun pernah berjalan dan
mendengarkan suara seseorang memainkan suling.
Sesaat suara itu hilang. Rupanya pemain suling ini
khawatir Nabi tak berkenan. Nabi lantas mencari-cari,
“di mana suara seruling tadi, aku ingin mendengar
suara Kakekku Nabi Daud lewat seruling yang
ditiupkannya.”
Setelah ini, KiaiKanjeng menyuguhkan Gundul-Gundul
Pacul yang telah diaransemen secara khusus sehingga
sangat kuat ekspos musikalitasnya bahkan pada setiap
alat musiknya. Gundul-Gundul Pacul ini pula yang
dibawa KiaiKanjeng ketika perjalanan tur luar negeri di
Finlandia dan disuguhkan kepada dunia internasional.
Sebuah upaya bukan saja nguri-nguri kabudayaan, tapi
mendekatkan publik antarbangsa untuk mencicipi
kayanya musik dan filosofi bangsa Indonesia.
Sudah menjelang pukul 23.00 WIB, jamaah makin
terserap dalam asyiknya kebersamaan dan ngaji di
malam ini. Cak Nun makin dalam menuangkan
pembabaran. Kali ini menukik ke soal sikap dan
pemikiran sekular. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya
dan susah menghadapinya dibanding orang kafir atau
orang musyrik. Sebab, sekularisme berangkat dari
pemikiran fragmentaristik, sedangkan agama mengajak
pada pendekatan yang bulatan dan terkait satu sama
lain.
Karena itu, Cak Nun mengajak semua hadirin untuk
memiliki kritisisme di tengah parahnya sekularisme yang
ada di masyarakat. Penekanan berlebihan kepada
syariat, dalam pendidikan, bisa saja berangkat dari
kadar tertentu sekularisme. Yang pertama yang
sebaiknya ditanamkan kepada anak-anak prinsip-prinsip
moralitas, sedang syariat aslinya buat jaga-jaga sebagai
pagar ketika seseorang akan melanggar kebenaran dan
kebaikan.
Kemudian Cak Nun memberikan beberapa contoh
moralitas yang dipraktikkan dan dicontohkan Kanjeng
Nabi kepada para Sahabat-nya, dan dilanjut dengan
pemahaman sederhana tapi mendasar atas rukun Islam,
di mana rukun Islam merupakan satu sistem ilmu dan
metodologi hidup.
Kebersamaan yang erat, yang tak terpisah di antara
semua yang hadir dan terlibat dalam acara ini, sangat
terasa, dan sekarang sesudah menyusuri butir-butir
keilmuan, Cak Nun meminta KiaiKanjeng mengendorkan
syaraf semua hadirin dengan mempersembahkan
sebuah nomor Melayu “Beban Kasih Asmara” yang
dibawakan oleh Mas Imam Fatawi yang kemudian
berkolaborasi dengan salah seorang Ibu. Tak cukup satu
nomor, kolaborasi ini pun dilanjutkan dengan “Rasa
Cinta”. Sungguh sangat indah kebersamaan ini.
Di langit, bulan (Muharram) yang baru memasuki angka
7, dengan warnanya yang kekuning-kuningan, seakan
turut menikmati acara malam ini. Menyaksikan dari
tempatnya, dan mungkin mengabarkan kepada bintang-
bintang tentang acara yang indah di permukaan bumi
yang dipantulinya cahaya.
Sebuah pesan penting kemudian disampaikan Cak Nun
agar kita selalu punya kemesraan, kemurnian/kepolosan,
dan penuh rasa syukur. Pemahaman keagaaman jangan
membuat kita kehilangan kemesraan. Sebab, kemesraan
adalah bagian dari naluri manusia yang diberikan
langsung oleh Allah, sebagaimana bayi langsung bisa
menyusui ibunya, tanpa diajari dan pasti sulit diajarkan
secara kognitif kepada bayi yang baru lahir procot
untuk begini caranya menyusu. Allah mengajarinya
langsung. Ada bagian-bagian tertentu dalam hidup yang
Allah mengajarinya langsung, atau mentakdirkannya
pada keadaannya seperti saat ini. Sehingga yang
diperlukan tinggal rasa syukur kepada-Nya. “Melihat gigi
tidak dipanjangkan sampai jauh ke bawah saja harus
membuat kita bersyukur. Apalagi punya tiga masjid
yang kompak dengan pembagian tugasnya masing-
masing,” tutur Cak Nun.
Dari samping panggung, Mas Islam dan Ibu yang tadi
berpartisipasi bernyanyi, terlihat sudah berdiri dan
bersiap duet membawakan lagu “Perdamaian”-nya
Nasyida Ria yang berasal dari Semarang. Tetapi terlebih
dahulu Cak Nun memberikan tikar pemahaman dan
sedikit pembacaan kritis atas pop-isasi lagu ini seperti
dibawakan oleh grup band Gigi. KiaiKanjeng
membawakannya secara “ndeso” dan original saja
tetapi dengan perangkat musiknya KK di antaranya
gamelan, sehingga nomor Perdamaian ini hadir dengan
nuansa yang apik. Lebih penting lagi, semangat
KiaiKanjeng membawakan lagu Nasyida Ria ini adalah
menjunjung dan menghormati orang atau kelompok
musik yang telah berjasa memberikan lagu-lagu yang
baik dan berkekuatan awet-abadi, sebagaimana
penghormatannya kepada M. Mashabi, A. Kadir, dan Ida
Laila yang mungkin tak lagi dikenal generasi sekarang.
Semangat penghormatan itu juga mesti
diimplementasikan pada bagaimana KiaiKanjeng
membawakan lagu-lagu dari legend-legend tersebut.
Acara terus bergulir menuju pergantian hari, dan setiap
kali jamaah ditanya, apakah atau kapan acara harus
disepakati diakhiri, serempak mereka menjawab,
“Teruuuusss. Terus.” Cak Nun kemudian
memproporsionalkan untuk boleh tambah tapi jangan
kebanyakan. Satu jam saja ke depan kita jajaki, sembari
semua sepakat untuk benar-benar tidak pulang sampai
satu jam ke depan.
Dalam uraian-uraian selanjutnya, Cak Nun
menyampaikan kepada jamaah, khususnya tentunya
diserap oleh para pengurus Yayasan Dian Insani yang
berkecimpung dalam kegiataan keagamaan dan
pelayanan sosial, bahwa menerapkan kebenaran
hendaklah dibarengi dengan cinta. Keduanya dimanage
secara seimbang dan proporsional, justru agar moralitas
dan esensi agama dapat tersampaikan dengan baik.
Melengkapi pencapaian ngaji malam ini, Cak Nun
menambahkan agar kita belajar kepada peristiwa
batalnya wudlu di mana kita dapat esensi pelajaran
tentang apa yang disebut sebagai peristiwa jasad dan
peristiwa martabat. Ngaji seperti ini juga merupakan
bagian dari upaya menjaga dan menegakkan martabat
diri kita sebagai manusia dengan selurut dimensi yang
melekat padanya.
Give Me One Reason barusan dibawakan oleh Donni KK.
Mengantarkan lagu ini, Cak Nun menjelaskan prinsip
yang dipegang oleh KiaiKanjeng dalam mengembarai
jagad musik. KiaiKanjeng mengeksplorasi semua jenis
musik. KiaiKanjeng terbuka terhadap semua khasanah.
Semua bisa dijajagi dan diserap. Meskipun demikian,
KiaiKanjeng menerapkan batas-batas syariat dalam
eksplorasi dan penyuguhan musikalnya. “Silakan
dinikmati nomor ini sebagai peristiwa musik dan
peristiwa keluasan wacana,” antar Cak Nun kepada
jamaah.
Memuncaki perjumpaan malam ini, Cak Nun mengajak
para jamaah bareng-bareng melantunkan lagu Syi’ir
Tanpo Waton. Teman-teman hadroh Al-Barado diajak
serta berdiri bersama para vokalis KK untuk
membawakan lagu ini.
Dan, terakhir seperti biasanya, acara diakhiri dengan
Indal Qiyam, dan dengan seluruh yang dialami dalam
majelis ini Cak Nun berharap agar Allah bukan saja
menganugerahkan ilmu kepada semua jamaah tetapi
juga fadhilah dan ma’unah. Semakin khusyuk dalam doa
usai indal qiyam ini, Cak Nun melantunkan ayat-ayat
suci Al-Qur’an surat An-Nuur 35. Nuurun ‘ala Nuur.
Semua wajah merunduk dan hati rebah kepada Allah.
Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng, Semarang, 31
Okt 2014 ditulis oleh Helmi Mustofa dan dipublikasikan
oleh CakNun.com .