Sabtu, 29 November 2014

Caknun@gresik

Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng,
Gresik, 01 Nov 2014
10 hari yang lalu
Jamaah Siwalan Peduli (JSP), yang mengundang Cak
Nun KiaiKanjeng untuk maiyahan malam nanti, adalah
komunitas sekelompok anak muda yang terbentuk pada
tahun 2003. Kegiatan dan concern utama mereka
adalah membantu dulur-dulur atau saudara-saudara
yang sakit. Mereka urunan semampunya untuk
membantu, atau menjadi pintu informasi tentang
saudara-saudara yang sakit yang perlu dibantu. Tidak
ada keanggotaan resmi. Siapa saja yang punya
kepedulian, dia bisa menjadi anggota.
Bentuk pelayanan yang mereka berikan bisa berupa
layanan mengantar ke Rumah Sakit, membantu
mengurus proses mendapatkan keringanan biaya
pengobatan, menunggu di rumah sakit karena mungkin
orang yang sakit tidak punya saudara yang bisa
menunggui, dan layanan lainnya. Semuanya dikerjakan
sesuai kemampuan yang teman-teman JSP miliki.
Jadi orang gede tak apa, asal tidak untuk nggedeni
orang lain.
Pada suatu ketika, pernah mereka dihadapkan pada
kondisi tidak punya uang sementara ada saudara yang
sakit yang perlu dibantu. Mereka akhirnya memutuskan
untuk wadul kepada Allah. Mereka ngumpul di
perempatan jalan, dan berdoa kepada Allah. Akhirnya,
ada masyarakat yang membantu sehingga terkumpul
dana yang siap disalurkan. Dari wadul kepada Allah
inilah, lahir “Pengajian Sa’kobere”, yang sudah
berlangsung keenam kalinya. Sa’kobere bukan berarti
asal-asalan, melainkan kesadaran pada titik dimana
sesudah berusaha keras manusia perlu mewakilkan
urusannya kepada Allah.
Merupakan edisi yang sangat istimewa bahwa
Pengajian Sa’kobere ini terkabul cita-citanya dapat
menghadirkan Cak Nun KiaiKanjeng. Mereka bersujud
syukur, karena harapan mengundang Cak Nun
KiaiKanjeng direspons dengan cepat. Saking bahagianya
dengan kedatangan Cak Nun KiaiKanjeng nanti,
beberapa teman-teman muda yang biasanya kurang
greget beraktivitas jadi sangat serius, dan tanpa
disadari mereka makin lebih tertata hidupnya.
Teman-teman JSP sendiri beberapa pentolannya adalah
jamaah Maiyah yang sudah lama mengikuti maiyahan.
Acara pengajian malam ini mereka persembahkan untuk
masyarakat Siwalan dan sekitarnya. Bahkan masyarakat
juga diajak terlibat dalam penyelenggaraan acara ini.
Masyarakat Desa Siwalan Kecamatan Panceng
Kabupaten Gresik yang beragam latar belakangannya ini
baru kali ini akan ketemu langsung dengan Cak Nun
KiaiKanjeng. Tetapi, mereka sudah mengenal dua lagu
KiaiKanjeng “Tombo Ati” dan “Ilir-ilir”, yang keduanya
sangat populer di sini. Berharap kedua lagu ini bisa
dibawakan KiaiKanjeng.
Jibril itu satu, tapi jangan dianggap siji seperti
pengetahuan tentang siji, sebab siji-nya Jibril itu bisa di
mana-mana pada saat yang sama.
Judul dan Tajuk pengajian ini murni gagasan dari
teman-teman JSP. “Nguwongno Uwong” dimaksudkan
sebagai suatu tema untuk mengajak masyarakat agar
peduli kepada sesama. Terutama pada diri anak-anak
muda agar hidupnya bisa lebih baik, terlebih banyak
anak muda yang tidak peduli dengan dirinya sendiri.
Terbukti, di antaranya, masih banyak yang suka gebug-
gebugan atau tawuran.
Teman-teman JSP berharap Cak Nun dapat
membimbing dan memberikan piweling agar semua
elemen masyarakat di sini makin kuat kepeduliannya
satu sama lain sehingga tercipta kehidupan yang penuh
gotong-royong, tolong-menolong, guyub, dan rukun.
Ribuan orang telah memadati lapangan Siwalan
Panceng Gresik untuk mengikuti Ngaji Bareng Cak Nun
dan KiaiKanjeng. Wajah mereka ceria dan penuh
senyum menyiratkan kebahagiaan menyambut
seseorang yang telah lama dinanti. Sewaktu memasuki
lapangan ini, dengan kawalan ketat panitia, Cak Nun
menyibak padatnya jamaah yang duduk lesehan.
Sebagian berebut menyalami beliau, sebagian lain
berusaha menyentuh kaki Cak Nun yang tengah
melangkah ke panggung.
Sementara itu, usai maghrib rombongan KiaiKanjeng
telah tiba di lokasi setelah menempuh perjalanan
melewati kampung-kampung desa dan melewati
kawasan hutan kering. Bus besar Panorama yang
membawa awak KK harus pelan-pelan karena
memasuki jalan desa yang meskipun sudah teraspal
mulus tetapi kurang cukup lebar untuk ukuran bis ini,
sesekali terpaksa bergesekan dengan ranting-ranting
pohon di kanan-kiri jalan. Di lapangan Siwalan yang
terlihat lebih terang dan ramai dari tempat-tempat
lainnya, panitia menyambut kedatangan KiaiKanjeng.
Tandur terus, nggak usah berharap panen.
Pasukan kepolisian juga sejak awal telah bersiaga
menjemput, mengawal, dan mengantarkan Cak Nun
hingga ke Lapangan Siwalan. Bahkan Pak Kapolsek
Panceng turun langsung menunggu dan menyambut
kedatangan Cak Nun. Tak lupa di belakang panggung
Pak Kapolsek menyempatkan diri meminta berfoto
bersama Cak Nun dalam kesempatan yang langka ini.
Begitu naik panggung, Cak Nun langsung menyapa
jamaah dengan rasa yang begitu dekat dengan mereka.
Pun ribuan sorot mata masyarakat yang hadir di sini
yang seperti memancarkan suatu chemistri yang gayung
bersambut dengan kehadiran Cak Nun malam ini.
Perlahan-lahan dengan kata-kata yang terukur Cak Nun
berbicara kepada mereka, melalui lontaran beberapa
pertanyaan yang lebih berfungsi mendekatkan hati.
Tetapi toh pertanyaan sederhana itu tetap
mengantarkan percikan ilmu. “Ingin sugih (kaya) nggak
papa, asal setelah kaya tidak sombong. Sebab
kesombongan itu yang bahaya sekarang. Orang boleh
kuat, tapi jangan sombong. Jadi orang gede tak apa,
asal tidak untuk nggedeni orang lain. Jangan takabbur
dalam posisi apapun, kecuali dalam kondisi melarat,”
tutur Cak Nun disambut tawa jamaah. Sudah melarat
nggak boleh sombong, rugi dua kali. Kelakar Cak Nun.
Di antara kesombongan yang sangat bahaya yang
digarisbawahi oleh Cak Nun adalah kalau orang sudah
rajin sembahyang atau ibadah, lalu memandang rendah
orang lain yang belum shalat.
Sangat enak sekali komunikasi yang dibangun Cak Nun
dengan masyarakat Jawa Timur ini yang nyaris tak ada
jarak kultural dengan Cak Nun yang notabene juga
berasal dari Jawa Timur. Pengajian malam ini
karenanya menjelma sebuah dialog yang egaliter
dengan bahasa Jawa Timuran yang egaliter juga.
Setelah menyapa jamaah tadi, Cak Nun mengajak
mereka untuk terlebih dahulu mengonsentrasikan hati
dan pikiran untuk menyapa Allah dan Rasulullah. Mas
Zainul diminta mengawalinya dengan nomor La ilaha
Illallah (Lawange Suwargo) . Suara mas Zainul yang tinggi
dan kuat, langsung diikuti oleh semua jamaah.
Semuanya meneguhkan Tiada tuhan Selain Allah.
Kalimat tauhid inilah yang menjadi pintu untuk masuk
ke Surga.
Kepada jamaah Cak Nun mengajak mereka untuk
meyakini bahwa para Kekasih Allah (Auliyaallah)
menyaksikan bahkan hadir di majelis yang baik ini.
Terlebih Gresik adalah titik penting bagi penyebaran
agama Islam di Nusantara. Para penyebar Islam yang
diutus Rasulullah itu mendarat di Gresik, dan kemudian
menyebar ke berbagai wilayah lain bahkan sampai ke
Manila. Di sana ada Masjid bernama Masjid Sulaiman
yang merupakan pusat kerajaan besar yang terdiri atas
tiga kekuatan Islam yaitu Ternate, Manila, dan Bugis.
“Jibril itu satu, tapi jangan dianggap siji seperti
pengetahuan tentang siji, sebab siji-nya Jibril itu bisa di
mana-mana pada saat yang sama. Itulah frekuensi,
itulah gelombang,” tegas Cak Nun.
Wong mendem/mabuk itu karena jahat atau goblok?
Berturut-turut jamaah diajak melantunkan surat al-
Fatihah, Al-Falaq, Al-ikhlas, an-Naas, disambung Mas
Zainul membaca petikan Maulid Simtud Duror, dan
kemudian bareng-bareng melantunkan Sholatun
minallah dan sholli wa sallimda.
“Manusia diberi akal oleh Allah. Akal itu berfungsi untuk
mengetahui tinggi-rendah, martabat dan tidak
bermartabat,” kata Cak Nun. Kemudian Cak Nun
menanyakan, “wong mendem/mabuk itu karena jahat
atau goblok?” “Goblok,” serempak jawab jamaah.
Pertanyaan Cak Nun ini terkait dengan kegelisahan
panitia tentang generasi muda yang senang tawuran
atau mabuk. Dalam pandangan Cak Nun, gejala atau
fenomena tersebut perlu dilihat apakah itu dominan
atau tidak, supaya tidak salah treatmen. Berapa persen
dari keseluruhan masyarakat. Sebab, tawuran itu juga
terjadi di mana-mana dan di atas sana. Gejala itu pasti
tidak berdiri sendiri. Kalau dilihat secara parsial,
generasi muda melakukan hal-hal yang desktruktif itu
bukan karena jahat, tetapi karena bodoh. Karena tidak
menggunakan akalnya. Walaupun secara sistemik,
terkait dengan banyak hal: pendidikan, kesepian,
keterpinggiran, dan ketakberdayaan ekonomi.
Sejurus dengan itu, Cak Nun menasihati teman-teman
Jamaah Siwalan Peduli agar tak henti dan tak bosan-
bosan melakukan kebaikan terus dengan prinsip tandur
terus, nggak usah berharap panen , sembari Cak Nun
memberikan contoh dirinya yang saban malam keliling
ke mana-mana, tak lain hanya dengan maksud tandur
kebaikan. “Temukan kenikmatan dalam mengerjakan
kebaikan. Ukuran keberhasilan bukan pada panennya.
Belum disebut berhasil kalau kalian belum menemukan
nikmatnya kebaikan yang kalian kerjakan,” pesan Cak
Nun.
Lebih jauh Cak Nun mengingatkan, untuk bisa
“Nguwongno Wong” (Menghormati orang sebagai
manusia), maka kita harus mengenal dan mengerti
manusia dengan berbagai karakter, natur, dan
dimensinya. Sebagai contoh, orang tidak bisa diajak
mikir terus, maka setelah lelah berpikir berganti
aktivitas fisik, misalnya mbetulin genteng, abis itu ganti
membaca buku, habis itu ganti dzikir, dan seterusnya.
Berputar terus dari satu jenis aktivitas ke jenis aktivitas
lainnya, sehingga tetap bisa fresh. Maka yang terbentuk
kemudian adalah kreasi yang rekreatif dan rekreasi yang
kreatif. Dengan prinsip yang sama, formulasi Maiyahan
dibangun. Musik berpadu dengan dan menjadi jalan bagi
ilmu. Ilmu disampaikan dengan relevansi dengan sisi-
sisi hidup lainnya. Ada kontemplasi, tapi juga ada
kegembiraan. Ada tertawa, tapi juga ada khusyuk.
Semuanya diformasi dan dijalankan secara bagus,
nikmat, dan kuat oleh Cak Nun dan KiaiKanjeng.
Begitulah, sesudah Mbak Yuli menyanyikan Laksmana
Raja Di Laut, Mbak Nia berkolaborasi dengan seorang
ibu membawakan kembali La Ilaha illallah dikombinasi
dengan ilahilastu lil firdausi ahla. Saat musik pelan,
semua jamaah bareng-bareng mengikuti lirik yang
dibawakan Mbak Nia sehingga suara jamaah itu dapat
didengarkan oleh semuanya, ya syahdunya, ya
spritualitasnya, ya kandungan getarannya.
Pak Kapolsek, Pak Kiai, Mas Yusuf dan Mas Nanang
dari JSP, serta Pak Kades Siwalan yang sedari awal
sudah ikut menemani Cak Nun di panggung sangat
serius dan antusias mengikuti apa-apa yang setahap
demi setahap disampaikan Cak Nun. Mereka menikmati
dan menyerap bagaimana Cak Nun menaburkan
kegembiraan, meyakinkan akan masa depan bangsa,
membangunkan kembali semangat kebesaran kita
sebagaimana pernah diraih kakek dan nenek moyang
kita, menunjukkan milik kita yang lama tak disadari
sebagai keunggulan, membesarkan hati masyarakat,
dan lain-lain muatan yang orisinal disampaikan Cak
Nun.
Cara lain untuk nguwongno wong adalah memahami
kebudayaan manusia. Kebudayaan dan khasanah yang
baik dijunjung dan dihormati. Itulah yang selama ini
dikerjakan KiaiKanjeng dengan merawat kekayaan
tradisi dan seni yang diwariskan oleh para pendahulu
kita. Cak Nun mengecek jamaah apakah masih hafal
lagu Cublak-cublak suweng, dan alhamdulillah mereka
masih ingat. Kemudian bareng-bareng diajak
melantunkan Sluku-Sluku Bathok dipimpin mas Imam
Fatawi. Oleh KiaiKanjeng lagu dolanan anak-anak yang
sarat filosofi ini dan dibawakan dengan gaya rock oleh
mas Imam dikombinasi dengan beberapa lirik Qashidah
Burdah Imam Al-Bushiri menjadikan nomor ini sangat
khas dan unik karena memadukan dua kekuatan yang
berbeda tapi saling menguatkan.
Selain itu Cak Nun juga mengingatkan bahwa kalau kita
melakukan kebaikan, dan mungkin belum kelihatan
hasilnya, ingatlah bahwa Allah tidak tinggal diam. Sebab
Allah adalah al-Fa’aal, yakni maha mengerjakan apa
yang dikehendakinya. Kebaikan-kebaikan yang kita
kerjakan akan dilihat oleh Allah.
Sekarang, setelah mengembara ke dalam dzikir, ilmu,
lagu-lagu, kehangatan dan kemesraan, ribuan orang
yang benar-benar memadati Lapangan Siwalan ini
berdiri semuanya, dan bersama-sama mengikuti nomor
Ilir-ilir dari KiaiKanjeng. Nomor ini mengantarkan
kepada puncak acara. Cak Nun memimpin doa dengan
melantunkan awal surat al-Fath. Dengan barokah surat
al-Fath ini Cak Nun memohon agar Allah membukakan
pintu barokah, pintu ilmu, pintu kemenangan, dan pintu
kebahagiaan.
Melalui prosesi salaman atau berjabat tangan dengan
Cak Nun dan pemuka masyarakat, jamaah satu persatu
pulang ke rumah masing-masing, dan esok hari akan
menjalani hidup dengan lebih fresh, segar, santai, dan
tidak tegang, baik dalam menjalankan agama maupun
dalam mengelola pikiran dan batin mereka. Mereka
akan mengerti mana yang cukup diletakkan di tangan
kiri, dan mana yang perlu digenggam di tangan kanan
sebagaimana pesan Cak Nun kepada mereka dalam
pengaosan sa’kobere malam ini.
Mengantarkan kepulangan jamaah, sebagaiman biasa,
KiaiKanjeng dengan setia mengalunkan lagu-lagu
sampai nanti tuntas rangkaian jabat tangan ini.
Mengiringi kepulangan jamaah dengan lagu adalah
bagian dari bentuk pelayanan KiaiKanjeng kepada
masyarakat. Tak jarang, mereka yang sudah berjabat
tangan tak segera pulang melainkan mendekat ke
kanan kiri panggung, ikut menikmati nomor-nomor
meriah-pelayanan KiaiKanjeng ini sampai selesai.
Kepada jamaah, Cak Nun meminta didoakan agar
KiaiKanjeng diberi kesehatan dan stamina yang prima
sehingga bisa melanjutkan rangkaian jadwal acara
selanjutnya dengan sebaik-baiknya.
Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng, Gresik, 01 Nov
2014 ditulis oleh Helmi Mustofa dan dipublikasikan oleh
CakNun.com