Sabtu, 29 November 2014

Demokrasi dan egomania

Demokrasi dan ‘Egomania’
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 12 Juli 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Saya menduga keras bahwa secara ilmu bahasa,
istilah ‘egomania’ tampaknya tak bisa
dibenarkan. Tetapi saya tidak sanggup
menjumpai idiom lain untuk mewakili apa yang
hendak saya jelaskan.
Ialah suatu kondisi
mentalitas di mana ‘kosmos
kepribadian’ seseorang
hampir seluruhnya diisi
oleh hanya dirinya sendiri.
‘Dirinya sendiri’ itu
mungkin lebih gamblang
kalau saya sebut ego-
pribadi, atau bahasa umum
menyebutnya ‘interest pribadi’. Idiom yang saya
gunakan itu memakai kata ‘mania’ untuk
menerangkan kadar kepenuhan interest pribadi
itu di setiap sepak terjang seseorang. ‘Stadium
tinggi’ egoisme itu membuat orang tersebut tidak
memiliki aktivitas sosial, karena setiap perilaku
‘sosial’nya sesungguhnya merupakan aktivitas
pribadi. Dengan kata lain, seluruh dunia ini,
orang lain, lingkungan, fasilitas-fasilitas
kehidupan, hanyalah ‘bagian’ dari egonya.
Anda boleh membayangkan jika —misalnya—
negara, partai politik, lembaga-lembaga sosial,
rakyat, tanah, hasil bumi, atau lebih eksplisit:
institusi Ikadin atau AAI umpamanya hanyalah
bagian dari egoisme atau interest pribadi-
pribadi.
Sesungguhnya Anda boleh percaya bahwa hal
demikian sudah merupakan pemandangan
‘lumrah’ di sekitar kita. ‘Pancasila’, ‘Islam’,
‘Kesatuan dan Persatuan’, ‘Manusia Indonesia
Seutuhnya’, ‘Konstitusi’, atau apapun, amat
sering diucapkan tidak sebagai kebenaran diri
idiom-idiom itu sendiri, melainkan sebagai alat
dari proyek interest-interest pribadi. Pancasila
seringkali hanyalah berfungsi instrumental,
sedang yang substansial adalah ‘egomania’.
Sesungguhnya pula, jika Anda memasuki hakekat
realitas dunia perpolitikan — dalam konteks
sempitnya maupun konteks luasnya —
pandangan mata Anda insyaallah akan
bergelimangan egomania. Lantas Anda akan juga
merasa tergetar apabila menyaksikan betapa
batu cadas egomania itu dikonstruksikan dengan
pilar-pilar kekuasaan politik, fundamental-
fundamental beton persenjataan, serta dinding-
dinding tebal kulturalisme dan ‘birokratisme’.
Jika sebuah komunitas, atau setidaknya sebuah
organisasi, mengalami keretakan: Anda silahkan
bersangka baik bahwa itulah mekanisme
demokrasi. Itulah potret pluralitas di mana
perbedaan pendapat dan kehendak boleh
dipergunakan.
Akan tetapi jika kemudian Anda menjumpai
bahwa itu bukanlah perbedaan pendapat tentang
kebenaran, melainkan benturan kepentingan-
kepentingan ‘egomania’, persilahkanlah hati
nurani Anda menitikkan air mata.
Apalagi jika cara untuk berbeda yang dipakai
oleh kaum intelektual, priyayi modern,
pengemban prinsip hukum, serta teladan bagi
jutaan rakyat yang selalu dituduh ‘buta hukum’
— persis dengan cara para korak atau gali
membenturkan perbedaan.
Kita adalah manusia modern yang tak tahu diri.
[]
Pernah dimuat di Rubrik Wall Pass, Yogya Post,
Jumat Pon, 3 Agustus 1990
Dokumentasi Progress