Sabtu, 29 November 2014

Para kekasih iblis

Para Kekasih Iblis
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 13 Oktober 2012
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Semakin banyak orang tahu bahwa dunia ini
bergerak menuju “Indonesia harus terus hidup,
tapi jangan sampai besar dan kuat. Negara
Indonesia harus lemah, bangsa Indonesia harus
kerdil”.
Maka orasi seorang tokoh
tua di sebuah “rapat gelap”
ini mungkin justru
merupakan ungkapan cinta
yang mendalam dan
pembelaan kepada
Indonesia:
“Kita bangsa Indonesia jangan sampai
berhenti berjuang sebelum Indonesia
benar-benar total kehilangan
Indonesianya. UUD perlu kita
amandemen terus sampai berapa kalipun
sampai kelak nasionalisme dan
kedaulatan keIndonesiaan terkikis habis”.
“Setiap bikin undang-undang baru, peraturan-
peraturan baru, di lembaga kenegaraan sebelah
manapun, di tingkat paling atas sampai bawah,
sebaiknya dipastikan menuju proyek besar
sejarah de-nasionalisasi Indonesia hingga titik
paling nadir”.
“Demikian juga policy dan penanganan segala
bidang: perdagangan, pertanian, perpajakan,
pendidikan, kebudayaan, sampaipun cara
berpikir dan selera makan, hendaknya jangan
memanjakan ke-Indonesiaan. Bangsa Indonesia
adalah bangsa besar yang dengan
ketangguhannya siap ditimpa dan memikul
ujian-ujian sangat berat yang tak mungkin
dipanggul oleh bangsa-bangsa lain”.
“Pemimpin bangsa berikutnya haruslah lebih
buruk. Nasionalisme Indonesia harus dihajar
habis sampai tingkat kematian yang
memungkinkan ia lahir kembali. Kita
memerlukan tempo yang lebih tinggi untuk
menyelenggarakan kehancuran, kebobrokan dan
kebusukan — bangsa kita amat sangat tahan
derita, sanggup hidup nyaman dalam kebusukan,
bahkan mampu hidup sebagai kebusukan itu
sendiri”.
“Dialektika Penghancuran Nasional harus dipacu
habis. Kokohkan setiap pemerintahan sebagai
perusahaan yang memanipulasi dan
mengeksploitasi rakyatnya. Proyek penjualan
tanah air dengan segala kekayaannya harus
dijadikan ideologi utama”.
Pasti itu bukan pernyataan politik. Bukan
anjuran sejarah. Itu jeritan orang patah hati.
Kalau Negara rusak, pemerintahan penuh dusta,
sistem bobrok dan prinsip nilai jungkir-balik:
yang terutama menangis adalah “orang”. Adalah
“manusia”. Adapun Negara, pemerintah, ssstem,
nilai, tak bisa menangis, tak bisa bersedih. Juga
tak menanggung apa-apa. Yang menanggung
duka derita adalah manusia.
Jadi tulisan ini tak lebih hanyalah tegur sapa
dengan sesama manusia, dengan derita hatinya,
tangisnya, sepi dan bisunya.
Dan apa boleh buat, kalau menyapa manusia,
tidak mungkin dilakukan tanpa menyapa juga
pihak yang bikin manusia: Tuhan. Kemudian
juga IBlis, “hulu” derita ummat manusia.
Iblis berkata : “Tahukan engkau, Muhammad,
aku adalah asal usul dusta. Aku adalah makhluk
pertama yang berdusta. Para pendusta di bumi
adalah sahabatku. Dan mereka yang bersumpah
kemudian mendustakan sumpah itu, mereka
adalah kekasihku”.
Kurang jelaskah pemandangan wajah Indonesia
sekarang ini di kalimat Iblis itu? Kurang
tampakkah, sosok pemerintahan Indonesia,
tradisi mental banyak pejabatnya,
pengkhianatan terhadap amanat kerakyatannya,
juga manipulasi kebijakan yang sangat tidak
bijak — pada pernyataan Iblis itu?
Dan, pen “citra” an, apakah gerangan ia kalau
bukan dusta? Siapakah yang memamerkan
wajahnya, menyorong punggungnya,
menyodorkan dirinya untuk menjadi pemimpin,
selain sahabat dan kekasih Iblis?
Iblis tidak berjarak dengan diri kita, dengan
karakter budaya, politik dan pasar sejarah kita.
Malah Tuhan yang jaraknya cenderung semakin
menjauh dari kita, kecuali pas kita perlukan
untuk memperoleh keuntungan atau mentopengi
muka.
Akan tetapi dalam kehidupan kita Iblis bukan
fakta. Ia hanya simbol. Idiom. Icon. Hanya
abastraksi untuk menuding “kambing hitam”.
Atau Tuhan kita perlukan untuk kapitalisasi
karier, bisnis pendidikan, usaha dagang sedekah
dan industri zakat, kostum religi perbankan dan
bermacam-macam lagi dusta liberal
penyelenggaraan kapitalisme kita.
Tuhan juga makin jadi “dongeng”. Segera Ia akan
masuk daftar dongeng sesudah Malaikat dan dan
Iblis. Peta mitos. Khayalan tentang suatu
pemahaman yang disepakati istilahnya: Iblis,
Setan, Dajjal, sebagaimana abstraksi kata
Bajingan, Bangsat, Dancuk , Anjing. Sebab pada
makian “Anjing!” yang dimaksud bukan benar-
benar anjing. Anjing adalah binatang yang baik,
tidak pernah berdosa, tidak pernah berbuat jahat
dan tidak ada statemen Tuhan yang menyatakan
bahwa anjing masuk neraka. Bahkan dalam
faham pewayangan malah Puntadewa atau Prabu
Dharmakusuma yang hidupnya sangat ikhlas dan
sumeleh, tidak bisa naik ke langit yang lebih
tinggi sementara anjingnya melaju ke sana.
Iblis dipahami sebagai simbol, tidak sebagai
fakta. Itupun wilayah berlakunya simbolisasi
Iblis tidak dipetakan secara memadai. Iblis
diidentifikasi sebagai “idiom” untuk menyebut
segala jenis keburukan dan kejahatan manusia —
dan itu tidak sepenuhnya benar. Sedangkan
“arupadatu” di Borobudur pun fakta, tak hanya
“rupa datu” yang tampak oleh mata, yang
tergolong “Ilmu Katon”: pemahaman tentang
segala sesuatu yang bisa dilihat dengan mata.
Iblis sendiri tidak sepenuhnya tinggal di wilayah
“arupadatu”. Ia sangat faktual di “rupadatu”,
sebab ia berada pada syariat utama kehidupan
manusia, yakni darah yang mengalir di dalam
tubuhnya.
“Kamu Muhammad”, kata Iblis suatu hari, “tak
akan bisa berbahagia dengan ummatmu, karena
aku bisa memasuki darah mereka tanpa mereka
bisa menemukanku”. Iblis melanjutkan, “aku
minta kepada Allah agar menganugerahiku
kemampuan untuk mengalir di dalam darah
manusia, dan Allah menjawab Silahkan!”.
Sebentar. Yang menyuruh Iblis datang ke
Muhammad adalah Tuhan sendiri. Yang disuruh
itu lazimnya adalah anak buah. Dan kalau musuh
tidak pada tempatnya menyuruh musuh. Allah
menginstruksikan agar Iblis tidak berdusta
kepada Muhammad, menjawab pertanyaan
dengan jujur, serta membuka semua rahasia
tugasnya dari Allah di medan kehidupan
manusia.
Coba ingat kata-kata Iblis “Akulah makhluk
pertama yang berdusta”. Fakta dusta Iblis yang
pertama adalah ia tidak mau bersujud kepada
Adam. Penolakan untuk menghormati manusia
ini parallel dengan pernyataan semua Malaikat
kepada Tuhan: “Kenapa Engkau ciptakan
manusia, yang kerjanya merusak bumi dan
menumpahkan darah”. Andai di-kalimat-kan,
Iblis meneruskan: “Maka aku menolak bersujud
kepada Adam”.
Kemudian Allah mengizinkan Iblis yang meminta
“tangguh waktu” sampai hari Kiamat, untuk
kelak membuktikan bahwa setelah menjalani
sekian peradaban, manusia terbukti tidak punya
kelayakan untuk dihormati atau “disembah” oleh
Iblis dan para Malaikat. Dan Iblis hari ini
tersenyum-senyum: tak perlu nunggu sampai
Kiamat, datang saja ke Indonesia tanggal berapa
bulan apa saja untuk menemukan bahwa
penolakan bersujud oleh Iblis itu pada
hakekatnya bukan dusta.
Jadi, siapa yang lebih kompatibel dengan neraka:
kita atau Iblis? Ketika ada orang berbuat jahat,
kita maki “Dasar Iblis!”, secara idiomatik makian
itu tidak faktual. Ketika 70.000 anak-anak Iblis
berdebat, lantas salah satu dari mereka memaki
“Dasar manusia!”, itu bisa jadi itu malah benar
dan jujur.
Kayaknya salah satu kesalahan manusia yang
paling serius adalah memanipulasi Iblis. Padahal
seluruh keburukan yang kita ludahkan itu bukan
bikinan Iblis, melainkan produk keputusan kita
sendiri.
“Aku tidak diberi kemampuan oleh Allah untuk
menyesatkan manusia”, kata Iblis lagi kepada
Muhammad, “Aku hanya membisiki dan
menggoda. Kalau aku dikasih kuasa untuk
menyesatkan manusia, maka tak akan tersisa
satu orangpun yang menjadi pengikutmu.
Sebagaimana engkau Muhammad, tak ada
kemampuanmu untuk memberi hidayah kepada
manusia. Engkau hanya berhak dan mampu
menyampaikan, tetapi tak bisa mengubah hati
manusia. Sebab kalau kau dianugerahi
kesanggupan untuk memberi hidayah, tak akan
ada satu orangpun yang menjadi pengikutku”.
Begitu banyak — mengacu ke Borobudur — fakta
“rupadatu” pada kehidupan manusia yang mata
mereka tak melihatnya. Udara yang ia hirup,
suaranya sendiri, bahkan mata tidak mampu
melihat mata, paling jauh ia melihat
bayangannya di cermin, tapi bukan diri mata itu
sendiri. Jangankan lagi dengan semakin
canggihnya teknologi ultra-modern sekarang:
kita bingung siaran televisi itu berasal dari
“rupadatu”, diantarkan oleh “arupadatu”,
ditangkap dan diekspressikan secara “rupadatu”.
Belum lagi ke kerjaan frekwensi yang lain:
software di komputer, lalulalang Sms, Bbm,
unduh ini unggah itu. Dulu saya menyangka
telegram itu dikirim kertasnya meluncur nyantol
lewat kabel-kabel sepanjang jalan. Se-nyata dan
se-faktual itulah Iblis dalam kehidupan kita,
bahkan di dalam diri kita, bahkan ia mengalir di
dalam darah kita.
Maka sebagaimana formula “casting” Iblis, orasi
tokoh tua kita di atas tepatnya dipahami tidak
dengan logika linier. Ia suatu lipatan, mungkin
dialektika berpikir yang zigzag, mungkin spiral,
mungkin siklikal. Kalimat seniman kita
“Nasionalisme Indonesia harus dihajar habis
sampai tingkat kematian yang memungkinkan ia
lahir kembali” adalah sisipan cita-cita mulia di
tengah deretan pernyataan yang seolah-olah
mendorong kita ke kehancuran.
Muhammad bertanya, “Siapa temanmu?”
Iblis menjawab, “Para pemakan riba”. Sangat
jelas mappingnya di Indonesia.
“Siapa tamumu?”
“Para pencuri”. Sampai-sampai diperlukan KPK,
yang kita doakan segera bubar, yakni sesudah
Kepolisian Kejaksaan Kehakiman bisa dipercaya
untuk menangani perilaku tamu-tamu Iblis.
“Siapa utusanmu?”
“Tukang-tukang sihir”. Sihir pemikiran, cara
berpikir, peta manipulasi wacana berpikir, di
Sekolah, Kampus, semua media wadah
pemikiran.
“Siapa teman tidurmu?”
“Para pemabuk”. Mabuk idolatri, mabuk
tayangan-tayangan, mabuk artis-artisan, Ustadz-
ustadzan, Gus-Gusan, Kiai-Kiaian… yang terbuat
dari plastik… seperti mobil-mobilan untuk kanak-
kanak di pasar Kecamatan.
Iblis juga menyindir kita: “Gosip dan adu-domba
adalah hobiku”.
Ada baiknya kita undang Iblis menjadi
narasumber rembug nasional, dengan syarat:
“Aku mendatangi semua manusia, yang bodoh
maupun pintar, yang durjana atau yang salah,
yang bisa membaca atau buta huruf. Semuanya,
kecuali orang ikhlas”.
Yogya 25 September 2012
Dimuat di Kolom, Majalah Gatra No. 49 XVIII 11
Oktober – 17 Oktober 2012