Sabtu, 29 November 2014

Caknun@pagu

Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng,
Pagu, 25 Okt 2014
11 hari yang lalu
Sesudah maiyahan di Baturan Colomadu semalam, kini
kembali Allah memperjalankan Cak Nun KiaiKanjeng ke
Dusun Kapurejo Pagu Kediri untuk Maiyahan di
kompleks Pondok Pesantren Salafiyah di dusun ini.
Yang mengundang Cak Nun KiaiKanjeng untuk
Maiyahan malam ini adalah KAPAL Jatim yang
dikomandani Cak Parto. Acara dalam rangka
Tasyakuran 4 tahun KAPAL Jatim, sebuah komunitas
yang concern dalam kegiatan-kegiatan lingkungan
hidup.
Acara digelar di komplek Ponpes Salafiyah, panggung
mengambil tempat di jalan dusun, dan audiens
memanjang memenuhi jalan dusun, selain juga yang
berada kanan kiri panggung. Masyarakat sudah
memadati lokasi sejak usai maghrib.
Cak Nun diantar Kereta Kelinci….
Orang-orang yang berjualan pun tampak di beberapa
tempat di kanan kiri jalan yang mendapatkan
penerangan tambahan dengan lampu-lampu berukuran
besar. Demikian pun dengan umbul-umbul mewarnai
beberapa ruas jalan.
Begitu Cak Nun tiba di lokasi, sekelompok santri
mengenakan jaket warna hijau menyambut kedatangan
beliau dengan terbangan ala ISHARI melantunkan
shalawat Nabi. Menuju lokasi, Cak Nun dinaikkan kereta
kelinci yang berjalan pelan di belakang pasukan
terbang. Gerbong kedua kereta ditumpangi para warga,
ibu-ibu, anak-anak, dan beberapa bapak-bapak. Mereka
senang bisa mengiringi kedatangan Cak Nun. Sepanjang
jalan, masyarakat menyapa Cak Nun, melambaikan
tangan, memandang dengan penuh perhatian, sebagian
berusaha merebut tangan Cak Nun untuk bersalaman.
Pasukan Banser NU mengawal kereta ini. Sangat
meriah, dan penuh genderang terbang penyambutan
Cak Nun ini. Kepada saya Cak Nun berkata, “Aku iki
sopo, kok disambut seperti ini, kudune kan ini sambutan
kepada pemimpin ormas resmi mereka. Aku dudu sopo-
sopo.” (Aku ini siapa, kok mendapat sambutan seperti
ini. Mestinya ini sambutan kepada pemimpin resmi
ormas mereka. Aku ini bukan siapa-siapa).
Ketika waktu Cak Nun KiaiKanjeng tiba, para personel
KiaiKanjeng segera menempati posisi masing-masing.
Sementara Cak Nun berjalan dari ruang transit di rumah
Pengasuh Ponpes lagi-lagi dikawal pasukan terbang
hijau, dan para jamaah menyapa dan menyebut nama
Cak Nun. Setelah itu, Cak Nun segera memulai
Maiyahan ini dengan pembukaan berupa pembacaan
Maulid dan beberapa shalawat di antaranya Sholatun
minallah wa alfa salam, yang malam ini Mas Zainul,
Mbak Nia, dan Mbak Yuli hadir bersama KiaiKanjeng.
Kedatangan Cak Nun tadi disambut dengan shalawat Ya
Nabi Salam ‘Alaika, yang berarti Duhai Nabi salam
untukmu. Cak Nun sangat menekankan pemahaman
ayat shalawat ini. “Alaika yang berarti Kepadamu wahai
Nabi” pasti diucapkan pada posisi kita ada di depan
Kanjeng Nabi. Berhadapan. Nabi tidak sebelah kanan
atau kiri kita. Tapi di depan kita. Maka melantunkan
shalawat itu sangat serius karena kita benar-benar
menghadap kepada Rasulullah. Inilah pelajaran penting.
Sebab selama ini kita tidak pernah fokus dalam
berbicara, melakukan sesuatu, atau mengerjakan apa
saja, kecuali mungkin keuntungan, keuntungan, dan
hanya keuntungan diri kita pribadi. Bahkan dalam
beragama pun, keuntungan pribadi itu yang menjadi
fokus.
Kalau kita sudah fokus kepada Allah dan Rasulullah,
maka hidup kita akan ringan.
Tetapi ini tidak pernah dipelajari, karena tidak pernah
ada yang menyampaikan kepada umat. Kita tidak punya
pemimpin. Kita tidak punya orangtua. Demikian pun
dengan negara, tidak punya orangtua. Celakanya lagi,
kalau diberitahu, malah marah-marah, dan tidak terima.
Itulah gambaran masyarakat kita saat ini.
Kalau kita sudah fokus kepada Allah dan Rasulullah,
maka hidup kita akan ringan, dan tidak perlu terlalu
pusing dengan berbagai hal yang nggak perlu
dimasukkan ke dalam hati dan pikiran, tidak perlu mikir
yang enggak-enggak. Karena kita sudah punya fokus
yang jelas. Itulah beberapa poin awal yang disampaikan
Cak Nun.
Area di depan panggung sangat padat oleh jamaah yang
sangat antusias menyimak uraian-uraian Cak Nun yang
selalu hadir dalam komunikasi yang kuat, segar, penuh
semangat dan menyemangati. Orang-orang desa ini
sangat gembira dengan kehadiran Cak Nun dan
KiaiKanjeng yang membawakan pesan-pesan
pencerahan dengan cara yang istimewa. “Seharusnya
yang dilakukan KiaiKanjeng ini semestinya dilakukan
Majelis Ulama,” tegas Cak Nun.
Di sini di semua tempat selalu ada kreativitas.
Terhadap kegiatan KAPAL Jatim ini yang
mengusahakan terciptanya desa yang memiliki hutan
dan danau, dan program-program lain yang mengolah
secara kreatif misalnya sampah dan lain-lain, Cak Nun
memuji dan mengingatkan masyarakat tentang khalifah.
Yakni tugas yang diamanatkan kepada manusia, untuk
mengolah secara kreatif apa saja yang ada di muka
bumi ini. Dan orang Jawa ini adalah pakar kreativitas
hidup, mulai soal menu makanan dengan segala detail
penciptaan menu dan rasa, sampai adanya gagasan
bikin huleg-huleg untuk menumbuk kacang, lombok, dan
lain-lain. “Di sini di semua tempat selalu ada
kreativitas,” tegas Cak Nun.
Melihat begitu banyaknya orang-orang yang datang di
acara di dusun ini, mengingatkan pada kecenderungan
bahwa desa identik dengan pop culture yang dicirikan
oleh banyaknya orang yang datang dan menikmati,
tetapi apa yang dinikmati dan disuguhkan kerap
merupakan sesuatu yang dianggap berselera rendah.
Tetapi kehadiran Cak Nun KiaiKanjeng membalik semua
itu. Orang yang berkumpul banyak ini, dengan kehadiran
Cak Nun KiaiKanjeng, dapat dan memperoleh suguhan
yang mencerahkan, mencerdaskan, menghibur secara
intelek tapi penuh rasa gembira, mengajarkan kepada
publik untuk memiliki selera yang berkualitas, mulai dari
musik, komunikasi, wacana-wacana, dan sikap-sikap
hidup yang cerdas. Begitulah mereka mengikuti dan
menikmati shalawatan yang dilantunkan para vokalis
KiaiKanjeng: Mas Islam, Mas Zainul, Mbak Nia dan
kawan-kawan, di antaranya melalui nomor Ajineng Urip .
Dengan kata lain, kemanapun pergi Cak Nun
KiaiKanjeng selalu menyuguhkan high and good culture,
di tengah media dan lain-lain kekuatan sejarah
menawarkan sajian-sajian tak bermutu di hampir semua
bidang kehidupan.
Nomor-nomor shalawat dan lagu mungkin sudah sering
mereka dengar, tetapi di tangan KiaiKanjeng lirik yang
sama dibawakan dengan lagu/nada yang sama sekali
baru, menjadikan mereka menikmati lagu-lagu dengan
sentuhan yang lebih kreatif, apalagi dengan kekuatan
yang diberikan oleh gamelan KiaiKanjeng. Ini bisa
mereka nikmati seperti pada nomor Ya Nabi Salam
Alaika yang dibawakan mbak Yuli dan Amemuji (Ilahi
lastu) yang dibawakan oleh mas Zainul.
Membaca al-Quran itu bukan untuk orang lain, tetapi
sejatinya untuk Allah. Jadi keikhlasan itu untuk Allah,
bukan yang lain.
Salah satu ciri Maiyahan adalah apabila ditanyakan
kepada jamaah, “Ini mau sampai jam berapa?”, selalu
jawabannya adalah: “Terusss.” Bisa dipahami keinginan
mereka. Mana bisa kita ingin segera mengakhiri
indahnya menyimak lagu Ya Imamar Rusli ya Sanadi oleh
Mas Zainul, lagu dangdut melayu Beban Kasih Asmara
oleh mas Imam Fatawi, apalagi memang malam ini
terasa lagu-lagu yang disuguhkan KiaiKanjeng spesial
semuanya.
Apa yang disampaikan Cak Nun jika dilihat sebagai
upaya dekonstruksi atas kemapanan-kemapanan yang
kurang maka memang banyak hal yang didekonstruksi
oleh Maiyahan ini. Sebut saja satu contoh yang tadi
diilustrasikan oleh beliau mengenai kecenderungan qari
atau pembaca Al-Quran terlalu asik menikmati suaranya
sendiri atau menikmati mempertontonkan suara, dan
memaksa yang mendengarkan untuk ikut keinginan
mereka. “Membaca al-Quran itu bukan untuk orang lain,
tetapi sejatinya untuk Allah. Jadi keikhlasan itu untuk
Allah, bukan yang lain,” tegas Cak Nun.
Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng, Pagu, 25 Okt
2014 ditulis oleh Helmi Mustofa dan dipublikasikan oleh
CakNun.com .