Sabtu, 29 November 2014

Dari bedug sampai anjing

Hal Tajdid: Dari Bedug sampai
Anjing
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 27 Januari 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Seorang Muballigh muda Muhammadiyah pernah
datang ke desaku untuk tampil secara
mengagumkan dan mempesona dalam suatu
pengajian. Dengan nada keras, penuh semangat
dan kefasihan, ia menyodorkan kejutan-kejutan.
Diuraikan tentang
keharusan membawa
kembali Islam seperti
aslinya ajaran Muhammad
Shallallahu’alaihi
wasallam. Khurafat,
tahayul, bid’ah, musti
dibuang jauh-jauh. Dan
lagi, memeluk agama itu
mustilah dengan menggunakan akal, tak asal
taqlid membabi buta saja, sebab akallah yang
membedakan kita dari segenap binatang.
Pasal pertama yang dibenahi ialah arah
menghadap ketika salat. Bikinlah garis shaf
dalam masjid kira-kira 24 derajat condong ke
utara, agar kita salat menghadap ke Ka’bah,
bukan ke negeri Somalia. Kemudian soal bedug:
untuk apa itu? “Sekarang ini setiap hidung
punya jam”, katanya. Lantas, soal puji-pujian
musikal antara adzan dan iqomah. Lantas soal
koor wirid sehabis salat jamaah. Kemudian
sekian hal lagi yang menyangkut perilaku
keagamaan sehari-hari.
Terkejutlah sekalian penduduk desa, dan merasa
begitu kotor karena ternyata selama ini
melakukan hal-hal yang mungkin tak diridhai
Allah. Memang, tajdid pasal pertama Muballigh
kita ini, tidak ilmiah; ia tak bawa kompas,
sehingga tak tahu bahwa posisi desaku memang
sudah persis terarah agak miring ke utara, jadi
persis menghadap Ka’bah, juga masjidnya. Ini
tentulah kekhilafan kecil: Muballigh kita terlalu
bergantung pada common-sense, lupa pada
keperluan “formal-survey” yang ilmiah.
Namun percayalah, bahwa kata-kata “ilmiah”
atau “rasional” merupakan “bayang-bayang
baur” di benak orang-orang desaku, sehingga
kegagalan pasal pertama itu tak berarti gagalnya
usaha tajdid yang ia lakukan. Sejak itu, perlahan-
lahan bedug dicopot, dipakai kayu bakar dan
kulitnya dimasak. Puji-pujian stop dan koor
wirid lenyap. Orang-orang tua berwirid sendiri-
sendiri, sementara anak-anak muda dan anak-
anak kecil menyelenggarakan tradisi lamcing :
habis salam, plencing pergi.
Tak Bisa Berpicing Mata
Sayang sekali Muballigh kita itu cukup sekali saja
datang ke desa untuk membawa “SK Tajdid” dari
Pusat itu. Hampir tak ada proses internalisasi
lebih lanjut yang melibatkan para penduduk
perihal pemurnian Islam, menggasak bid’ah,
khurafat, tahayul dan seterusnya, dalam arti
suatu internalisasi di mana mereka diajak untuk
aktif rasional.
Apa yang kemudian terjadi, adalah situasi
“yaskhor qoumun min qoumin” dalam suatu iklim
yang “politis”. Pertarungan bendera antara
Muhammadiyah dengan NU berlangsung dengan
lucu, naif, jumud dan memalukan, sehingga
biarlah terkubur di gundukan-gundukan tanah
masa silam. Yang mungkin agak kurang
menyedihkan untuk dikisahkan ialah terjadinya
“reuni” sekian tahun kemudian. Karena sakit
oleh berbagai kebodohan bersama, tak krasan
oleh banyak retak-sosial yang begitu kampungan
dan menyangkut hal-hal amat sepele, maka
bendera-bendera itu pun diturunkan. Sampai
kini, penduduk desaku hidup dalam Islam yang
tanpa embel-embel lain: meskipun tetap selalu
ada beda faham di sana-sini, tapi tak sampai
terjebak oleh formalisme-formalisme aliran,
yang bukannya salah, tetapi penduduk desaku
belum siap meng-hadapi “keorganisasian
madzhab” yang ketika sampai di desa telah
tinggal kerangka.
Kabarnya, hantu kerangka itu muncul; karena
mekanisme tajdid yang dibawa oleh organisasi-
organisasi pembaharu itu kurang diterapkan
dengan mempertimbangkan faktor-faktor
sosiologis-kultural masyarakat yang berbeda-
beda. Faktor itu yang menunjukkan kepada kita
bagaimana persuasi yang diperlukan untuk
mereduksi sesuatu hal dari lingkaran tradisi
suatu komunitas; bahkan seberapa benar sesuatu
itu perlu direduksi atau tidak. Sebab, untuk
menilai terjadi tidaknya bid’ah atau tahayul
umpamanya, kita tak bisa menilainya dengan
berpicing mata. Apalagi kita tahu persis bahwa
proses internalisasi keagamaan dalam
masyarakat tradisional seperti di desaku,
mengandung susunan-susunan saling berkait
antara berbagai unsur kompleks dalam hidup
mereka. Kita harus menatapnya dengan jeli, agar
tak terjebak oleh term berpikir yang sering kita
anggap ilmiah: membedakan sisi kehidupan
agama dari kehidupan sosial, ekonomi, budaya
dan lain-lain. Padahal, agama bukanlah sektor,
melainkan pedoman nilai dari Allah yang
memberi watak, sifat dan arah tujuan semua
kegiatan hidup kita, ya politik, ya ekonomi, ya
sosial budaya.
Kerangka di atas juga muncul, disebabkan
karena dalam tubuh suatu organisasi, biasanya
ada berlaku hukum pelunturan nilai. Artinya ada
distorsi kualitatif yang terjadi antara pucuk
dengan lapisan atau sendi-sendi di bawahnya.
Hal ini merupakan akibat yang khas dari
aksentuasi sikap kita untuk menjadi “tabi’iin”
atau “taabi’it-taabi’iin” belaka dan kurang
mengaktivisir keharusan-keharusan lain,
umpamanya untuk biasa berpikir sendiri,
menimbang-nimbang sendiri dan seterusnya
dalam menginternalisasi Islam. Ada begitu
banyak afalaa ta’qiluun, afalaa fatadabbaruun,
afalaa tatafakkaruun, namun ma’rifat kita belum
terbuka benar. Bukan terutama karena Allah
belum berkenan membukanya, tapi kita
umumnya memang kurang berminat sungguh-
sungguh untuk membuka mata. Walaqad
yassarnal Qur’ana lidz-dzkri fa hal min-
muddakir…. — Oleh sebab itu, kita tak boleh
terkejut apabila menjumpai tak sedikit “agents of
innovation” dari suatu organisasi pembaharu
ternyata juga hanya penganut-penganut, yang
meskipun tak buta betul, tapi setidaknya tiga
perempat buta. Kalau kita mau jujur dan rendah
hati: dalam kondisi seperti itu tak mustahil di
tengah percaturan pemikiran tajdid, kita
terjebak oleh suatu isyarat Allah yang secara
verbal sesungguhnya dimaksudkan untuk orang-
orang kafir: innalladzina yujaadiluuna fii
aayaatillaahi bighairi sulfhaanin ataahum in fii
shuduurihim illaa kibrun maa humbibaalighiihi….
Sebab, kita mafhum ayat Allah bukan hanya
yang tertera verbal dalam AI-Qur’an —
“sanuriyahum aayaatina fil aafaaqi wa fii
anfusihim….” — benarkah tak mungkin kita
termasuk dalam golongan orang yang dimaksud
oleh Allah itu? Misalnya, karena tanpa kita
sadari, bahwa kita telah terlibat dalam suatu
kufuran intelektual, tertentu? Yang jelas, kita
mesti siap untuk suatu hari menyaksikan
kenyataan bahwa yang perlu ditajdid itulah yang
jadid, dan ternyata yang mujaddid itulah justru
perlu ditajdid.
Semoga, hal ini tidak terjadi, namun, baiklah kita
berwaspada, sebab segala sesuatu bisa masuk ke
dalam diri kita, juga setan dan pengaruh-
pengaruh apa pun.
Di desaku pun sangat mungkin terjadi hal
semacam itu. Atau barangkali kita sekaligus
mengandung kedua-duanya: yakni hal yang
perlu ditajdid serta hal yang mendorong kita
untuk melakukan tajdid. Jadi agaknya
masyarakat pertama yang mesti ditajdid ialah
diri kita sendiri, sementara semangat tajdid juga
pertama-tama mesti diri kita sendiri yang
memiliki.
Kiai Beli Anjing
Ada satu tajdid yang lucu di desaku, yang
menyadarkanku bahwa ternyata kekentalan
hubunganku dengan penduduk desa masih amat
kurang . Tersebutlah seorang Kiai yang haus
akan tajdid, sehingga selalu sibuklah ia
mengembarai berbagai lapangan faham Islam.
Sayang sekali, landasan kehausan tajdidnya
bukan suatu sikap mandiri yang mementingkan
penggunaan akal sehat dan kebersihan hati serta
keluasan wawasan. Dalam pengembaraanya itu,
ia selalu hanya terseret-seret belaka oleh satu
faham ke faham lain. Begitu terjadi berulang-
ulang, dan hasil pengembaraannya itu biasanya
langsung diungkapkan lewat khutbah-khutbah
Jumat atau pada kuliah subuh — kesempatan
satu-satunya ia bersedia bertatap muka dengan
khalayak.
Pertama menjadi bingunglah para jamaah
karena diombang-ambingkan. Tapi lama
kelamaan hal itu menjadi komedi. Orang jadi
“hapal” lagak lagu sang Kiai dan tak begitu
gampang terpengaruh. Menjelang salat Jumat,
bahkan orang-orang saling bercengkerama dan
meramal apa kira-kira yang akan diomongkan
oleh sang Kiai. Hal yang digasak adalah hal yang
biasanya kemarin didukung. Apa yang hari ini di
gembar-gemborkan, bulan depan mungkin akan
digasaknya kembali. Dari satu sudut: itulah
potret dari semangat pembaharuan yang
dinamik, penuh gelombang dan kontinyu. Tapi
dari sisi lain, itulah gambaran dari sebuah
pribadi yang mengembara di atas udara, tanpa
pijakan, tanpa akar dan tanpa aktivitas akal
sehat dan kematangan kejiwaan.
Memang jamaah tak begitu terpengaruh, tapi
untuk hal-hal yang menyangkut “gengsi
modern”, orang desa amat gampang terseret.
Merangsang mereka untuk mengkonsumsi
“identitas-identitas kemodernan”, semudah
makan kacang bakar. Jadi ketika berkat suatu
usaha tajdid, sang Kiai membeli dan memelihara
anjing, maka segera inovasi ini diikuti oleh
puluhan orang. Hari ini di satu jalur jalan saja
ada kira-kira 40 anjing. Memelihara anjing itu
betul-betul kenikmatan baru: “Kayak yang di tv!”
Ini suatu ironi besar, karena dulu penduduk desa
adalah pembenci, bahkan pembunuh anjing. Ada
seekor saja nongol di desa, mampuslah ia.
Aku sendiri belum memberi tanggapan cukup
jauh terhadap hal ini, karena harus ditemukan
persuasi yang tepat untuk membereskan sesuatu
di desa. Aku tidak anti anjing, tapi ada konteks
yang tak beres dengan tajdid peternakan anjing
itu.
Suatu hari, aku mengobrol saja dengan salah
seorang penduduk. Hakim paling kuat untuk
Muslim desaku ini ialah ukuran halal-haram.
“Kata Pak Kiai memelihara anjing itu tidak
haram,” ungkapnya. Jadi itulah sumbernya.
Kucoba kemukakan kepadanya: memelihara
anak yatim itu bukan hanya tak haram, bahkan
penuh pahala dan keluhuran. Padahal biayanya
tak lebih mahal dari memelihara seekor anjing,
sementara seorang anak yatim bisa memberi kita
manfaat dan kekayaan spiritual yang tak bisa
kita peroleh dari buih mulut anjing. Memelihara
anjing memang boleh-boleh saja, seperti juga kita
boleh siang hari bolong merangkak dari gardu
sini sampai ke depan rumah Pak Lurah di ujung
sana. Tapi, agama bukan sekedar soal boleh dan
tak boleh. Halal-haram itu garis batas, yang tidak
kita injak atau harus kita hindari. Seperti main
sepakbola, ada garis pinggir, ada garis untuk
penalty dan offside, juga tangan kita termasuk
“daerah haram” untuk bola.
Tapi, masalah sepakbola yang paling utama ialah
bagaimana bermain bola secara baik, bukan
bagaimana tak memegang bola atau berlari
menginjak garis pinggir. Garis batas itu menjadi
wilayah permainan kita, namun yang penting
ialah bagaimana mengolah suatu permainan
yang baik. Engkau tidak diharamkan main sepak
bola sambil pakai peci atau sambil makan ketela,
tetapi kita punya akal yang mengukur manfaat
dan mudharat. Untuk itu, maka kita bermain
pakai celana pendek dan bukan sarung.
Memahami mana garis batas dan liku-liku
peraturan main bola tidak sukar, dan yang
terutama kita usahakan bagaimana mentalitas
bermain, bagaimana teknik dribbling pribadi
serta metode kerjasama sosial, bagaimana
menemukan “taqarrub” terhadap gawang secara
baik sehingga kita menang dan gol kita ciptakan
dengan menggetarkan jaring-jaring surga. Itulah
sepakbola hidup.
la kemudian mengemukakan anjing itu nanti
bisa dijual kembali dengan harga yang lebih
mahal. Jadi pertimbangan ekonomi. Maka
kuingatkan bahwa kita dulu punya tradisi ternak
kambing — kerbau — sapi. Sekarang ini,
kambing atau sapi lebih menguntungkan
dibanding anjing. Dan lagi, apakah penduduk
desa kita ini akan menjadi pendorong
pertumbuhan manusia-manusia pemakan
anjing? Baiklah teruskan dan kelak orang di sana
berkata: Di mana cari anjing untuk pesta kita? O,
di Mentoro pusatnya!
Tapi ia kemudian mengemukakan soal segi
keamanan. Anjing cepat memberitahu kita kalau
ada pencuri. Apakah engkau melatihnya untuk
itu? Tidak. Dan orang-orang lain? Tidak juga.
Kukemukakan kepadanya bahwa seorang Muslim
yang Islamnya baik Insya Allah terhindar dari
bahaya seperti itu. Setiap saat, nafas dan detak
darah kita bisa kita biasakan memohon kepada
Allah, “ Bismillahi laa yadhurru ma asmihii syaiun
fil-ardhi walaa fissamaa-i wahuwassamii
‘ul-‘aliim.” Tirulah Ayyub yang berkata, “Innii
masanidha-dhurru wa-anta arhamur-roohimiin”.
Semoga Allah pun berkehendak fastajabnaa
lahuu, fakasyafnaa maa bihii mindhurrin . Atau,
kenapa tak kita lingkari lingkungan hidup kita
dengan ayat Kursi atau banyak sekali ayat
lainnya? Kita sudah baca shalawat untuk Nabi
tiap hari, bukan? Nah, kita perbanyak jumlahnya
dan kita perdalam kekhusyukannya. Semoga
Nabi pun mengirim salam kepada kita karena
beliau adalah “….rasuulunmin-anfusikum aziizun
‘alaihi ‘anittum hariitsun ‘alaikum bilmu’miniina
ra’uufur-rahiim….” Atau dengan begitu banyak
lainnya Ayatullah yang maha sakti, yang apabila
ia dibacakan maka “….suyyiratbihil-jibaalu au
quthi’atbihil-ardhu au kullima bihilmautaa….”
Tidak percayakah Saudaraku akan kesaktian
mukjizat AI-Our’an? la tidak hanya sakti segi
kesastraannya saja, tapi juga sakti dan maha
benar segala dimensinya. la adalah karya Allah,
sehingga segala yang difirmankanNya laa raiba
fiihi . Bahkan api tak membakar Ibrahim, bahkan
hujan diperkenankan turun oleh Istisqa’ kita
bersama. Tak ada yang mustahil bagi-Nya. Kalau
ia mau: “….maa amarnaa illaa waah idafun
kalahmin bil-bashor….”
Cuma, kita bukan makhluk manja. Kita bukan
pengemis yang tak punya otak atau rasa malu.
Untuk urusan kacang goreng atau masalah —
masalah rasional kecil lainnya tentulah kita
bereskan sendiri secara manusia.
Kita tidak lantas meminta agar segala urusan
kita Allah yang mengurusnya. Kita bukan anak
sekolah yang kurang belajar maksimal dan
hanya mengandalkan doa dan sesudah terkabul
lantas lupa bersyukur.
Dan lagi, segala sesuatu ada syaratnya. Kita tidak
bisa hanya mentamengi diri dengan mukjizat AI-
Qur’an apabila secara keseluruhan AI-Qur’an tak
kita laksanakan nilainya. Tanpa mematuhi AI-
Qur’an berarti AI-Qur’an “enggan” menyatu
dengan kita, atau kita tak cukup bersih untuk
menyatukan diri dengan AI-Qur’an, dan dengan
demikian kita juga tak bisa menghayati kesaktian
ijaznya. Kesaktian magis puncak ayat AI-Qur’an
itu ibarat genteng yang melindungi seisi rumah
kita dari hujan. Artinya, kita tahu bahwa genteng
tak bisa kita taruh di udara. Mesti kita bangun
fundamen, dinding, kayu penyangga genteng itu,
serta tiang pusat. Nah, kukemukakan kepada
Saudaraku di desa itu bahwa umumnya kita di
desa ini sudah cukup membangun fundamen,
tiang pun sudah cukup berdiri, tinggal kita
sempurnakan kekuatannya semua, sehingga bisa
kita taruh genteng untuk melindungi kita dari
hujan. Jika demikian, maka Insya Allah kita
bukan saja terhindar dari pencuri ayam, tapi
juga segala pencuri yang lebih bermutu, bahkan
dari sihir dan fitnah. Kenapa tidak? Allah Maha
Benar bahwa Dia Maha Melindungi. Cuma
barangkali saja di dalam diri kita ayat-ayat Allah
itu masih berupa tumpukan genteng yang
mubazir, karena kita tak menggunakan
hikmahnya.
Saudaraku itu termangu-mangu. Ketika itu Ashar
segera tiba dan kami beranjak sama-sama ke
surau.
Dok: Progress. Pernah dimuat di Panji
Masyarakat No. 415 Tahun 1983