Sabtu, 29 November 2014

Peringatan dan amarah

Peringatan dan Amarah
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 9 Januari 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Guru saya di dunia ini banyak. Tak terbatas.
Bahkan tak terhingga. Jumlahnya bertambah
terus. Soalnya tidak ada “mantan-Guru”. Yang
ada adalah “yang sedang menjadi Guru” dan
“yang akan menjadi Guru”. Tak ada seseorang
atau sesuatu pun yang pernah mengajari saya
lantas tidak lagi menjadi Guru saya.
Tetapi di antara Guru-Guru
itu, yang tergolong
istimewa dan paling rajin
mengajar saya adalah
masyarakat dan atau
ummat. Setiap saat saya
berguru kepada mereka
dengan penuh semangat,
terutama karena mereka
sangat telaten untuk marah kepada saya.
Bukankah murid memang sebaiknya sering-
sering diperingatkan atau dimarahi oleh
Gurunya supaya tidak terlalu mblunat ?
Mungkin bisa saya sebut contoh-contohnya
sedikit, sebab tidak mungkin saya ceritakan
semua. Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi
peringatan keras, dikecam, dikritik, dihardik,
dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalah-pahami,
bahkan seringkali juga difitnah. Tapi karena
saya selalu berusaha menjadi murid yang baik,
semua itu senantiasa saya terima dengan rasa
syukur.
Ketika saya masuk pesantren, saya diperingatkan
supaya jangan masuk pesantren hanya karena
ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita
menamatkan pesantren, masuk ke Universitas Al-
Azhar, lantas berusaha menjadi menantu
seorang Kyai dan membantu pesantren beliau.
Tapi akhirnya saya diusir karena suatu perkara,
sehingga saya pindah sekolah. Tentulah saya
dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi
karena lantas saya coba-coba menjadi penulis
cerita pendek dan puisi. “Kamu mau jadi
penyair? Apa tidak baca surat As-Syu’ara yang
berkisah tentang penyair-penyair pengingkar
Allah?”
Saya lebih dihardik lagi karena dalam proses
kepenyairan itu hidup saya tidak berirama
seperti orang normal. Makan tidur tidak teratur
sampai sekarang. Saya dianggap sinting dan
tidak sinkron dengan peraturan mertua.
Beberapa tahun berikutnya saya dimarahi lagi:
“Kenapa kamu hanya sibuk dengan sastra dan
tidak memperhatikan syiar Agama? Tidak
bisakah kamu mengabdikan sastra kamu kepada
dakwah?”. Tetapi ketika kemudian saya
mengawinkan sastra saya dengan dimensi-
dimensi Islam, saya dimarahi lagi: “Jangan main-
main dengan Islam! Jangan campur adukkan
nilai sakral Agama dengan khayalan-khayalan
sastra!”.
Tema kemarahan itu berkembang lebih lanjut:
“Sastra Islami saja tidak cukup. Kamu harus
memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas.
Kamu tidak bisa membutakan mata terhadap
masalah-masalah penindasan politik,
kemelaratan ummat dan lain sebagainya!”.
Maka sayapun memperluas kegiatan saya.
Terkadang jadi tukang pijat. Jadi semacam bank.
Memandu keperluan tolong menolong antara
satu dengan lain orang. Menjadi tabib darurat.
Bikin semacam LSM. Menemani anak-anak muda
protes. Pokoknya memasuki segala macam
konteks di mana idealisme nilai kemanusiaan
dalam sastra dan idealisme nilai akidah dalam
Islam bisa saya terapkan.
Saya mendapat teguran lagi: “Jangan sok jadi
pahlawan! Semua sudah ada yang ngurus
sendiri-sendiri. Kalau sastrawan ya sastrawan
saja, jangan macam-macam!”.
Ketika saya membisu di sekitar Pemilu, saya
dimarahi: “Golput ya? Itu tidak
bertanggungjawab!”. Dan ketika besoknya saya
tampil membantu salah satu OPP, saya
diperingatkan: “Kamu kehilangan
independensi!”.
Tatkala saya acuh terhadap lahirnya ICMI, saya
dibentak: “Perjuangan itu memerlukan
organisasi! Tidak bisa individual!”. Tatkala saya
didaftar di pengurus pusat ICMI, saya ditatar:
“Itu bukan maqam kamu! Tidak setiap anggota
pasukan berada dalam barisan!”. Dan akhirnya
tatkala karena suatu bentrokan saya
mengundurkan diri dari ICMI, saya
dipersalahkan: “Rupanya kamu memang bukan
anggota pasukan!”.
Ketika saya mengungkapkan pemikiran dalam
bahasa universal, saya diingatkan: “Kenapa
kamu tidak mengacu pada Quran dan Hadits?
Apakah kamu budak ilmuwan barat?”. Dan
sesudah saya mengungkapkan segala tema – dari
sastra, politik, sepakbola, tinju, psikologi, atau
apapun saja – dengan acuan Quran dan Hadits,
saya dikecam habis-habisan: “Kamu ini mufassir
liar! Jangan seenaknya mengait-ngaitkan
masalah dengan Quran dan Hadits! Berbahaya!”.
Ketika saya menulis tentang sesuatu yang makro
dan suprastruktural, saya dijewer: “Kenapa
kamu tidak memperhatikan orang kecil?”. Dan
ketika saya mengusahakan segala sesuatu yang
menyangkut nasib rakyat kecil saya ditabok:
“Islam tidak mengajarkan mbalelo , Islam
menganjurkan silaturrahmi dan musyawarah!”.
Ketika saya tidak memusingkan soal honor, saya
disindir: “Kamu tidak rasional!”. Dan ketika saya
bicara soal honor saya ditonjok: “Kamu
komersial!”.
Ketika saya cuek kepada uang dan nafkah, saya
dilempar: “Kulu wasyrabuu! Makan dan
minumlah”. Ketika saya sesekali berpikir
mencari rejeki, saya ditonyo: “Kamu
menuhankan uang dan harta benda!”.
Ada beribu-ribu lagi. Tapi amarah yang terakhir,
tanggal 25 Juni yang lalu saya sungguh-sungguh
tidak paham: “Sungguh hebat perjuanganmu….
Sampai-sampai Al-Quran pun yang tanpa rupiah
untuk mendapatkannya….kau tak punya!”.
Kapan kapokmu, Nun! Ciker bungker Mbahmu ae
gak tahu kemendel ngomong ngunu!”. *****
(Dokumentasi Progress)