Sabtu, 29 November 2014

Caknun@malang

Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng,
Malang, 26 Okt 2014
10 hari yang lalu
Malam ini masyarakat perumahan ASABRI Bumiayu
Kedungkandang Malang mengikuti Maiyahan bersama
Cak Nun dan KiaiKanjeng. Acara ini merupakan
persembahan keluarga besar Pak Ahmad Rifa’i dalam
rangka tasyakuran ulang tahun emas perkawinan kedua
orang tuanya: Bapak Abdul Qohhar dan ibu.
Membuka Ngaji Bareng ini, Cak Nun meminta Cak Fuad
untuk mendoakan hajat keluarga Pak Rifa’i ini. Dengan
mengajak semuanya membaca surat al-Fatihah, Cak
Fuad mendoakan bagi keberkahaan keluarga Bapak
Abdul Qohhar dan ibu beserta semua anak cucunya.
“Keberhasilan dalam menjaga kelanggengan bahtera
perkawinan merupakan prestasi yang luar biasa,” tutur
Cak Fuad.
Setelah itu, Cak Nun langsung membawa semua yang
hadir memasuki semesta ruhaniah dengan
membawakan narasi Ya Karim , yang diselingi nomor-
nomor shalawat yang sangat kuat: Shalatum minnallah
wa alfa salam, Sidnan Nabi, dan Sholli wa sallim
da’iman alahmada. Semuanya dibacakan sambung-
menyambung tanpa putus dalam durasi yang panjang
sehingga benar-benar mengikat hati para jamaah.
Secara khusus, rangkaian shalawat tadi dimaksudkan
sebagai permohonan kepada Rasulullah agar beliau
bersedia menggandeng Bapak Abdul Qohhar beserta Ibu
ke dalam surga kebahagiaan dunia dan akhirat.
Terlihat semua warga perumahan ini cancut taliwondo
bareng-bareng bekerja untuk suksesnya Maiyahan
malam ini. Bahkan anak-anak juga dilibatkan. Berangkat
dari rumah Pak Rifa’i menuju panggung sekelompok
anak-anak berbaju putih-putih dengan membunyikan
terbang dan melantunkan shalawat Badar
mengantarkan Cak Nun ke panggung.
Rohmah adalah cinta yang tulus, Mawaddah adalah
cinta yang masih ada unsur pamrihnya.
Lapangan ASABRI yang berada di simpang lima di
dalam komplek perumahan ini dipenuhi oleh warga
masyarakat, yang telah menanti kedatangan Cak Nun
KiaiKanjeng. Di tempat yang sama, kurang lebih setahun
lalu, Cak Nun KiaiKanjeng juga pernah Maiyahan di sini.
“Jujur, Tulus, Setia” itulah tema Maiyahan kali ini, yang
berangkat dari semangat keutuhan keluarga seperti
dicontohkan oleh keluarga Bapak Abdul Qahhar dan Ibu.
Tentang pernikahan atau perkawinan, Cak Nun
menjabarkan posisi ideologis dan doktriner dari
pernikahan bagi hidup manusia. Bahwa pernikahan itu
ide atau gagasan Allah untuk dijalankan oleh umat
manusia. Sedangkan negara atau relasi-relasi
kemanusiaan lainnya adalah gagasan manusia. “Jadi
lebih penting mana pernikahan dan negara?,” tanya Cak
Nun. Semuanya menjawab: “Pernikahan.” Dari situlah
Cak Nun mengajak semuanya untuk punya sikap hidup
yang jelas, tidak boleh ingah-ingih.
Kehadiran Cak Fuad malam ini benar-benar
dimanfaatkan untuk memberikan berkah ilmu bagi
semua yang hadir khususnya mengenai bagaimana
menjaga keutuhan keluarga. Bagi Cak Fuad memang
“Jujur, Tulus, Setia” itulah nilai-nilai yang menopang
kelanggengan bahtera perkawinan. Ketiga nilai tersebut
berakar dari keimanan kepada Allah. Cak Fuad
menjabarkan secara detail bagaimana posisi dan porsi
ketiga nilai tersebut dalam praktik menjalankan
kehidupan perkawinan.
Di antaranya masalah jujur. Kejujuran itu salah satu
wujudnya adalah menjaga amanah. Karenanya Cak
Fuad mengingatkan bahwa Hadis Nabi mengatakan La
diina liman la amanata lahu (Tak ada agama bagi orang
yang tidak menjaga amanah. Artinya, menerima dan
menjaga amanah adalah bagian utama dalam
beragama. Hadis lain menyatakan, “Ad-diinu An-
Nashiah, Liman ya Rasulallah, Lillahi Warrosul
waliaimmatil muslimin. Agama adalah Kesetiaan.
Kesetiaan kepada Ya Rasulallah. Kesetiaan kepada
Allah, kesetiaan kepada Rasul, dan kesetiaan kepada
pemimpin umat Islam.” Nah, di dalam perkawinan,
kesetiaan adalah juga pilar penting yang akan
menegakkan kelanggengan perkawinan. Kemudian Cak
Fuad menyatakan ketiga nilai yang diangkat sebagai
tema ngaji bareng malam ini merupakan intisari dari
kehidupan Pak Abdul Qahhar dan Ibu. Kepada beliau
berdualah kita seharusnya belajar.
Tentang kebiasaan kita mendoakan pasangan pengantin
“Semoga menjadi keluarga Sakinah mawaddah
warohmah”, Cak Fuad sempat menyinggung bahwa
sebenarnya cukup “semoga menjadi keluarga sakinah”
sebab mawaddah dan rohmah adalah dua komponen
yang outputnya adalah “sakinah”. Mawaddah adalah
cinta yang masih ada unsur pamrihnya, misalnya cinta
karena melihat ganteng dan cantiknya seseorang.
Sedangkan rohmah adalah cinta yang sudah murni
tanpa ada pamrih, keinginan, dan dorongan-dorongan
lain. Rohmah adalah cinta yang tulus. Keduanya
diperlukan bagi kehidupan perkawinan.
Biarpun telah memasuki usia perkawinan yang ke-50,
dan justru karena keberhasilan mengarungi waktu
selama itu, berarti beliau berdua selalu punya metode
memperbarui segala sesuatu di dalam kehidupannya
perkawinannya. Untuk itu, Cak Nun menghadiahi beliau
berdua sebuah nomor meriah penuh nuanasa
kebahagiaan: “Aduh Senangnya Pengantin Baru”, dari
Nasyida Ria, dan dibawakan oleh duet Mbak Nia dan
Mbak Yuli KK.
Kebahagiaan malam ini juga disempurnakan oleh
kehadiran Cak Kartolo, yang saat ini sudah berada di
panggung. Cak Nun juga mengingatkan bahwa Cak
Kartolo ini adalah juga contoh keluarga sakinah.
Seorang seniman ludruk yang tidak kepencut menjadi
ledek di Jakarta dan tidak pernah mau jadi bintang iklan
yang menjelek-jelekkan produk lain. Untuk kesetiaannya
puluhan tahun melestarikan kemurnian seni Ludruk,
Maiyah pernah menganugerahkan dan menyematkan
penghormatan “Ijazah Maiyah” kepada Cak Kartolo,
berbarengan dengan Bunda Cammana dan Pak Joko
Temon, pada November 2011 di Gedung Kesenian Cak
Durasim Surabaya.
Suasana sangat meriah dan penuh kegembiraan.
Sebelum Cak Nun memberikan kesempatan sepenuhnya
kepada Cak Kartolo untuk menggembirakan para hadirin
dan jamaah, Cak Nun meminta KK mengantarkan
dengan nomor “Perdamaian” masih dari Nasyida Ria.
Meskipun demikian, Cak Nun mengingatkan agar
kegemberiaan tidaklah berlebihan, makan jangan
sampai kekenyangan. Yang bagus adalah posisi luwe,
tapi jangan sampai kaliren atau kelaparan, dan makan
bukan karena keinginan tapi karena kebutuhan untuk
memenuhi hak badan akan kesehatan. Nah, sebelum
Cak Kartolo, Cak Nun mempersilakan jamaah untuk
menimba ilmu lewat tanya jawab kepada Cak Fuad
seputar kehidupan pernikahan.
Seorang penanya menanyakan kepada Cak Fuad perihal
jodoh. Apakah jodoh itu dicari atau ditunggu saja.
Selain itu, juga ditanyakan kalau sudah bersuami-istri
bagaimana kalau tidak selalu bisa hidup satu rumah.
Untuk pertanyaan tentang jodoh, Cak Fuad menjelaskan
bahwa segala sesuatu itu sudah ditakdirkan oleh Allah.
Termasuk jodoh. Tetapi itu tidak berarti kita tidak
berusaha mendapatkannya. Yang jadi persoalan adalah
ketika mencari jodoh lakukanlah secara wajar dan tidak
berlebih-lebihan. Mencari dengan jalan berinteraksi,
bermasyarakat, dan bersosialisasi, tapi jangan meniati
semua aktivitas itu dengan tujuan mencari jodoh, sebab
semua itu hanya sarana saja. Kalau seseorang sudah
pada usia yang oleh umum dipandang sudah waktunya
menikah, tapi belum juga dapat, maka terimalah kondisi
itu dengan ikhlas sembari berdoa dan berkeyakinan
bahwa pada waktunya jodoh itu akan datang.
Kemudian soal suami-istri yang ada tuntutan untuk
tidak bisa tinggal serumah misal karena pekerjaan,
maka menurut Cak Fuad yang terpenting adalah
memanage-nya dengan sebaik-baiknya. Meskipun yang
terbaik adalah kumpul dan tinggal serumah.
Pertanyaan kedua menyoal cinta karena Allah dan cinta
yang masih ada pamrihnya. Cak Fuad menegaskan
bahwa mencintai seseorang karena cantik atau
gantengnya itu boleh, tetapi perlu disertai kesadaran
bahwa suatu saat cantik dan ganteng bisa berkurang
atau hilang. Juga misal karena harta atau posisi/
jabatan, semua itu juga akan hilang. Maka yang sejati
adalah cinta karena Allah. Artinya, keberangkatan dari
mana pun, cinta kita harus dimuarakan kepada cinta
karena dan di dalam Allah.
Lebih jauh Cak Nun mengurai arti kewajiban taat
kepada suami oleh istri, dan memberikan contoh
bagaimana beliau menerapkannya dalam keluarga
beliau, juga Cak Nun berpesan bahwa dalam pernikahan
jangan cuma siap untuk senang, tetapi siaplah
mengubah apa saja menjadi senang, dilakukan dengan
senang, yang nggak enak pun dinikmati dengan senang.
Juga hidup berat itu baik. Hidup abot itu diperlukan
untuk memperkuat dan mempertangguh anda. Kalau
senang, apa susahnya. Yang diperlukan adalah
kemampuan mengatasi kesedihan.
Cak Kartolo mulai mempersembahkan kegembiraan bagi
semua yang hadir melalui kesenian ludruknya. Ludruk
bukan sekadar guyonan tanpa bangunan. Pada bagian
awal, Cak Kartolo diiringi musik ludruk, membawakan
parikan-parikan yang bermuatan pesan-pesan
bagaimana membangun keluarga yang sakinah. Baru
kemudian parikan-parikan yang mengundang tawa.
Setelah iringan musik selesai, Cak Kartolo tetap
bertutur, menyampaikan narasi-narasi ludruknya, sampai
kemudian memanggil Cak Safari dan mulailah dialog-
dialog cerdas dan segar meluncur dari keduanya. Para
jamaah tertawa lebar setiap kalian dialog-dialog lucu
tercipta.
Dialog-dialog lucu dan cerdas itu diambil dan diolah dari
kehidupan sehari-sehari hidup bersuami-istri yang
sebenarnya merupakan realitas yang dekat dengan kita
semua, sehingga ludruk mengajak kita menertawakan
diri kita sendiri, menertawakan kekonyolan diri kita,
tetapi tetap diselipkan pesan-pesan yang baik.
Fragmen yang dibawakan Cak Kartolo cs menyerukan
agar kita benar-benar menjaga diri agar tidak gampang
tergoda oleh apapun yang dapat merusak mahligai dan
kelanggengan perkawinan.
Cak Kartolo, Legenda Hidup Ludruk Nusantara.
Usai menikmati hiburan bergizi dari Cak Kartolo,
masyarakat kembali mengikuti pembabaran ilmu dari
Cak Nun. Pada prinsipnya Cak Nun menjelaskan bahwa
sebenarnya segala yang kita kerjakan bermuatan
perkawinan atau pernikahan. Cak Nun KiaiKanjeng pada
malam-malam sebelum beracara di lain tempat dengan
pengundang/masyarakat yang berbeda dengan agenda/
temanya masing-masing, semua itu sesungguhnya
prinsipnya adalah pernikahan dan perjodohan.
Pernikahan adalah berbagi tanggung-jawab. Ada empat
jenis pernikahan atau persuamiistrian. Pertama antara
suami dan istri. Kedua, persuamiistrian antara manusia
dengan alam. Ketiga, persuamiistrian antara pemimpin
dan rakyat/yang dipimpinnya. Dan keempat,
persuamiistrian antara Allah dan mahkluk-Nya.
Jadi, persuamiistrian adalah prinsip yang tidak terbatas
antara pria dan wanita, dan bahwa keempat jenis
perkawinan tadi dapat dipakai sebagai perspektif dalam
menganalisis peristiwa-peristiwa di sekitar kita hingga
bagaimana negara dijalankan, bagaimana kekacauan
dan silang-sengkarut politik bermula dari hancurnya
perkawinan antara pemimpin dan rakyatnya.
Di segmen akhir, Cak Nun mengingatkan ttg hal-hal
dasar dalam kehidupan. Bahwa aktivitas manusia
hendaknya dikelola dengan memanage antara aktivitas
fisik, aktivitas intelektual, dan aktivitas rohani (seni dan
lain-lain). Demikian pula dalam setiap maiyahan, ketiga
aktivitas tersebut diupayakan tersaji secara seimbang.
Muatan yang bersifat fisik dan intelektual sejak awal
acara sudah didapat. Ilmu sudah disampaikan Cak
Fuad. Fisik anda juga sudah berjuang dalam kesetiaan
untuk tetap duduk dan bertahan mengikuti acara. Maka,
sekarang saatnya, menikmati musik yang tidak terlalu
berat. Bergiliran Mbak Nia, Mbak Yuli, Mas Imam, dan
Mas Zainul diberi kesempatan membawakan nomor
masing-masing. Lagu-lagu yang senang-senang tetapi
memberi keuntungan ilmu dan rohani. Demikian Cak
Nun menjelaskan.
Sementara itu Mas Islami kebagian mempersembahkan
nomor shalawat yang sudah lama tidak dibawakan yaitu
“Bis syahri”. Mas Islami merupakan salah satu soko-nya
KiaiKanjeng yang selalu setia dan istiqamah
mempunggawai kemanapun KK pentas.
Bagaikan mengabsen setiap vokalis KK, tak lupa Cak
Nun meminta mas Alay untuk ikut maju ke depan
membawakan “Marhaban”. Sudah lama mas Alay tidak
ikut nyanyi karena berposisi sebagai road manager
dalam acara-acara dan perjalanan KiaiKanjeng.
KiaiKanjeng sendiri sangat senang mengirinya, seperti
ada kangen yang terobati.
Vokalis terakhir yang diminta bernyanyi adalah Mas
Doni, yaitu membawakan lagunya Mbak Via, “Keluarga
Cemara” yang dipadu dengan Tholaal Badru. Keluarga
Cemara adalah juga nomor yang mengendorse
semangat menjaga nilai-nilai prinsipil dalam
membangun keluarga.
Semua hadirin diajak melantunkan lagu yang
mengajarkan bahwa Harta yang paling berharga adalah
keluarga ini. Sekaligus nomor ini mengantarkan acara di
penghujungnya.
Mas Zainul memimpin ‘indal Qiyam dengan melantunkan
rangkaian shalawat Ya Nabi Salam ‘alaika dan diikuti
oleh semua jamaah. Menutup acara ini, Cak Nun
berharap agar perjumpaan di malam ini dapat
menghijrahkan kita semua menuju kebaikan-kebaikan.
Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng, Malang, 26
Okt 2014 ditulis oleh Helmi Mustofa dan dipublikasikan
oleh CakNun.com .