Sabtu, 29 November 2014

Kemarahan global dan ngamuk lokal

Kemarahan Global dan Ngamuk
Lokal
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 6 Januari 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Seorang pakar mengemukakan pendapat dan
harapan yang dilandasi oleh budi lembut dan
kemuliaan sosial: “Kenaikan harga BBM jangan
membebani rakyat.” Inilah yang mengasyikkan
di negeri kita. Meskipun dari jaman purba,
sepanjang ilmu dan peradaban dunia hingga
kehidupan akherat kelak 4 x 4 pasti = 16, kita
masih optimistik dan berkata: “Kita berharap 4 x
4 tidak = 16.”
Kalimat berikutnya dari
pakar kita itu adalah,
“karena pada hakekatnya
kenaikan harga BBM akan
diikuti oleh harga barang-
barang yang lain.”
Dua kalimat itu terkait satu
sama lain, bersifat kausalitif, oleh kata ‘karena’
yang menyambungnya. Dua kalimat itu berada
dalam satu frame logika. Sehingga kita sangat
kagum kepada diri kita sendiri yang sanggup
mendamaikan dua fenomena yang dari A sampai
Z haqqul yaqin ‘ainul yaqin benar-benar
bertentangan.
Seandainya tak ada kata ‘karena’ kita mungkin
bersifat ‘berpikir lokal’. Pagi dan di sini berpikir
4 x 4 = 16. Sore nanti di sana kita berpikir: bisa
saja tidak = 16. Kita sangat percaya kepada
keajaiban, doa, tahayul.
Ketika di sekolah kita diberi logika dan
keyakinan bahwa kalau harga minyak naik,
maka rakyat tambah beban kesengsaraannya.
Sesudah tamat universitas kita memahami suatu
kosmos pasca logika bahwa belum tentu
kenaikan harga minyak akan membebani rakyat,
sehingga logis kalau kita berharap demikian.
Kondisi dan tradisi persepsi seperti ini yang
sering memenuhi kepala kita. Indonesia adalah
negeri surrealistik. Kita sangat mendamaikan
dan mempersatukan apa saja. Kebenaran dan
ketidakbenaran bisa berjalan seiring. Yang
berbuat tidak adil bisa mempidatokan keadilan.
Iblis dikerjasamakan dengan malaikat. Orang
punya hutang, karena tak bisa bayar, maka demi
mempertahankan hatinya sendiri ia menuduh
orang yang menghutangi itu yang terhutang.
Orang berbuat baik membantu orang lain, bisa
malah kehilangan uang sekaligus kehilangan
persaudaraan dengan orang yang dibantunya.
Bahkan juga kehilangan kehormatan di wilayah
tertentu karena orang beramal bisa tertuduh
pencuri, sementara pencuri bisa diumumkan
sebagai orang beramal. Dan kita jamin bahwa
kita tetap damai-damai saja dengan itu semua.
Itu adalah kasus keputusasaan.
Penduduk dua desa di Kabupaten Jepara kita
doakan jangan sampai jadi melaksanakan
‘perang suku’ sesudah tiga orang itu terbunuh.
Yang satu desa membela korban, yang lain desa
membela martabat kelompok penduduk desanya.
Kita sudah tiba kepada tingkat keputusasaan dan
kemarahan global yang sangat serius. Namun
kita tidak memiliki efektivitas untuk menyentuh
pihak yang sebenarnya berkewajiban atas
keputusasaan dan kemarahan kita. Energi
kemarahan dua desa itu berasal dari situasi-
situasi global yang tidak adil dan mengepung
mereka. Namun karena mereka tak mampu
berbuat apa-apa atas kekuatan global itu, maka
potensialitas psikologis kemarahannya itu
mengendap, menggumpal di bawah sadar—
kemudian sewaktu-waktu akan muncrat dan
yang ditimpa adalah sedulur-sedulurnya sendiri,
semua orang tertekan dan menderita.
Selama setahun belakangan ini telah kita alami
potensi dan kemarahan global, namun
diekspresikan dalam amukan-amukan lokal.
Tidak hanya kerusuhan di suatu kota, tapi juga
kengawuran-kengawuran dalam pergaulan,
perdagangan serta dalam menjalankan berbagai
tugas hidup lainnya. Kita juga tak bisa jamin
bahwa muncrat-muncratan lokal itu sudah usai.
Salah satu bentuk keputusan itu antara lain
menimpa saya: Tidak diizinkan berbicara di
Pekalongan dan Kudus karena ada asumsi bahwa
saya turut menyulut kerusuhan di tempat itu
beberapa waktu yang lalu.[]
Tulisan diambil dari buku Kyai Kocar Kacir
(Zaituna, Yogyakarta, 1999, hal. 104-106).