Sabtu, 29 November 2014

Caknun@wonogiri

Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng,
Wonogiri, 22 Okt 2014
11 hari yang lalu
Lapangan Tambangmerang Girimarto Wonogiri, 22
Oktober 2014. Masyarakat sudah memadati lapangan
yang berada kawasan dataran tinggi Wonogiri dengan
angin yang berhembus cukup menggoyangkan umbul-
umbul yang mengelilingi lapangan. KiaiKanjeng telah
membuka dengan tiga nomor lagu, dan sekarang Cak
Nun ditemani sejumlah pengurus BBG Family telah
berada di panggung.
BBG (Bakul Bakso Guyub) Family adalah paguyuban
pedagang bakso asli Girimarto Wonogiri yang ada di
Yogyakarta dan telah berdiri 2 tahun lalu. Ada sekitar
40 anggota paguyuban ini, mulai dari yang kelasnya
punya 1 outlet hingga 15 outlet. Di antaranya adalah
Bakso Narto, Bakso Tito, Pak Kumis, Bakso Mandala,
Bakso Mandiri, dan Bakso Jaka. Ketua BBG adalah Mas
Turis pemilik Bakso Narto. Merekalah yang mengundang
Cak Nun KiaiKanjeng malam ini.
Bagaimana menemukan hubungan antara bakso dengan
Allah
Mereka juga telah lama mengikuti Maiyahan, dan saat
ini mereka ingin berbagi untuk masyarakat melalui
acara malam ini sekaligus mereka ingin ngangsu
kawruh kepada Cak Nun terutama bagaimana agar
mereka bisa senantiasa menjadi pedagang yang baik
dan punya kepedulian kepada sesama.
Dalam rasa yang penuh pengayoman kepada
masyarakat, Cak Nun sejak awal mengajak semua yg
hadir untuk membenahi sikap hidup yang sejati, melalui
pemahaman yg utuh mengenai rukun Islam. Di
antaranya sholat yg sejatinya merupakan proses
seorang pencahayaan bagi setiap pelaku sholat.
Penjelasan ini sebenarnya merupakan respons dari Cak
Nun kepada permintaan panitia agar babar soal Tauhid,
di mana sebelumnya Cak Nun sudah menjelaskan
bahwa orang kita, bangsa kita, orang Jawa khususnya,
sudah bagus tauhidnya. Tinggal bagaimana cara agar
tauhid tersebut dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
“Bagaimana menemukan hubungan antara bakso
dengan Allah,” ilustrasi Cak Nun. Maka kepada
masyarakat yg hadir malam ini Cak Nun juga berpesan
agar kita berlatih memiliki panggraito bahwa di depan
kita ada Allah dalam setiap apapun yang kita kerjakan.
Salah satunya adalah dengan jalan membiasakan diri
menemukan yang sejati di balik hal-hal wadag yang kita
punya.
Masyarakat desa yang biasanya datang berduyun-duyun
ke suatu lapangan tempat diadakannya maiyahan,
merupakan salah satu jenis audiens khusus bagi CNKK.
Mereka merupakan wujud riil dari rakyat, dari
masyarakat, dari suatu kekuatan grass root. Cak Nun
sangat mencintai mereka. Kepada mereka Cak Nun
mengharapkan kabulnya doa bagi kesejahteraan hidup
mereka. Apalagi mereka adalah orang-orang prigel, ubet,
tangguh, dan punya filosofi hidup yang hebat. Kepada
mereka, tak henti-hentinya Cak Nun membangun
keyakinan akan masa depan yang penuh optimisme.
Mereka memperoleh tempat tersendiri di hati Cak Nun.
Mereka kemudian diajak memasuki semesta nafas
dengan bareng-bareng membaca pelan-pelan surat an-
Nur ayat 35.
Ilmu Maiyah adalah ilmu yang unik view-nya dan datang
dari arah yang tak terduga oleh kebanyakan orang. Hal-
hal sederhana yang tak terbayangkan sebelumnya, tiba
menjelma suatu keadaran baru. Ilmu baru. Itulah yg
saat ini turun di Maiyahan malam ini. Cak Nun
menanyakan kepada perwakilan pedagang bakso: mana
yang lebih dulu “dapat duit” atau “bermanfaat”.
Pertanyaan yang sangat tidak terduga. Tapi dari situlah
Cak Nun mensimulasi ilmu hidup. Banyak orang cari
duit, baru kemudian mikir bermanfaat buat orang lain.
Banyak orang menjarah duit sebanyak-banyaknya, baru
kemudian bikin panti asuhan seolah-olah Tuhan bisa
dikibuli dengan cara itu. Lewat pertanyaan sederhana
tadi, mereka kemudian menyimpulkan sendiri dan
mandiri bahwa yang penting dan didahulukan adalah
bermanfaat buat orang lain baru kemudian uang akan
datang. “Jadilah pedagang bakso, yang orang merasa
bahwa bakso anda adalah bakso yg wajib,” pesan Cak
Nun.
Swicth dari konsentrasi ke kedalaman ilmu, kini Cak Nun
membawa ke suasana kegembiraan. Kereligiusan tidak
selalu dicerminkan oleh pembahasan ilmu melulu, tapi
juga oleh kebersamaan dalam membangun
kegembiraan. Seperti biasa, Cak Nun meminta agar ada
di antara jamaah mau maju ke depan dan nyanyi diiringi
Gamelan KiaiKanjeng. Lagu campursari “Sewu Kuto”
dan dangdut wak Haji Rhoma “Gelandangan” mengalun
dibawakan oleh Mas Prasetyo, berkolaborasi apik
dengan Mas Imam Fatawi, menjadikan suasana lebih
hangat.
Dan dari sisi panggung, terlihat betapa kesetiaan para
musisi KiaiKanjeng “mengabdi” kepada pelayanan dan
terbentuknya kemesraan dalam setiap acara yang
mereka lakoni. Dan usai dua nomor terakhir ini lantas
disempurnakan oleh Cak Nun dengan menjelaskan
bagaimana kok bisa di pengajian ada lagu dangdut dan
campursari.
Mana yang lebih dulu “dapat duit” atau “bermanfaat”
Setiap hal kecil dalam acara dapat dirasakan oleh
sensitivitas ilmu Maiyah. Apakah hal kecil itu baik atau
buruk. Tapi akan diolah dan bermuara pada kesadaran
ilmu baru. Begitulah yang dilakukan Cak Nun termasuk
pada malam ini. Mulai soal bagaimana sebaiknya setiap
orang yang hadir dalam acara punya komitmen dan
kesetiaan dalam membangun keseluruhan acara dari
awal hingga akhir; bahwa Cak Nun bisa mrantasi situasi
apapun karena beliau sudah sangat sering mengatasi
persoalan-persoalan sosial masyarakat, tapi harus jelas.
Kalau memang jadi imam, akan mengimami semuanya
dalam bidang apapun, dan harus dipatuhi, tetapi yang
sekarang terjadi adalah sang imam ternyata masih
diimami oleh imam lain yang tidak tampak; sampai soal
ilmu simple: di tengah shalat itu boleh kok ngentut, tapi
harus wudlu lagi; dan bahwa yang diinginkan Cak Nun
adalah agar kita semua mengambil keputusan dengan
benar dan mandiri, tidak karena kiai atau tokoh.
Seluruh komposisi ilmu, dialog, kolaborasi lagu,
kebahagiaan dalam canda dan tawa, dan semua yang
berlangsung dalam Maiyahan diharapkan dapat
menjadikan hidup para jamaah atau masyarakat lebih
ringan dan tidak tertekan oleh apapun saja.
Satu jam terakhir, Cak Nun meminta pak Camat,
Danramil, dan pemuka lainnya untuk naik ke panggung
dan menyatakan bahwa tidak ada kebahagiaan melebihi
pemimpin dan rakyat tertawa bareng. Kemudian Cak
Nun mengurai kandungan lagu Ilir-Ilir dengan menyitir
pemahaman Mas Sabrang bahwa musik klasik adalah
musik yang berkelas. Dan bahwa ilir-ilir ini adalah juga
musik yang berkelas. Jadilah camat yang juga berkelas.
Sampai pukul 00.30 menit jamaah masih belum
beranjak, saat Cak Nun dan KiaiKanjeng melantunkan
Ilir-ilir, shalawat badar, dan doa permohonan
keterbukaan dari Allah. Semuanya diajak khusyuk
memohon kepada Allah.
Dengan formasi seluruh panitia dari BBG berbaris di
depan, acara sudah memasuki puncaknya dengan
lantunan shalawat indal qiyam dengan iringan terbang
KiaiKanjeng.
Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng, Wonogiri, 22
Okt 2014 ditulis oleh Helmi Mustofa dan dipublikasikan
oleh CakNun.com .