Sabtu, 29 November 2014

Hancurkan kebinatanganku

Hancurkan Kebinatanganku
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 3 Februari 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Pada setiap raka’at sembahyang yang tanpa
duduk tahiyat, Anda memerlukan tahap transisi
ruku’ dari qiyam menuju posisi sujud. Tapi
kemudian dari posisi sujud ke qiyam, Anda
melakukannya langsung tanpa ruku’ .
Ini acuan pertama.
Acuan kedua adalah
pertemuan Anda dalam
shalat dengan beberapa
karakter atau sifat Allah
Swt. Ini berdasarkan
kalimat-kalimat yang Anda
ucapkan selama melakukan shalat.
Pertama, tentu saja Allah yang Akbar . Lantas ia
sebagai Rabbun . Selanjutnya, Rahman dan
Rahim . Kemudian hakekat kedudukannya
sebagai Malik . Dan akhirnya Allah yang ‘Adhim
dan A’la .
Kedudukan Allah sebagai Akbar atau Yang Maha
Lebih Besar (Ia senantiasa terasa lebih besar,
dinamis, tak terhingga, seiring dengan pemuaian
kesadaran dan penemuan kita) — kita ucapkan
untuk mengawali shalat serta untuk menandai
pergantian tahap ke tahap berikutnya dalam
shalat.
Artinya, setiap langkah kesadaran dan laku kita
letakkan di dalam penghayatan tentang
ketidakterhinggaan kebesaran-Nya.
Si Maha Lebih Besar yang dahsyat itu bukannya
mengancam dengan kebesaran-Nya, melainkan
mengasuh kita melalui fungsi-Nya sebagai
Robbun .
Sebagai Yang Maha Mengasuh, Ia bersifat penuh
kasih dan penuh sayang. Rahman dan Rahim .
Penuh cinta dalam konteks hubungan individual
Ia dengan Anda, maupun dalam konteks
hubungan yang lebih ‘heterogen’ antara Ia
dengan komprehensi kebersamaan kemanusiaan
dan alam semesta.
Tapi jangan lupa Ia adalah Raja Diraja. Ia Malik ,
hakim agung di hari perhitungan. Ia sekaligus
Maha Legislatif, Maha Eksekutif dan Maha
Yudikatif.
Dan memang hanya Ia yang berhak penuh
merangkum seluruh kedudukan itu hanya
dengan diri-Nya yang Sendiri, tanpa kita
khawatirkan terjadi ketidakadilan dan
ketidakjujuran — yang pada budaya kekuasaan
antarmanusia dua faktor itu membuat mereka
menciptakan perimbangan sistem trias politica.
Kemudian karakter dan kedudukan-Nya sebagai
‘Adhim dan A’la . Yang Mahabesar (horizontal)
dan Mahatinggi (vertikal).
Yang ingin saya kemukakan kepada Anda adalah
bahwa kita menyadari-Nya sebagai A’la , Yang
Mahatinggi itu, tatkala dalam shalat kita
berposisi dan bersikap sebagai binatang.
Artinya, kalau kita menyadari kebinatangan kita,
yakni dalam keadaan bersujud: badan kita
menelungkup bak binatang berkaki empat.
Ketika kita beroperasi setengah binatang, waktu
ruku’ bagaikan monyet yang seolah berdiri
penuh seperti manusia namun tangannya
berposisi sekaligus sebagai kaki — yang kita
sadari adalah Allah sebagai ‘Adhim .
Dan ketika kita berdiri (qiyam ), Allah yang kita
hadapi adalah Allah Rahman , Rahim , dan Malik .
Binatang yang ‘ruku’ dan ‘sujud’ tidak memiliki
tradisi intelek dan kesadaran ontologis, sehingga
tidak terlibat dalam urusan dengan Maliki
Yaumiddin. Raja Hakim hari perhitungan. Kadal
dan monyet, termasuk juga virus HIV, tidak
diadili, tidak masuk sorga atau neraka.
Ketika kita ‘menjadi’ binatang atau menyadari
potensi kebinatangan diri saat sujud dan ruku’,
kedudukan subyek kita waktu itu adalah aku.
Maka kita ucapkan subhana robiiya …. bukan
subhana robbina .
Subyek ‘aku’, dengan aksentuasi egoisme,
individualisme, egosentrisme, dst lebih dekat ke
kebinatangan, dan itu yang harus kita sujudkan
ke hadapan Allah Swt.
Adapun ketika kita berdiri, ‘qiyam’, kita menjadi
manusia kembali. Dan subyek kita ketika itu
bukan lagi ‘aku’ melainkan ‘kami’. Artinya,
tanda-tanda eksistensi kemanusiaan adalah pada
kadar sosialitasnya, kebersamaannya, integritas
kanan-kirinya. Kalau binatang, secara naluriah
ia bermasyarakat, tapi oleh Allah mereka tidak
dituntut atau ditagih tanggung jawab
kemasyarakatannya. Tuntutan dan tagihan itulah
yang membedakan antara binatang dan
manusia. Itu pulalah yang menghinakan
manusia, atau justru memuliakannya.
Mungkin itulah sebabnya maka sesudah kita ber-
takbiratul ihram dan berdiri ‘sebagai manusia’,
Allah menyuruh kita untuk berlebih dahulu
menyadari kebinatangan kita dalam sujud,
melalui transisi ruku’. Nanti sesudah sujudnya
penuh, silakan langsung berdiri kembali sebagai
manusia.
Nanti menjelang Pemilu, pesta demokrasi yang
urusannya bergelimang kekuatan dan kekuasaan
di antara sesama manusia — ada baiknya semua
pihak memperbanyak sujud. Agar supaya
kebinatangan diminimalisir.
Dan semoga jangan banyak-banyak yang
bersikap sebagaimana iblis, yang menolak sujud,
karena merasa lebih tinggi, lebih benar, dan
takabbur.
Ah, nanti panjang sekali kalau saya teruskan…. []
Dimuat di Harian Republika, 31 Maret 1996, dan
terhimpun dalam buku “Keranjang
Sampah” (Emha Ainun Nadjib, Zaituna, 1998).