Sabtu, 29 November 2014

U19, senja dan fajar

U19, Senja dan Fajar
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 12 Oktober 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Foto:
Adin
Kalau ada di antara Anda yang berusia setua
saya dan punya anak atau cucu umur 18-19
tahun, kalau sempat nanti tolong sempatkan diri
menatap wajahnya.
Sambil mengagumi gagah
tubuhnya, amati ekspressi
airmukanya, menyelamlah
ke dalam kandungan sorot
matanya. Jiwanya sedang
pancaroba: ia masih
membawa kesejatian batin
dari Tuhan penciptanya,
tapi juga sedang mulai
meng-akses dunia orang
dewasa, yang tingkat
komplikasi tata-nilainya
baru sangat sedikit mereka pahami.
Cak Nun bersama coach Indra Syafri
Persentuhan ‘asal usul’ dan ‘sangkan
paran’ (budaya manusia dewasa yang tidak bisa
mereka elakkan untuk secara dinamis
‘menggerus’ jiwa mereka) akan bisa berharmoni,
tapi mungkin juga akan bertubrukan,
bertentangan, dan akan ada yang terbunuh dari
bagian-bagian batin anak cucu kita 19 tahun itu.
Usia mereka adalah era persimpangan,
pertempuran orientasi, komplek nilai-nilai yang
mendera. Kita semua orang-orang tua harus
memberi perhatian khusus kepada kondisi
mereka, dan mengupayakan sekecil mungkin kita
lakukan kesalahan di dalam memperlakukan
mereka pada ranah nilai apapun yang berkaitan
dengan dinamika kejiwaan mereka.
Sholat Magrib berjamaah saat silaturahmi Timnas U19 ke
Rumah Maiyah Rubud EAN
Beberapa puluh di antara anak cucu kita itu,
yang sejumlah 23 pemuda di antara mereka
sedang berada di Myanmar hari-hari ini, yang di
pundak mereka kita letakkan beban yang sangat
berat, harapan, tuntutan, kewajiban, atau
apapun saja namanya yang intinya adalah
‘Indonesia menang’, dikasih jembatan yang
bernama ‘Ayo Indonesia Bisa’.
Tuntutan yang berskala nasional itu bisa jadi
tidak sekedar berkonteks sepakbola, tapi juga
merupakan keluaran dari kompleks kekalahan-
kekalahan nasional di segala bidang: frustrasi
politik, ketidakamanan beragama, kegamangan
demokrasi, disinformasi informasi,
ketidakjelasan bernegara, ketidak-berwajahan
kebudayaan, bahkan juga stress sehari-hari
setiap orang, dari PKL yang lari-lari tergusur
hingga orang parlemen yang sakit hati dan
pemenang yang pelantikannya terulur-ulur.
Ada yang mengatakan, “Sesungguhnya rakyat
Indonesia tidak memperlukan Pemerintah yang
baik. Pemerintah dan Negara ada atau tidak
sebenarnya juga relatif legitimasi kerakyatannya.
Kalau ada Pemerintah korupsi, nggak apa-apa
juga asal jangan terlalu berlebihan. Atau kalau
terpaksanya Pemerintah memang direstui Tuhan
pekerjaannya ngrepotin rakyat dan mentikusi
harta rakyat, mungkin tidak terlalu masalah juga
– asalkan timnas sepakbola kita menang….”
“Timnas menang” itu hari ini bak gunung di
punggung kesebelasan U19 kita, dan untuk anak
cucu kita usia 18-19 tahun gunung itu bisa saja
tak tersangga dengan cukup kuat, meskipun
sudah selalu ada refreshing agar mereka
“bermain tanpa beban saja”. Mereka turun ke
lapangan dicambuki oleh teriakan-teriakan
“Ayo! Indonesia Bisa!” — secara psikologis
kalimat itu lebih logis diucapkan oleh atmosfir
ketidak-bisaan nasional kita di banyak bidang.
Sebagai kakek saya mungkin ikut berteriak “Ayo,
kamu bisa!”, dan teriakan itu landasan faktanya
adalah karena saya sendiri selama ini nggak
bisa-bisa.
Cak Nun, Novia Kolopaking, KiaiKanjeng, Letto dan Timnas
U19
Dalam pertandingan melawan Uzbekistan saya
merasakan sendiri beratnya beban anak cucu 19
tahun itu. Mereka bermain tidak tanpa beban,
melakukan beberapa kesalahan sehingga gol di
gawang mereka. Padahal sebenarnya kelas
mereka sama sekali tidak di bawah Uzbekistan.
Tatkala pulang dari stadion naik bus dan ketika
makan bersama, saya pandangi wajah-wajah
mereka, dan sungguh tidak tega. Saya tidak bisa
tidur, sampai kemudian berbincang dengan
coach Indra Sjafri dan coach lainnya, juga
dengan Pak Djohar Arifin, baru saya ‘hidup’ lagi.
Ternyata saya pun hanya orang-kecil salah satu
penduduk Nusantara yang hati saya hari-hari ini
sangat tergantung kepada acak cucu saya sendiri.
Sedemikian lemahnya saya. Pak Djohar bilang ke
wartawan “Cak Nun ini aktif mengawal
pembinaan U19 di Yogya, beliau orang tuanya
anak-anak kita itu di sana….” — dan ternyata itu
tidak tepat amat. Sebab justru sayalah yang
sangat bergantung kepada kekaguman dan
kebanggaan saya kepada acak cucu 19 tahun itu.
Silaturrahmi Timnas U19 ketika Idul Adha di Kasihan Bantul
Saya tidak mengerti sepakbola, maka saya Tanya
kepada seorang teman dan ia berceramah
bahwa:
“Timnas Indonesia U19 itu pernah jaya di tahun
1961. Saat itu Juara di Asia ketika turnamen
berlangsung di Bangkok. Kondisi saat itu hampir
sama dengan sekarang, konflik di PSSI.
Kemudian U19 pernah lolos ke Piala Asia lagi
tahun 1978. Gagal total, tapi lolos ke piala dunia
karena dinilai pembinaan pemainnya bagus.
Saat itu yang boleh lolos ke Piala Dunia adalah
finalis, jadi 2 tim saja.
Indonesia saat itu hanya sampai semifinal.
Alasan FIFA saat itu hanya karena Indonesia
memiliki sistem pembinaan pemain yang bagus,
juga punya turnamen di kelompok usia yang
lengkap, jadi diloloskan ke Piala Dunia.
Harusnya yang lolos Irak, tapi ada dugaan
konflik di FIFA, maka Indonesia yang lolos.
Tampil di Piala Dunia U20, tapi gagal total juga.
Dibantai Argentina 0-5, dihajar Yugoslavia 0-5
dan dibantai Polandia 0-6. SEA Games 1991
adalah prestasi tertinggi Indonesia, meraih
medali emas.
Setelahnya langganan runner-up , baik di Sea
Games maupun di AFF Cup (keduanya turnamen
ASEAN). Piala AFF U19 2013 yang lalu
sebenarnya juga dipandang sebelah mata.
Masyarakat Indonesia mencapai titik jenuh
karena sepakbola tidak menampilkan prestasi
yang lebih tinggi dari sekedar runner up. Gegap
gempita AFF U19 tidak seperti AFF 2010 yang lalu
(timnas senior).
Sabrang (Noe Letto) pada saat silaturrahmi Timnas U19
ketika Idul Adha di Kasihan Bantul
Begitu tembus semifinal dan final, Masyarakat
baru sadar ada timnas yang baru yang memiliki
masa depan cerah. Evan Dimas Juara, dan
sebulan setelahnya berhasil lolos ke Piala Asia
U19 setelah menyapu bersih 3 pertandingan
kualifikasi Piala Asia di Jakarta melawan Laos,
Philipina dan Korea Selatan.
Akibat jarang berprestasi, maka masyarakat
memukul rata, nggak peduli timnas U19, U23
atau yang senior, pokoknya Indonesia harus
juara. Harapan muncul di Timnas U19 ini.
Makanya untuk Piala Asia ini agak rame
sambutannya. Padahal kalau dibilang level, ini
hanya U19.”
Mendengar ceramah kawan itu saya menemukan
betapa bodoh dan kejamnya saya: diam-diam
menuntut anak-cucu saya sendiri untuk pasti
harus lolos ke Piala Dunia seakan-akan kita
sudah langganan masuk ke putaran Piala Dunia.
Maka, berkat teman itu, ketika seorang
wartawan bertanya, “Apakah U19 ini merupakan
harapan bagi kebangkitan sepakbola Indonesia?”
Saya menjawab, “Sudah bangkit! Anak-anak ini
dengan para pemimpinnya sudah berlaku benar,
baik dan khusyu, tidak hanya sebagai pemain
sepakbola, tapi juga sebagai Manusia-Sepakbola
dengan segala faktor kemanusiaan dan dimensi-
dimensi psikologisnya, tidak hanya menghitung
komposisi kepribadian per-individu, tapi juga
latar belakang budayanya, level sosialnya,
bahkan tradisi spiritualnya. Kita sudah bangkit.
Kita sudah mulai berbuat benar dalam
bersepakbola”.
“Bukankah kebaikan ditentukan oleh
kemenangan?”
“Ya. Saya juga ingin mereka menang dan lolos.
Tapi itu bukan satu-satunya faktor. Sebagaimana
Anda kawin terus istrimu hamil, atau Anda
bertani terus panen: hamil dan panen itu bagian
Tuhan. Bagian kita adalah berjuang menghamili,
berjuang menanam, berjuang menjalankan
budaya dan mental persepakbolaan yang benar.
Andaikan mereka tidak lolos, saya tetap kagum
dan bangga berdasarkan sejarah prestasi mereka
selama ini. Saya tetap cinta mereka.”
SIlaturrahmi Timnas U19 dengan beberapa panti asuhan
yatim piatu di UNY
Tentu saja omongan saya yang kayak gitu tidak
akan keluar di media massa apapun. Dan
memang sebaiknya tidak dimuat, karena saya
bukan pelaku sepakbola, bukan pengurus
sepakbola, dan tidak punya posisi apapun di U19
maupun di persepakbolaan nasional.
Saya sekedar seorang kakek yang memprihatini
masakini Indonesia dan mencintai kebangunan
masa depannya. Ada bagian dari Indonesia yg
sedang melangkah pasti menuju jurang kematian,
ada bagian lain dari Indonesia yg diam-diam
sedang menyusun kelahiran dan bahkan sudah
lahir, sebagaimana U19 dalam persepakbolaan
maupun “19” di bidang pertanian, innovasi
tekonologi, kedewasaan beragama, kematangan
pembelajaran politik dlsb. Saya juga saya temani
hampir tiap hari di berates-ratus wilayah Negeri
ini.
Ada bagian dari Indonesia yang
sedang sedang memasuki senja dan siap
tenggelam dalam di kegelapan malam,
ada yang sedang memancarkan matahari
baru di fajar hari.
Ada bagian dari Indonesia gegap gempita
memuncaki kehancuran, ada bagian lain
dari Indonesia yang tak kentara sedang
menata kebangkitan.
Ada bagian dari Indonesia yang sedang
riuh-rendah menyempurnakan
kepalsuan, ada bagian lain dari Indonesia
yang tersembunyi dari pemberitaan
sedang merintis kesejatian.
Ada bagian dari Indonesia yang habis-
habisan menyebarkan sihir, takhayul dan
halusinasi, ada bagian lain dari Indonesia
yang menaburkan kasunyatan
kebenaran.
Ada bagian dari Indonesia yang mati-
matian menyebarkan kecemasan,
kesedihan dan pertengkaran, ada bagian
lain dari Indonesia yang berkelana
menyemarakkan persaudaraan, kesatuan
dan kegembiraan.
Ada bagian dari Indonesia yang
melemparkan sebagian bangsanya ke
masa silam, ada bagian lain dari
Indonesia yang merintis pembuatan
fondasi dan batubata masa depan.
Di bagian fajar hari itulah saya hadir.
Yangon, 11 Oktober 2014.
Dimuat di http://sport.detik.com/aboutthegame/
read/2014/10/12/103315/2716358/425/u-19-senja-
dan-fajar