Sabtu, 29 November 2014

Saya vs anjing

Saya vs Anjing
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 13 Februari 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Pagi kemarin saya bermain bola dengan seekor
anjing besar berwarna hitam putih, di halaman
belakang rumah seorang teman, di pelosok,
sekitar 40 km dari kota Melbourne, Australia.
Hampir tiga jam, melebihi running time
pertandingan Piala Dunia. Satu lawan satu,
berbeda dengan 11 lawan 11. Tentu saja saya
ngosngosan , tetapi gejala flu meler saya menjadi
sembuh – maklumlah dibanding Sydney kemarin,
cuaca dan suhu udara di Melbourne relatif lebih
dingin. Tidak sedingin Canberra – kota yang
berpretasi membuat saya tidak mandi 4 hari –
tetapi Melbourne tidak stabil, sehingga terkadang
lebih menyegat dibanding ibukota Australia.
Bagaimana saya bisa
tersandera di sini,
sendirian di rumah,
bermain sama anjing yang
lincah bukan main –
mengingatkan ketika saya
masih muda bermain bola
dengan tujuan adu gares
atau slongketan kaki.
Pengalaman kesunyian saya kali ini sungguh
berbeda dengan tradisi sunyi hidup saya selama
ini.
Oh, anjing! I love you anjing! Tentu saja saya
bermain bola dengan pakai sepatu di kaki,
berusaha tidak menyentuhkan kulit saya dengan
bola yang digigit dikulum anjing terus menerus.
Saya tidak akan menyebut anjing makhluk yang
rendah. Ia adalah makhluk Tuhan yang sekedar
berbeda dengan saya. Sebagaimana kalau bikin
kopi jangan dicampur dengan garam atau apalagi
sambal. Bukan karena sambal lebih rendah
derajatnya dari kopi, tetapi estetika tidak
menghendaki mereka berdua diaduk jadi satu.
Sayapun tidak menyambal dan nguleg diri saya
dengan air liur anjing. Saya bermain,
bekerjasama, bermesraan dari suatu jarak yang
menjaga kehalalan.
Oh, anjing! Pendawa mengalami ribuan nasib
dengan seratus saudaranya Kurawa: saling
cemburu, mempertarungkan rasa hak milik,
kalah judi, menjadi gelandangan di hutan,
kemudian memasuki sampyuh Bharata Yudha –
perdebatan moral dan kebimbangan teologis
yang panjang, memasuki pemikiran-pemikiran
sangat mendalam terutama dalam dialog Kresna
dan Arjuna. Di puncak riwayatnya, mereka
berlima menang. Tetapi ketika lorolopo menuju
sorga, satu persatu dari lima bersaudara
Pandawa ini tak kuat tak tahan uji. Sampai
akhirnya hanya Puntadewa alias Prabu
Darmakusumah yang menapaki tanah di depan
pintu nirwana. Namun ia yang berdarah putih
ini pun gugur, dan tinggal anjingnya… memasuki
sorga.
Tak berani aku meremehkan anjing. Puncak
keberanianku hanyalah meremehkan diriku
sendiri. Bukankah orang di jalanan yang
menjumpai seekor anjing kehausan dan
memberinya minum – dijauhkan ia dari api
neraka? Bukankah tidak menolong tidak
memberi makan kepada anak anjing yang
kelaparan saja kita diancam dijilat api neraka?
Siapa tahu aku ini anjing. Jadi kalau ada orang
memakiku “Anjing!” aku tidak boleh marah. Atau
mungkin malah berterima kasih karena dengan
disebut anjing sesungguhnya aku dijunjung
kehormatanku – padahal aslinya aku tidak akan
pernah mampu sesetia dan sejujur anjing.
Saya bermain oper-operan bola dengan Penny si
betina yang besar, sambil Wolly yang cowok
menyaksikan di sisi pagar. Tak pernah saya
punya pengalaman apapun dengan anjing. Tak
punya habitat pergaulan dengan anjing. Tapi
Penny sepertinya jatuh cinta kepada saya. Ia
terus menerus mendatangi saya dengan
menyodorkan bola yang ia kulum-kulum dan ia
sodorkan ke tangan saya.
Saya coba berbicara kepadanya dan memintanya
untuk meletakkan bola di depan kaki saya.
Ternyata ia mau. Maka kami bermain-main –
bermesraan sesama makhluk Allah. Aku yang
menendang bola, ia menjadi kiper. Babak
pertama saya kalah, capek duluan dan terduduk
menggeh-menggeh . Ronde berikutnya saya balas
Penny yang ngos-ngosan , bersimpuh sambil
menjulur-julurkan lidahnya.
Jalaludin Rumi memberi makan kepada tiga ekor
anjing yang kelaparan. Orang yang lewat
bertanya kepadanya: “Siapa anjing yang kau beri
makan itu?” Rumi menjawab: “Itu adalah aku….”