Sabtu, 29 November 2014

Mbok nggak usah ada neraka

Mbok Nggak Usah Ada Neraka
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB • 15 Februari 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Setiap calon santri di padepokan Sang Sunan, di
test dulu bagaimana ia membaca kalimat
syahadat. Dan Saridin memiliki lafal dan
caranya sendiri dalam bersyahadat. Suatu cara
yang Gus Dur saja pasti tidak berani
melakukannya, minimal karena badan Gus Dur
terlalu subur — sementara Saridin adalah lelaki
yang atletis dan seorang pendekar silat yang
mumpuni.
Tapi sebelum hal itu
diceritakan, karena Saridin
khawatir Anda kaget lantas
darah tinggi Anda kambuh,
maka harus diterangkan
dulu beberapa hal
mendasar yang
menyangkut hubungan
antara Tuhan dengan
humor.
Sejak mulai akil balig, Saridin secara naluriah
maupun perlahan-lahan secara rasional
memutuskan untuk melihat dan memperlakukan
kehidupan ini sebagai sesuatu yang sangat
bersungguh-sungguh — namun ia menjalaninya
dengan urat saraf yang santai dan dengan
kesiapan humor yang setinggi-tingginya.
Soalnya, diam-diam, jauh di dalam lubuk
hatinya, Saridin yakin bahwa Tuhan sendiri
sesungguhnya adalah Maha Dzat yang penuh
humor….
Memang belum tentu benar, belum tentu baik
dan arif, untuk menyebut bahwa Tuhan itu Maha
(Peng- atau Pe-) Humor. Di antara 99 asma dan
watakNya, tidak terdapat nama Maha Humor.
Tapi kalau misalnya di satu pihak Tuhan itu
Maha Penyayang dan di lain pihak Ia Maha
Penyiksa, atau di satu sisi Ia Maha Pengasih dan
di sisi lain Ia Maha Penghukum, atau di satu
dimensi Ia Maha Penabur Rejeki tapi sekaligus
pada dimensi lain Ia Maha Penahan Rejeki —
terpaksa kadang-kadang kita menganggap itu
suatu jenis humor. Paling tidak supaya kepala
kita tidak pusing.
Ada sih penjelasan kontekstualnya. Tuhan
mengasihi atau menyiksa hamba-hambaNya
menurut konteks dan posisi nilai yang memang
relevan untuk itu. Tuhan mungkin mengasihi
siapa saja meskipun mereka mbalelo kepadaNya:
Tuhan tetap memelihara napas para maling,
Tuhan tidak menyembunyikan matahari dari
para perampok, Tuhan tidak menghapus ilmu
dari otak para koruptor.
Tapi tidak mungkin Tuhan menyiksa orang yang
patuh kepadaNya. Tuhan tidak mungkin
menghukum orang yang tak punya kesalahan
kepadaNya. Kalau Tuhan menahan rejeki orang
yang taat kepadaNya, maka penahanan rejeki itu
mungkin merupakan suatu jenis rejeki tertentu
yang merupakan metoda agar orang tersebut
menghayatinya dan memperoleh nilai yang lebih
tinggi. Atau kalau seseorang yang baik kepada
Tuhan tapi lantas diberi kemiskinan atau
penderitaan, tentu yang terjadi adalah satu di
antara tiga kemungkinan.
Pertama, itu teguran. Alhamdulillah dong kalau
Tuhan berkenan mengkritik kita. Itu artinya kita
punya kans untuk menjadi lebih baik. Kedua, itu
ujian. Juga alhamdulillah, karena hanya orang
yang disediakan kenaikan pangkat saja yang
boleh ikut ujian. Dan ketiga, itu hukuman. Ini
lebih alhamdulillah lagi, karena manusia selalu
membutuhkan pembersihan diri, memerlukan
proses pensucian dan kelahiran kembali.
Jadi menurut Saridin jelas, bahwa bagi mata
pandang manusia, ide-ide penciptaan yang Ia
paparkan pada alam semesta dan kehidupan,
banyak sekali mengandung hal-hal yang kita
rasakan sebagai “humor”.
Bukan hanya ketika kita melihat perilaku
monyet, umpamanya — yang membuat Saridin
berpikir: “Ah, ini yang bikin tentu Dzat yang
maha pencipta humor, atau sekurang-kurangnya
pencipta monyet adalah Entertainer Agung bagi
jiwa dahaga manusia….”
Soalnya kelakuan monyet ‘kan mirip-mirip
Anda….
Juga Anda mengalami sendiri betapa banyaknya
hal-hal yang lucu di muka bumi ini, bahkan juga
mungkin di luar bumi. Saridin sendiri amat
sering tertawa riang atau tertawa kecut kalau
melihat atau mengalami kehendak-kehendak
Tuhan tertentu. Umpamanya tatkala Adam
tinggal di sorga, Tuhan sengaja bikin pohon
Khuldi, tapi dilarangnya Adam menyentuh. Tapi
pada saat yang sama, Ia ciptakan Iblis untuk
menggoda agar Adam melanggar larangan itu —
dan akhirnya terjadi benar.
Sehingga beliau beserta istri terlempar ke muka
bumi, dan kita semua terpaksa menjumpai diri
kita juga tidak lagi di sorga, melainkan di bumi.
Itupun bumi yang sudah dikapling-kapling oleh
konsep adanya negara. Oleh adanya organisasi
pemerintahan yang kerjanya memerintah dan
melarang seperti Tuhan. Kalau Tuhan sih
memang berhak seratus persen memerintah dan
melarang karena memang Ia yang menciptakan
kita dan semua alam ini, serta yang
menyediakan hamparan rejeki dan menjamin
hidup manusia.
Tapi pemerintah ‘kan nyuruh kita cari makan
sendiri-sendiri. Kalau kita kelaparan atau
dikubur hutang, kita tidak bisa mengeluh kepada
pemerintah.
Hubungan kita dengan pemerintah hanya bahwa
kita sebuah berada di bawah kekuasaannya
tanpa ada jaminan bahwa kalau kita mati
kelaparan lantas mereka akan menangisi kita
dan menyesali kematian itu. Semakin banyak di
antara kita yang mati, secara tidak langsung
program KB akan semakin sukses.
Soal ini memang tergolong paling lucu di dunia.
Kalau di negara sosialis dulu, rakyat dijamin
kesejahteraannya meskipun minimal, namun
sama rata sama rasa — dengan catatan tidak
boleh mbacot , tidak boleh membantah, alias tidak
ada demokrasi. Kalau di negeri kapitalis, setiap
orang memiliki hak bicara, hak ngumpul dan
berserikat — tapi dengan syarat harus cari
makan sendiri-sendiri, harus mandiri dan berani
bersaing, berani jadi gelandangan kalau kalah.
Lha Anda adalah rakyat yang hidup di negeri
yang mengharmonisasikan dua keistimewaan
dari negeri sosialis dan negeri kapitalis. Anda
tidak usah banyak bicara, tak usah membantah,
tak perlu protes-protes, karena toh makan dan
kesejahteraan hidup Anda harus Anda jamin
sendiri….
Departemen Sosial, Polsek, Babinsa, Koramil,
Majelis Ulama, ICMI, PCPP, YKPK, PNI-Baru
maupun Neo-Masyumi, tidak menjamin bahwa
Anda beserta keluarga akan tidak sampai
kelaparan.
Bahkan pada saat-saat kita tidak paham pada
takdirnya yang menimpa kita, dan itu mungkin
menyedihkan, demi supaya kita tetap survive
secara psikologis — seringkali kita anggap saja
itu semua adalah Humor dari yang Maha Kuasa.
Misalnya saja soal Pak Adam di sorga itu. Kalau
kita boleh bermanja kepada Tuhan, mbok ya
biarkan saja beliau menghuni sorga. Mbok ya
Tuhan ndak usah menciptakan Setan, Iblis dan
sebangsanya itu. Mbok ya langsung saja manusia
yang merupakan hasil ciptaan terbaik ini
ditakdirkan saja untuk menghuni sorga, sehingga
Tuhan tak usah juga bikin neraka.
Soalnya gara-gara Iblis menang dan sukses
dalam menggoda Adam, lantas di dalam
perkembangan dunia maupun pembangunan
kebudayaan nasional — Setan dan Iblis malah
mendapatkan peluang yang besar untuk menjadi
idola.
Dalam praktek-praktek kehidpan politik, dalam
mekanisme perekonomian dan dunia bisnis,
dalam soal-soal pembebasan tanah, soal
kebebasan asasi manusia dan lain sebagainya —
Setan banyak menjadi wacana utama. Para
penguasa tertentu dan pemegang modal besar
tertentu, banyak memperlakukan Iblis sebagai
mitra-kerja, dengan alasan: “ Alah , wong Pak
Adam saja juga kalah waktu digoda oleh blis
kok….”
Itulah sebabnya Saridin, ketika diperintah oleh
Sunan Kudus untuk bersyahadat, memutuskan
untuk menempuh suatu cara yang membuktikan
bahwa ia bukan saja tidak takut melawan Iblis
dan Setan — Saridin bahkan membuktikan
bahwa ia tidak takut mati. Saridin membuktikan
bahwa Saridin lebih besar dibanding kematian….
Demokrasi Tolol versi Saridin (Penerbit Zaituna,
1997)