Sabtu, 29 November 2014

Caknun@baturan

Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng,
Baturan, 24 Okt 2014
11 hari yang lalu
Malam ini Cak Nun memenuhi undangan masyarakat
Desa Baturan Colomadu Karanganyar Surakarta untuk
maiyahan dalam rangka Grebeg Suran dan menyambut
tahun Baru 1 Muharram 1436 Hijriah di lapangan desa
Baturan. Acara berlangsung di tempat yang sama
dengan pasar malam yang memang merupakan bagian
dari Grebeg Suran. Panggung acara berada di tengah-
tengah lapangan. Di belakang panggung, para penjaja
dan pedagang pasar malam tetap melayani pembeli
tetapi tidak ada satu pun yang ramai membunyikan
suara untuk memberikan penghormatan kepada puncak
acara Grebeg Suran ini. Di depan panggung, ribuan
hadirin dan jamaah sudah berada di tempat sejak pukul
19.30 menanti kehadiran Cak Nun dan KiaiKanjeng.
Sebelum acara, KiaiKanjeng transit di rumah Pak
Martoto tak jauh dr lokasi. Beliau adalah sesepuh dan
tokoh masyarakat desa Baturan. Beliau sangat kental
tradisi Islamnya, sangat dekat dengan tradisi istighasah,
shalawatan, dan ratiban. Suasana di rumahnya sangat
menggambarkan hal itu. Beliau sangat ramah dan
menghormati rombongan KiaiKanjeng yang ragam latar
belakang budayanya. Bahkan beliau menuangkan sendiri
minuman untuk KiaiKanjeng. Sangat terlihat bahwa
KiaiKanjeng sangat dimuliakan.
Maiyahan Grebeg Suran dan tahun Baru 1 Muharram
1436H di desa Baturan.
Tiba di lokasi, Cak Nun segera disambut dengan
terbangan shalawat Badar, orang-orang berebut
menyalami Cak Nun sedikit membuat pergerakan
menuju tempat duduk tamu utama agak terhambat, tapi
Cak Nun tetap dengan penuh cinta melayani mereka.
Beberapa sambutan telah disampaikan. Acara Maiyahan
dimulai. Dan selalu merupakan pembukaan yang magis
setiap kali KiaiKanjeng memainkan semua alat
musiknya khususnya gamelan dan bonang pada nomor
Pambuko dan Shalawat an-Nabi. Semua hadirin terbawa
pada kekuatan bunyi musik yang lain daripada lain.
Meneruskan atmosfer yang telah dimulai KiaiKanjeng,
Cak Nun naik ke panggung, menyapa para jamaah, dan
mengajak semuanya terlebih dahulu bareng-bareng
menyapa Allah Swt dan Rasulullah Saw. “Apa artinya
hidup tanpa Allah dan Rasulullah,” tegas Cak Nun.
Berbicara di depan masyarakat luas bukan hal yang
mudah bagi Cak Nun, bukan karena soal komunikasinya,
tetapi karena sesungguhnya di dalam diri beliau
terkumpul bermacam kesadaran: kesadaran sebagai
hamba, kesadaran sebagai khalifatullah, kesadaran
sebagai warga negara, kesadaran sebagai teman bagi
sesama masyarakat, dan kesadaran-kesadarn lainnya.
Semua kesadaran tersebut ada kewajiban dan tanggung
jawabnya. Dan tidak semua orang siap dan berada
dalam kesadaran yang sama. Maka dalam setiap
kesempatan Cak Nun selalu memiliki keputusan untuk
manakah porsi kesadaran yang diaksentuasikan untuk
menjadi ilmu, muatan, dan pesan-pesan. Idealnya,
semua tanggung jawab tadi bisa ditunaikan, tetapi
sering kita terpuruk sebagai khalifatullah, dan
malangnya kita kerap tidak sadar akan keterpurukan ini.
Pada bagian awal ini, Cak Nun langsung menuju tema
yang diusung penyelenggara soal Suran sebagai tradisi
dan budaya. Cak Nun langsung menegaskan jangan
mengkonfrontasikan agama di satu sisi dan budaya di
sisi lain. Konfigurasinya tidak seperti itu. Ada di dalam
agama yang implementasinya membutuhkan budaya.
Dan ada budaya yang (sebaiknya) bersumber dari ilham
agama. Karenanya ada yang disebut ibadah mahdhoh
dan ada ibadah muamalah. Ada sesuatu dari agama
yang tinggal langsung dilaksanakan seperti shalat,
puasa, dan rukun Islam lainnya. Tetapi, ada perintah
agama yang penerapannya membutuhkan formulasi
budaya, misalnya perintah untuk berbakti kepada
orangtua atau larangan mengucap “ufff” pada orangtua.
Mbak Via dan mbak Fauziah membawakan ABCD.
Mungkin Maiyahan di Baturan ini adalah acara
menyambut 1 Suro atau 1 Muharram yang lain daripada
yang lain. Tradisi di Keraton Solo malam 1 Suro adalah
mengeluarkan Kerbau Kiai Slamet dari Keraton dan
mengaraknya sampai ke Jalan Slamet Riyadi sebelum
kembali ke Keraton. Di Jogja, ribuan masyarakat akan
berjalan kaki mengelilingi komplek Keraton Yogyakarta
sambil berdiam atau tidak berbicara. Sementara itu
ribuan masyarakat Baturan keluar dari rumah menuju
lokasi Maiyahan untuk ngangsu kawruh dan berdoa
bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng untuk menyambut 1
Suro dan 1 Muharram 1436 H. Dengan cara dan metode
Maiyahan, semua masyarakat di sini pelan-pelan diajak
memasuki butiran-butiran ilmu hidup dalam
kebersamaan dan kemesraan.
Pesan pertama Cak Nun soal tahun baru Hijriah tanpa
terduga dikaitkan dengan soal pemberantasan buta
huruf. Selama ini, kalau disebut buta huruf adalah tidak
bisa membaca huruf latin. Itu semua karena kita sudah
telanjur dekat Barat. Sementara kalau tidak bisa
membaca huruf Arab, alif ba’ ta’ dan seterusnya, tidak
disebut buta huruf, dan tidak ada kesadaran tentang hal
itu.
Maka, pertanyaannya seberap buta huruf kita akan hal-
hal menyangkut Hijriah, dan seberapa jauh kita
menyadari bahwa kita buta huruf.
Untuk memulai gerakan pemberantasan buta huruf ini,
Mbak Via yang malam ini turut hadir bersama
KiaiKanjeng, diminta Cak Nun membawakan nomer Ai bi
ci di yang mengeja dan menderet nama-nama hari
dalam bahasa Indonesia, Inggris, Arab, dan nama-nama
dalam kalender Jawa, untuk menunjukkan bahwa boleh
jadi buta huruf kita masih sangat banyak. Baru melek
huruf atau abjad Latin jangan lantas merasa sudah
melek semuanya.
Yang kedua, Cak Nun menekankan bahwa kalender
Hijriah yang dihitung sejak Rasulullah hijrah ke Madinah
mengandung pelajaran bahwa apa yang dikerjakan atau
diperjuangkan itu lebih penting diwarisi dan dijadikan
tonggak. “Dan bahwa sebenarnya hikmah dan makna 1
Hijriah itu seluas kandungan makna Hijrah Rasul itu
sendiri,” tegas Cak Nun.
Mbak Fauziyah, seorang jamaah, yang berpartisipasi
menemani Mbak Via membawakan ABCD, tiba-tiba
menjadi pemantik pembahasan mengenai Sunnah Nabi.
Intinya, Mbak Fauziyah minta dijelaskan mengenai
menjalankan sesuatu dalam kaitannya dengan ada
tidaknya contoh dari Nabi. Dengan penuh semangat tapi
juga kesel dengan keahmaqan banyak orang, Cak Nun
menguraikan lagi prinsip-prinsip dalam ibadah mahdhoh
dan muamalah dengan contoh-contoh yang konkret
sehingga masyarakat gamblang dalam memahami.
Termasuk soal contoh Nabi, tidak semua hal yang kita
lakukan di zaman ini harus ada contohnya dari Nabi.
“Tolong dicatat, Nabi memberikan contoh substansi,
bukan contoh budayanya,” terang Cak Nun. Contoh-
contoh yang diberikan Cak Nun selain menggamblang
poin-poin pemahaman, kerapkali mengundang tawa
hadirin, membuat mereka dapat ilmu tapi juga gembira,
merdeka dan dekat satu sama lain.
Nabi memberikan contoh substansi, bukan contoh
budayanya.
Di ruang transit tadi, Cak Nun juga sempat menjelaskan
kepada tuan rumah dan panitia, dengan mengutip
pendapat Sabrang bahwa budaya itu budaya itu
kebiasaan atau perilaku manusia yang sudah teruji dan
terbukti baik. Karena, tidak semua kebiasaan itu baik.
Maka budaya itu bukan sekadar tradisi, tetapi tradisi
yang baik. Tidak benar bahwa korupsi itu budaya
sehingga ada sebutan budaya korupsi. Itu tradisi.
Mbak Fauziyah bertanya, banyak di antara kita yang
owel dalam beragama. Ada yang bilang kalau kita mau
mengikuti semua perintah Allah atau Sunnah Nabi
nggak akan pernah cukup. Cak Nun langsung menukas,
“Nggak cukup ya biarin. Emang menurut siapa juga
cukup atau tidak cukup itu? Allahlah yang akan
mencukupkan kita. Bukan mereka. Hasbunallah wa
nikmal wakil. Allah yang mencukupkan kita.” Kemudian
Cak Nun menyarankan agar kita tidak gampang ikut
arus pertanyaan orang yang sebenarnya tidak mau
srawung, yang cuma melarang-melarang saja. Jangan
gampang tertekan. Layani saja yang bisa dilayani. Dan
sesekali perlu dilayani dengan cara yang cerdas dan out
of box .
Cak Nun juga menjelaskan bahwa kekisruhan dan
kebodohan dalam memahami agama dan budaya adalah
adanya pandangan bahwa ada yang bernama dan
masuk ke dalam wilayah agama dan ada yang masuk
wilayah budaya. Jadi, sekularisme sebenarnya. Itulah
yang terjadi. Kita seakan beragama, tapi sebenarnya
sedang menjalankan sekularisme. Kalau mau konsisten,
jika protes terhadap shalawatan, seharusnya juga protes
kepada musik-musik lainnya.
Sudah kita mengerti bersama, bahwa padatnya ilmu
yang dikembarai di dalam Maiyah tidak berbanding lurus
dengan kesepanengan atau “dahi yang berkerut” tetapi
malahan bisa diramu dengan komunikasi dan dialog
yang segar dan penuh nuansa. Demikianlah yang sejauh
ini berlangsung di Maiyahan Grebeg Suran malam ini.
Mbak Via menghangatkan suasana dengan
membawakan nomor Sebelum Cahaya-nya Letto.
Di sisi panggung, tampak teman-teman ADiTV standby
di tempat masing-masing, dan senantiasa setia
merekam Maiyahan dari tempat ke tempat. Merekalah
para prajurit yang turut serta mendekatkan dan
menaburkan Maiyah kepada masyarakat luas di wilayah
DIY dan Jateng. Mereka tak cuma bertugas,
sesungguhnya mereka ikut menimba ilmu di Maiyahan.
Mereka ikut khusyuk, menyerap ilmu, tetapi juga bisa
ikut tertawa lepas. Sesuatu yang barangkali tak
ditemukan oleh kru-kru media televisi lain.
Hasbunallah wa nikmal wakil. Allah yang mencukupkan
kita.
Waktu sudah pukul 00.20 WIB. Usai nomor Melayu
“Rasa Cinta”, acara sampai pada puncaknya. Cak Nun
mengajak semuanya berdiri, bersungguh-sungguh dan
khusyuk melantunkan shalawat Indal Qiyam diiringi
pukulan-pukulan terbang KiaiKanjeng.
Semua jamaah merapat di panggung, tanpa batas,
kanan kiri panggung dikepung jamaah yang semuanya
berdiri, menjadikan proses Indal Qiyam terasa sangat
sakral.
Doa penutup dibawakan oleh salah seorang Kiai dari
masyarakat setempat. Di penghujung acara, Cak Nun
berpesan bahwa Indonesia saat ini sedang dalam masa
pancaroba. Ada orang-orang yang bergerak ke masa
lalu dan senja hari, tetapi anda semua yang berkumpul
di sini dan selalu melakukan kebaikan-kebaikan akan
digiring menuju fajar dan akan disambut oleh matahari
pagi. Demikian pula anak-anak anda. [Teks: Helmi
Nugraha/Progress]
Catatan Perjalanan Cak Nun KiaiKanjeng, Baturan, 24
Okt 2014 ditulis oleh Helmi Mustofa dan dipublikasikan
oleh CakNun.com .