Sabtu, 29 November 2014

Serambi mekah, serambi madinah

Serambi Mekkah, Serambi
Madinah (?)
Oleh AHMAD RIFAI • 16 Juni 2014
Dipublikasikan dengan tag Esai
Share:
Facebook
Twitter
Google+
Selain Sarasehan Budaya dan acara puncak
Benawa Sekar, panitia dan perwakilan Jamaah
Maiyah se-Nusantara sempat mendapatkan
bonus acara tambahan berdialog langsung
dengan Cak Nun, yang tadinya sebenarnya tidak
ada dalam daftar rangkaian acara, sebagai
tindak lanjut dari Rembug JM se-Nusantara yang
berlangsung pada malam sebelumnya, di
Menturo, Jombang; yang di antaranya termasuk
untuk mengkonfimasi dan mendapatkan
klarifikasi terkait dengan kondisi terkini yang
berlangsung di negara kita.
Acara yang berlangsung di
aula Kafe Amanah,
Trowulan ini berlangsung
di tengah hujan lokal yang
tiba-tiba turun dengan
sangat lebat, yang insya
Allah menjadi pertanda
baik dari niat yang baik
dan tulus siapa pun yang
mendambakan kondisi negeri kita ke depan akan
menjadi lebih baik dan lebih bermartabat.
Pada intinya ada tiga hal yang disampaikan oleh
Cak Nun dan sepatutnya 3 poin ini menjadi
bahan pemikiran sekaligus PR bersama bangsa
ini, khususnya jamaah Maiyah.
Berikut adalah uraian penulis merujuk pada tiga
ide pokok yang disampaikan Cak Nun dalam
forum dialog itu. Tulisan ini sengaja tidak dalam
format reportase “murni”, agar penulis
mempunyai ruang untuk memberikan uraian
tambahan yang penulis anggap perlu terutama
hal-hal yang jika tidak sempat dijelaskan lebih
lanjut dan sangat bisa jadi hanya akan dipahami
secara parsial kecuali oleh audiens yang paham
konteks dan istilah “teknis”, yang terkait dengan
kondisi riil yang terjadi di negeri ini — selain
agar ada ruang fleksibilitas bagi penulis untuk
menggunakan gaya penulisan. Dan paling tidak,
mudah-mudahan ini adalah salah satu bentuk
pertanggungjawaban bahwa penulis tidak semata
mengutip dan menelan mentah-mentah apa yang
disampaikan Cak Nun dalam forum itu, tapi
karena penulis juga membaca sinyalemen yang
sama yang barangkali tidak sempat diungkapkan
semuanya secara detail karena keterbatasan
ruang dan waktu saat itu. Permohonan maaf,
penulis haturkan pada Ust. Nursamad Kamba,
karena penulis terlambat mengikuti forum dialog
yang sempat dikabarkan batal ini, sehingga tak
sempat menangkap poin-poin pembicaraan di
sesi yang berlangsung sebelumnya.
Muatan Dakwah Era Makkah dan Era
Madinah
Hal pertama yang ditekankan oleh Cak Nun,
adalah mengenai periodeisasi ajaran Islam, di
mana Cak Nun menerangkan bahwa ada dua
periode Islam sesuai dengan misi dan konteks
ruang dan waktu. Periode pertama adalah
periode Islam Makkah yang lebih banyak
menyangkut masalah aqidah, Islam dalam
kaitannya dengan konsep tauhid, atau pendek
kata terkait dengan Islam yang menyangkut
konsep ibadah mahdoh (rukun Islam yang lima
itu). Islam periode berikutnya adalah Islam
periode Madinah yaitu Islam yang aplikatif,
Islam dalam kaitannya dengan ibadah muamalah
seperti bagaimana hidup bermasyarakat yang
sehat, berdagang yang baik, pemerintahan yang
baik, bertani yang baik, dan seterusnya. Dan
konsep ibadah sosial yang akan terus
berkembang wujud dan manifestasinya
meskipun substansinya tetap dalam rangka
mencari ridho Allah; inilah semua implikasi dan
aplikasi dari periode Islam Madinah, yang
notabene lebih bermuatan ibadah-ibadah sosial.
Dan di sini kata kuncinya menurut hemat
penulis, karena terkait dengan interaksi sosial
dan apalagi ajaran moral Islam itu universal,
maka output-nya semestinya mengarah pada
sikap inklusif, toleran, dan bahkan bisa
merangkul semua pihak. Sebab Islam itu
rahmatan lil alamin, bahwa Islam menjadi
rahmat bagi semuanya. Tentu saja, dengan tetap
tanpa mencampuradukkan aqidah yang kita
yakni.
Cak Nun menekankan bahwa sebenarnya sudah
saatnya umat (khususnya Maiyah) berpikir
tentang Islam Madinah. Dengan kata lain, sudah
seharusnya ada kantong-kantong atau bahkan
daerah yang menjadi Serambi Madinah. Sebab di
Indonesia sudah ada Serambi Mekkah, yaitu
Aceh. Dan karena itu tidak pernah berkembang
secara Madiniah atau Madaniah. Untuk itu kita
(Maiyah) harus paham pedomannya apa itu
Makkiyah ? Dan apa itu Madiniyah ? Di mana
batasan dan aplikasi atau penerapannya.
Saat ini jika kita melihat fakta di masyarakat
baik skala lokal, nasional, regional, maupun
global. Umat Islam di Indonesia seakan digiring
untuk me-Makkah-kan diri lagi. Sehingga kita
bertengkar tentang masalah-masalah yang
sebenarnya sudah final, bertengkar masalah
sholat, bertengkar mengenai wudlu, bertengkar
mengenai (ukuran) celana, bertengkar mengenai
peci, tahiyat, jenggot dan sebagainya. Ini semua
urusan Mekkah, yang sebenarnya sudah selesai
dirumuskan sekian abad lalu.
Sistem Ekonomi Riba dalam Kapitalisme
Global
Hal kedua yang ditekankan oleh Cak Nun adalah
bahwa saat ini banyak umat Islam yang tidak
sadar bahwa dirinya sedang ditimpa tipudaya
konspirasi kapitalisme global (internasional),
kita “disuruh“ bertengkar soal-soal Makkiyah,
agar kita lupa dan makin terseret dalam ritme
ekonomi yang didiktekan mereka, sementara
mereka diam-diam saling bekerja sama di pasar
global yang serba kapitalis yang jelas-jelas
mengagungkan riba. Pasar yang mengajak hidup
lebih bermartabat model peradaban Madinahnya
tidak akan dikembangkan karena mereka
terancam kepentingannya.
Idiomnya, bahwa dulu sudah pernah ada pasar
yang melegalkan praktek riba di Madinah. Tapi
Rosulullah tidak mau ikut dalam pasar yang di
dalamnya ada riba (riba di sini tentunya tidak
hanya dalam arti bunga atau rente, tapi juga
proses yang mengandung ekspoitasi, parasitisme,
dan lain-lain) dan karena itu Rosulullah tidak
sejalan. Maka Rosulullah “membuat” pasar
sendiri yang lebih bermartabat. Sedemikian rupa
sehingga pasarnya berkembang. Dalam konteks
pasar yang bermartabat, dipahami bahwa rejeki
itu siklikal, tak linier atau tidak “flat”, tapi
berputar. Bahwa jual-beli itu prinsipnya harus
simbiosis mutualisme (saling berbagi atau
bertukar manfaat), tidak boleh tamak, bebas dari
praktek untuk memonopoli keuntungan, apalagi
menguasai dan mengekspoitasi sesama, dan
karena itu jual beli harus dilaksanakan dalam
suasana saling jujur dan ikhlas. Akhirnya
pedagang di Madinah lebih memilih konsep
pasar non riba yang dikenalkan oleh Muhammad
ini, sampai akhirnya pasar riba yang tadinya
ada bangkrut, dan lapak-lapak di pasar riba
yang milik orang Yahudi dijual kepada orang-
orang Islam, sehingga pasar yang tadinya Yahudi
menjadi bagian dari pasar Islam.
Memandang Indonesia juga bisa dilihat dari
sudut pandang Makkiyah atau cara pandang
Madinah. Dan umat Islam semestinya tidak
terjebak pada tipu daya dalam pasar riba (model
ekonomi internasional yang kapitalistik) yang
selama ini disutradarai oleh orang-orang Yahudi,
baik diperankan oleh korporasi swasta
internasional (multinasional company), maupun
yang disponsori oleh lembaga negara (AS, Eropa,
Israel, termasuk dananya dari negara-negara
Timur Tengah utamannya Saudi Arabia yang
kaya minyak), atau pun yang dikelola oleh
lembaga ekonomi dan keuangan dunia yang
menjadi perpanjangan tangan kepentingan
kapitalis global, seperti WTO, IMF, World Bank,
dan lain-lain.
Kita jangan ikut cara berfikir “mainstream” alias
cara berpikir arus umum atau orang kebanyakan.
Ketika sistemnya berlaku dan model
transaksinya ala Yahudi. Di sini kita harus
berani berpikir berbeda sebab landasan berpikir
tindakan kita berbeda, ideologi kita berbeda,
tujuan kita juga berbeda. Karena itu jangan
masuk sistem yang akidah dan aplikasinya
berbeda.
Kita harus sadar, bahwa bangsa kita terutama
umat Islam sepertinya sedang “disibukkan”
dengan urusan Mekkah (baca: masalah ritual
ibadah yang sebenarnya adalah ruang
penghayatan agama yang sifatnya pribadi antara
seorang hamba dengan Tuhannya), dan
dikondisikan untuk konflik jika berbeda,
sehingga tak sempat lagi memikirkan urusan
Madinah, yang justru menyangkut hajat hidup
umat.
Sistem Ketatanegaraan Kita Yang Rancu
Hal ketiga, yang kembali disinggung Cak Nun
adalah perihal tatakenegaraan kita, yang
sebenarnya juga sudah beberapa kali
disampaikan di berbagai forum dan kesempatan.
Bahwa ada yang perlu diperbaiki dari sistem
politik dan ketatanegaraan yang diadopsi bukan
dari akar budaya bangsa kita selama ini.
Di sini Cak Nun menekankan perlunya kita
belajar pada nenek moyang kita, kita harus
belajar pada Majapahit dan kerajaan-kerajaan
yang pernah ada di nusantara. Di era Majapahit,
jelas dibedakan antara posisi Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan. Hayam Wuruk itu
posisinya Raja atau Kepala Negara. Sementara
posisi Kepala Pemerintahan adalah Patihnya
yaitu Gajah Mada. Segala sesuatu yang berkaitan
dengan “policy” dan pengawasan harusnya di
bawah Kepala Negara. Segala sesuatu yang
terkait masalah eksekusi atau pelaksanaan di
bawah Kepala Pemerintahan. Seorang Patih bisa
melaksanakan eksekusi tapi tidak boleh membuat
“policy”. Seorang Raja boleh membuat “policy”
tetapi tidak boleh melakukan eksekusi. Sistem
yang baik harus ada pemisahan peran dan
fungsi. Seperti halnya antara bendahara dan
kasir, tidak boleh dijadikan satu. Seorang
bendahara tidak boleh memegang uang, dia
hanya membuat kebijakan. Seorang kasir boleh
memegang uang tapi tak boleh membuat
kebijakan. Jika bendahara dan kasir dijadikan
satu, bisa hancur sistem administrasi.
Sistem ketatanegaraan kita yang ada saat ini
tidak jelas, siapa Kepala Negara dan siapa Kepala
Pemerintahan. Dan sebagaimana sering
disinggung di berbagai forum Maiyah yang lain:
KPK, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan
lain-lain itu adalah Lembaga Legara, bukan
Lembaga Pemerintah. Jika Ketua KPK dilantik
oleh Presiden, sementara salah satu tugas KPK
adalah juga mengawasi sepak terjang Presiden
dan Menteri-Menterinya. Ini sudah mengandung
kerancuan. Bagaimana KPK akan berani
memeriksa anak Presiden, jika yang melantik
Ketua KPK adalah Presiden. PR (baca: kelucuan)
ini harus dipikirkan dan diselesaikan.
Kepala Negara itu yang mewakili hak dan
pemilik saham negara, yaitu rakyat, membayar
dirut NKRI atau yang disebut dengan Kepala
Pemerintahan untuk mengurusi rakyat dengan
batasan-batasan yang disepakati. Bahkan
ironinya, Lembaga Tertinggi Negara (MPR) pun
dengan amandemen UUD malah sekarang hanya
dijadikan Lembaga Tinggi Negara.
Penutup
Terakhir, Cak Nun menegaskan bahwa orang-
orang Maiyah mengingat selama ini selalu
terlibat dalam aneka dialektika dalam setiap
forum Maiyah, tentunya sudah mengerti apa
yang mereka bicarakan dan mengerti apa yang
mereka lakukan. Dan ini bekal yang luar biasa
(baca: tabungan masa depan). Pikirannya jernih,
kerjanya jelas, dan tujuan hidupnya jelas. Tetap
istiqomah dan berjiwa besar.
Harapannya, sepulang dari acara Banawa Sekar
membawa pola pikir yang lebih merangkul
semuanya. Mengerti realitas dan substansi dari
fenomena pasar Yahudi (riba), konsep pasar
Islam (yang bermartabat, tidak rakus,
memanusiakan dan tidak menghisap sesamanya),
beda antara konsep Makkah dan konsep
Madinah. Dan konsep hidup Madaniah yang
bermartabat tidak akan dihidupkan di Indonesia.
Sebab jika melihat konteks sampai saat ini para
pemimpin Indonesia adalah orang-orang yang
diharapkan bisa disetubuhi atau dimanfaatkan
oleh kepentingan pasar kapitalisme global yang
mengagungkan riba. Yang bersedia diperkosa,
yang jika disuruh menandatangani menurut.
Yang direstui harus oleh Amerika, Eropa, Israel,
dan yang uangnya dibiayai oleh Saudi. Dan
untuk kepentingan agenda ini rakyat akan
disibukkan oleh konflik-konflik mazhab, konflik-
konflik perbedaan pengahayatan dalam
beragama. Untuk itu orang Maiyah, jangan
sampai terkena oplosan atau ramuan politik
yang bisa bikin tidak sadar diri (mabuk).
Jika kita sistem ekonominya sudah riba, jangan
heran praktek kehidupan politiknya pun
akhirnya tergiring menjadi proses yang penuh
riba. Bagaimana tidak riba jika untuk meraih
kekuasaan pun modalnya pencitraan (baca: jauh
dari prinsip-prinsip kejujuran), bahkan
melakukan “black campaign“ dianggap hal yang
lumrah atau biasa, belum lagi praktek
manipulasi, “money politics“ dan lain-lain.
Praktek-praktek yang jauh dari bermartabat tapi
dianggap biasa.
Jika ekonominya riba, politiknya riba, filologinya
riba, epistomologinya riba. Maka jangan kaget,
jika kata amal yang sesungguhnya merupakan
kata kerja yang mengandung pengertian
dinamis, diterjemahkan menjadi sodaqoh yang
merupakan kata benda yang statis. Sehigga
ketika ada anjuran untuk melakukan amal, yang
dibayangkan umat bukan agar melakukan kerja
sungguh-sungguh, bekerja keras, jujur dan ikhlas,
tetapi asosiasinya merujuk pada kotak amal
(benda). Dari segi bahasa ini sudah masuk
kategori definisi riba. Jika semua sudah riba,
ayat pun akan di-“riba“-kan, maka sebuah bank
dengan sistem riba pun masuk Islam, diberi baju
menjadi riba syariah, sementara substansinya
tetap sistem riba! Padahal jika menyangkut
kebenaran, yang harus dirubah harus sistemnya.
Jika tidak sebenarnya yang terjadi hanyalah
fenomena perluasan sistem pasar riba yang
menipudaya konsumen dalam hal ini terutama
umat Islam.
Melihat fenomena kehidupuan seperti ini, cara
berpikirnya ada dua: Pertama, jangan lantas
menjadi puritan dan cara berpikirnya dengan
tidak mau masuk pasar sama sekali, sebab riba
atau tidak itu tergantung dari niat dan cara kita
dalam berdagang termasuk bertransaksi soal peri
kehidupan yang lain. Jika memang belum
memungkinkan jangan sama sekali tidak ikut
(sebab diperbolehkan masuk jika niatnya
sekedar taktik-strategi), untuk itu masuklah
pasar dengan menerapkan prinsip-prinsip
Maiyah. Persoalannya bukan ada larangan atau
tidak. Tapi kita harus mengerti prinsipnya di
mana riba-nya, agar tak terseret.
Terakhir, ketika semua aspek kehidupan sudah
menjadi riba. Yang disebut Maiyah adalah
detoksifikasi akan praktek-praktek riba itu.
Pengajian Maiyah adalah praktek yang tidak riba
dan mengenalkan nilai-nilai yang tidak riba. Iya
adalah iya, tidak adalah tidak. Oleh sebab itu
orang Maiyah percaya yang benar adalah benar
dan yang batil adalah batil. Dan orang Maiyah
yakin bahwa Allah akan senantiasa melindungi
umat-Nya dan menjamin dengan memberi
kejelasan-kejelasan, termasuk di dalamnya
kejernihan dalam berpikir dan bersikap.